Syariah

Hikmah di Balik Adanya Hukum Mubah

Ahad, 27 Oktober 2019 | 13:00 WIB

Hikmah di Balik Adanya Hukum Mubah

Ilustrasi (Foto: NU Online/Muhammad Faizin)

Dalam kitab Minahus Saniyah, Imam Ali Al Murshifi menyebutkan bahwa di antara cara mencapai derajat yang tinggi adalah dengan mengganti perbuatan-perbuatan mubah dengan perbuatan sunnah. 
 
Mubah merupakan hukum dari Allah terhadap aktivitas yang boleh untuk dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan, tetapi tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya. 
 
Meninggalkan kemubahan ini, jika dikelola dengan niatan untuk melakukan kesunahan, akan menambah pahala ibadah. Sehingga ini akan menjadi motivasi tersendiri bagi setiap individu untuk melakukan hal-hal produktif dan berkualitas dalam setiap aktivitas di dunia. 
 
Lalu apa sebenarnya tujuan hukum mubah ini dibuat oleh Allah?. Sebelum menjawab ini, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki hikmah dan manfaat yang karena keterbatasan manusia lah, semua belum bisa diungkap.
 
Ali Al-Khowash mengatakan : "Allah tidak menjadikan perkara mubah kecuali hanya memberi kesempatan istirahat bagi anak-cucu Nabi Adam dari rasa lelah melakukan beban kewajiban. Sebab Allah telah mengisi rasa bosan dalam jiwa anak-cucu Nabi Adam dari menjalankan perintah agama. Seandainya Allah tidak mengisi rasa bosan di dalam jiwa anak-cucu Nabi Adam, pasti Allah tidak mensyariatkan hukum mubah kepada mereka, sebagaimana para malaikat. Mereka tidak merasa bosan beribadah kepada Allah, selalu bertasbih sepanjang malam dan siang tanpa bosan."
 
Pernyataan ini menunjukkan bahwa perbuatan mubah diciptakan untuk manusia sebagai sebuah "selingan" dari lima hukum yang telah Allah tentukan yakni wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Perbuatan mubah bisa menjadi waktu istirahat bagi kita setelah melakukan rutinitas hukum lainnya yang diberikan oleh Allah SWT.
 
Jika hukum mubah ini tidak ada, maka manusia akan bosan karena memang manusia tidak seperti malaikat yang tidak kenal bosan dan bisa melakukan aktivitas monoton dengan terus menerus. Pekerjaan dan hukum mubah ini juga yang semakin menunjukkan keunikan manusia dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya.
 
Hukum mubah menjadi ruhsah (keringanan) bagi manusia. Namun dari pandangan kacamata tasawuf menyatakan jika seseorang menggunakan ruhsah maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa dalam jalan tarekatnya. Manusia yang melakukan hal-hal ringan maka hasil yang ia dapatkan pun akan ringan, sesuai dengan apa yang ia lakukan.
 
Oleh karenanya para mursyid dan guru tarekat memerintahkan jamaahnya untuk meninggalkan ataupun minimal mengurangi perkara mubah dan menggantinya dengan kesunahan. Dengan langkah ini diharapkan kualitas ibadah akan meningkat sekaligus memaksimalkan kedudukan hamba di sisi Allah SWT.
 
Sampaipun pada kondisi kita tidak menemukan kesunahan sebagai pengganti sesuatu yang mubah, kita juga harus memasang niat baik dalam meninggalkan kemubahan. 
 
Semisal makan dan minum merupakan perbuatan mubah yang bisa diniatkan untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ibadah. Bertemu dan ngobrol dengan orang lain bisa diganti sebagai ajang silaturahmi dan membahagiakan orang lain.
 
Para guru pun mengajarkan kepada para muridnya untuk tidak tidur kecuali setelah sangat kantuk, tidak makan kecuali setelah sangat lapar, dan tidak berbicara kecuali hal-hal yang penting. Semuanya untuk menambah kebaikan dan kualitas dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan.
 
Seseorang akan benar-benar bisa mencapai derajat yang tinggi jika mampu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan seperti melaksanakan sunnah seolah wajib, meninggalkan makruh sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram sebagaimana meninggalkan kekufuran. 
 
Semoga kita bisa memaksimalkan segala ibadah yang kita lakukan dan mampu meningkatkan kuantitas serta kualitas pengabdian kita kepada Allah. Karena pada dasarnya keberadaan kita di muka bumi ini tidak lain adalah hanya untuk beribadah menyembah Allah SWT.
 
Muhammad Faizin. Disarikan dari Kitab Minahussaniah. Dibahas pada Kajian Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi), Ahad (27/10) di Aula Kantor PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung.