Bahtsul Masail

Hukum Jual Beli Hewan Aduan

Sen, 23 Desember 2019 | 14:00 WIB

Hukum Jual Beli Hewan Aduan

(Ilustrasi: pixabay)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, penjualan hewan aduan sudah berlangsung sejak lama pada sebagian individu. Penjualan hewan aduan ini tetap berjalan di masayarakat karena memang ada unsur masyarakat yang memiliki hobi mengadu hewan. Saya mau bertanya, bagaimana praktik jual beli tersebut dalam pandangan Islam? Terima kasih atas keterangannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Iman Suparto/Bogor)
 
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Penanya yang budiman, sebagian hewan diperjualbelikan untuk kepentingan bertarung atau sebagai hewan aduan selain untuk kepentingan daging, telur, dan hias.

Hewan yang dapat dijual untuk kepentingan bertarung atau sebagai hewan aduan adalah ikan cupang, ayam jenis tertentu, domba, kerbau, jangkrik, anjing, dan hewan aduan lainnya. Lalu bagaimana praktik jual beli ini dalam pandangan fiqih?

Berikut ini kami kutip pandangan ulama mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i mengembalikan masalah ini pada hukum asala penjualan. Pada prinsipnya, jual dan beli adalah aktivitas wajar ekonomi yang mubah sejauh aktivitas tersebut memenuhi syarat dan ketentuan jual beli yang berlaku.

وَيَصِحُّ بَيْعُ جَارِيَةِ الْغِنَاءِ وَكَبْشِ النِّطَاحِ وَدِيكِ الْهِرَاشِ وَلَوْ زَادَ الثَّمَنُ لِذَلِكَ ) قُصِدَ أَوْ لَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ أَصَالَةُ الْحَيَوَانِ

Artinya, “Penjualan budak perempuan penyanyi, kambing aduan, dan ayam sabungan sah menurut syara’ meski harganya dinaikkan untuk kepentingan tersebut atau tidak karena produk yang dimaksud pada asalnya adalah hewan (bukan hewan aduan),” (Lihat Ibnul Muqri, Raudhatut Thalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz VII, halaman 411).

Meski hukum asal penjualan itu mubah, Mazhab Syafi’i mengharamkan transaksi penjualan hewan yang dimaksudkan untuk aduan karena penyiksaan terhadap hewan berawal darinya.

فَلَوْ بَاعَ الْعِنَبَ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا) بِأَنْ يَعْلَمَ أَوْ يَظُنَّ مِنْهُ … (وَنَحْوِ ذَلِكَ) مِنْ كُلِّ تَصَرُّفٍ يُفْضِي إلَى مَعْصِيَةٍ كَبَيْعِ الرَّطْبِ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ نَبِيذًا وَبَيْعِ دِيكِ الْهِرَاشِ وَكَبْشِ النِّطَاحِ مِمَّنْ يُعَانِي ذَلِكَ (حَرُمَ) لِأَنَّهُ تَسَبُّبٌ إلَى مَعْصِيَةٍ

Artinya, “(Bila seseorang menjual anggur yang akan difermentasi menjadi khamar) baik ia mengetahui atau menduga…(dan sejenisnya) dari segala tasaruf yang dapat mengantarkannya pada maksiat seperti penjualan kurma untuk fermentasi arak dan penjualan ayam serta kambing aduan yang dimaksudkan untuk itu (haram [penjualannya]) karena menjadi sebab pada maksiat,” (Lihat Ibnul Muqri, Raudhatut Thalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz VIII, halaman 68).

Pandangan mazhab Syafi’i ini tidak lepas dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 2 berikut ini yang melarang keterlibatan kita dalam perbuatan dosa: 

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya, “Jangan kalian saling membantu untuk (perbuatan) dosa dan kezaliman,” (Surat Al-Maidah ayat 2).

Pengharaman ini tentu saja tidak menafikan hukum asal penjualan hewan ini. Pengharaman ini ditetapkan ketika diasumsikan bahwa pihak penjual mengetahui maksud penjualan hewannya sebagai hewan aduan.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)