Bahtsul Masail

Hukum Murid yang Tak Ikuti Arahan Politik Guru

Selasa, 13 Februari 2024 | 22:30 WIB

Hukum Murid yang Tak Ikuti Arahan Politik Guru

Pemungutan suara. (Foto: NU Online/Freepik)

Musim kampanye, sebagian guru agama dan sebagian kiai secara individu atau secara kelembagaan mengajak murid, jamaah pengajian, dan jaringan alumni santrinya untuk mendukung capres-cawapres dan juga caleg tertentu. Sementara murid dan santri memiliki pandangan politik yang berbeda dari guru dan kiainya. Bagaimana hukum murid atau santri tidak mengikuti imbauan politik guru atau kiainya?


Jawaban

Murid, jamaah pengajian, atau santri pada dasarnya memiliki hubungan erat secara intelektual dan emosional dengan guru dan kiainya. Mereka umumnya sangat menjunjung tinggi petuah hidup termasuk petuah politik gurunya sebagai bagian dari adab ketaatan murid atau santri kepada guru atau kiainya.


Tetapi tidak jarang murid, jamaah pengajian, atau santri memiliki pilihan politik yang berbeda dengan pilihan guru atau kiainya. Mereka memiliki pertimbangan dan ijtihad politik sendiri. Dalam kondisi demikian, murid, jamaah, atau santri menempati posisi dilematis antara adab kepatuhan kepada guru atau kiai dan pilihan serta ijtihad politik sendiri yang lebih nyaman bagi dirinya.


Pada kesempatan ini, kita bisa merujuk antara lain putusan Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (LBM PCNU) Jakarta Timur yang ditetapkan di Jakarta pada 4 Februari 2024.


Putusan LBM PCNU Jakarta Timur menjelaskan, “Terkadang dijumpai jamaah atau santri yang mempunyai pilihan yang berbeda dengan pilihan gurunya, karena baginya bahwa pemilihan merupakan hak setiap warga yang dijamin konstitusi/undang-undang sehingga masyarakat bebas untuk menggunakan haknya sesuai hati nuraninya tanpa mendapatkan paksaan dari siapapun.”


Lalu, bagaimana hukum jamaah atau santri yang tidak mengikuti himbauan gurunya dikarenakan sudah mempunyai pilihan sendiri?


LBM PCNU Jakarta Timur memutuskan bahwa “Pada prinsipnya, seorang murid harus taat dan patuh akan perintah guru sepanjang perintahnya berisi kemaslahatan dan kebaikan.


Namun terkadang dalam kontestasi pemilu, seorang guru memiliki pilihan calon yang berbeda. Hal ini disebabkan karena sang guru punya ijtihad pertimbangan sisi kemaslahatan yang berbeda dengan ijtihad murid. Pada keadaan demikian, murid boleh berbeda dengan gurunya. Namun hendaknya tetap menjaga etika dan adab.


LBM PCNU Jakarta Timur mengutip Tafsir Al-Imam Al-Qurthubi (yang kami kutip sebagian di bawah ini) yang menjelaskan hubungan murid dan guru antara Nabi Musa as dan Nabi Khidir as pada Surat Al-Kahfi ayat 66-70.


Tafsir Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa Surat Al-Kahfi ayat 66-70 menyebutkan keharusan taat dan patuh seorang murid, jamaah, atau santri kepada guru atau kiainya sebagai adab terhadap guru dan kiai. Bahkan ketaatan dan kepatuhan ini dianjurkan meski derajat murid atau santri lebih utama dari segi tertentu dibanding guru atau kiainya.


Namun demikian, tetap terdapat ruang untuk berbeda pandangan dan pertimbangan (politik salah satunya) di tengah ketaatan dan kepatuhan murid, jamaah, atau santri kepada guru atau kiainya sebagaimana relasi Nabi Musa as dan Nabi Khidir as. 


قال: وفيه دليل على أن المتعلم تَبَع للعالم، وإن تفاوتت المراتب…وما استَثْنَى في قوله: {وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا}، فاعترض وسأل


Artinya: “Pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa murid mengikuti guru meski derajat keduanya berbeda… yang dikecualikan pada ayat (Aku tidak akan menentang perintahmu dalam urusan apapun [Al-Kahfi ayat 69]), lalu Nabi Musa as membantah dan mempertanyakan perintah (Nabi Khidir as) sebagai gurunya,” (Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkamil Qur’an, 17/11)


Demikian jawaban singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga jawaban ini dapat dipahami dengan baik. Kami menerima kritik dan saran pembaca sekalian.


Wallahualam muwaffiq ila aqwamit thariq.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.


Alhafiz Kurniawan, Redaktur Eksekutif Keislaman NU Online