Bahtsul Masail

Istri Murtad tapi Enggan Cerai, Bagaimana Hukumnya?

Sab, 28 Oktober 2023 | 11:30 WIB

Istri Murtad tapi Enggan Cerai, Bagaimana Hukumnya?

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Assalamu'alaikum wr. wb. Mohon bertanya. Saya sudah menikah dan punya anak. Istri dari keluarga Islam, tapi sejak sekolah SMA ia masuk Kristen. Terus saat nikah dengan saya ia masuk Islam. Tapi setelah anak kedua lahir, istri murtad kembali ke Kristen sampai sekarang. Istri sangat mencintai saya, bahkan sampai bucin (budak cinta) dan cemburu buta.

 

Ia meyakini bahwa agama yang dianutnya bisa menyelamatkan. Dengan Islam tidak Percaya. Tidak percaya surga neraka, siksa kubur dan Al-Qur'an. Ujung-ujungnya rame minta cerai, tapi tidak mau menggugat saya.

 

Yang saya tanyakan, bagaimana status pernikahan saya? Jika ia belum masuk Islam lagi, tapi tetap melakukan hubungan suami istri, apakah hukumnya zina?

 

Kalo istri ngeyel dan tidak mau kembali masuk agama Islam, apakah lebih baik cerai, atau bagaimana? Terimakasih. (Hamba Allah).

 

Jawaban

 

Wa'alaikumussaalam wr. wb. Penanya yang dirahmati Allah, dalam Islam pernikahan tidak hanya urusan duniawi, tapi menjadi urusan ukhrawi atau yang bersifat akhirat. Bahkan hubungan pernikahan suami istri dapat langgeng hingga di surga kelak. Inilah impian umat Islam dalam membangun rumah tangga.

 

Lalu bagaimana bila istri murtad sebagaimana dalam pertanyaan tadi?

 

Merujuk mazhab Syafi’i bila istri murtad maka dilihat dahulu apakah murtadnya terjadi sebelum adanya hubungan badan antara suami istri, atau setelahnya?

 

Bila murtadnya terjadi sebelum adanya persetubuhan suami istri, maka otomatis cerai. Bahkan menurut Imam Al-Mawardi ini adalah ijma’ atau telah menjadi kesepakatan seluruh ulama Islam.

 

Namun bila murtadnya terjadi pasca adanya persetubuahan suami istri, maka status cerainya di-tawaqquf-kan atau dibekukan. Bila dalam masa iddah ternyata pihak yang murtad kembali masuk Islam pada masa iddah, maka status hukumnya tidak terjadi cerai (pernikahan otomatis aktif kembali dan tetap sah sebagaimana sediakala); dan bila pihak yang murtad tidak kembali masuk Islam pada masa iddah, maka dihukumi telah terjadi cerai sejak awal mula adanya kemurtadan.

 

Syekh Al-Khatib As-Syirbini menjelaskan:

 

ولو ارتد زوجان) معا (أو أحدهما قبل دخول) ... (تنجزت الفرقة) بينهما لعدم تأكده بالدخول أو ما في معناه، وحكى الماوردي فيه الإجماع. ( أو بعده) أي الدخول أو ما في معناه (وقفت) تلك الفرقة وحينئذ (فإن جمعهما الإسلام في العدة دام النكاح) بينهما لتأكده بما ذكر ( وإلا ) بأن لم يجمعهما ( فالفرقة ) بينهما تتبين ( من ) حين ( الردة ) منهما أو من أحدهما لأنه اختلاف دين بعد المسيس فلا يوجب الفسخ في الحال كإسلام أحد الزوجين الكافرين الأصليين

 

Artinya: “Andaikan suami istri secara bersamaan atau salah satunya murtad sebelum ada persetubuhan di antara keduanya, … maka otomatis terjadi cerai di antara keduanya, karena tidak adanya penguat pernikahan dengan adanya persetubuhan atau hal yang sehukum dengannya. Imam Al-Mawardi menghikayatkan ijma’ atau kesepakatan ulama dalam hal ini. Atau murtad itu terjadi setelah adanya hubungan persetubuhan atau hal yang sehukum dengannya, maka perceraian tersebut di-tawaqquf-kan atau dibekukan dahulu. Bila dalam masa iddah Islam mengumpulkan mereka (pihak yang murtad masuk Islam, sehingga sama-sama Islam), maka pernikahan mereka otomatis berlanjut, karena pernikahan mereka telah kuat dengan adanya persetubuhan tersebut. Namun bila tidak sama-sama Islam (pihak yang murtad tidak kembali masuk Islam) dalam waktu iddah, maka perceraian di antara mereka berdua terjadi sejak adanya kemurtadan dari salah-satunya atau keduanya. Sebab kasus terakhir ini adalah perbedaan agama terjadi setelah adanya hubungan persetubuhan, maka tidak merusak status pernikahan secara seketika, seperti halnya kasus Islamnya salah satu pasangan suami istri yang sama-sama kafir asli.” (Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 190).

 

Berarti dalam kasus yang ditanyakan, bagaimana status pernikahannya? Melihat telah ada persetubuhan karena jelas-jelas telah punya anak, maka status pernikahannya, apakah masih sah atau telah terjadi cerai, maka di-tawaqquf-kan atau dibekukan. Bila dalam masa iddah istri masuk Islam lagi, maka status pernikahannya tetap sah seperti sebelumnya; dan bila istri tidak masuk Islam lagi di masa iddah, maka status pernikahannya dihukumi batal sejak istri murtad pertama kalinya.

 

Lalu apakah hubungan badan dihukumi zina?

 

Dalam hal ini diperinci. Hubungan badan atau persetubuhan yang terjadi di masa iddah tidak dihukumi zina, tapi tetap haram; sementara hubungan badan yang terjadi setelah masa iddah adalah zina.

 

Dalam hal ini, Al-Khatib As-Syirbini menjelaskan:

 

ويحرم الوطء في) مدة (التوقف) لاحتمال انقضاء العدة قبل اجتماعهما في الإسلام، فيتبين انفساخ النكاح من وقت الردة وحصول الوطء في البينونة  (و) لكن لو وطىء (لا حد) عليه للشبهة وهي بقاء أحكام النكاح وتجب العدة منه وهما عدتان من شخص واحد

 

Artinya: “Dan haram melakukan persetubuhan di masa tawaqquf (pembekuan iddah), karena adanya kemungkinan habisnya masa iddah sebelum suami istri sama-sama Islam, sehingga menjadi nyata rusaknya status pernikahan sejak waktu munculnya kemurtadan (suami istri atau salah satunya) dan terjadinya persetubuhan dengan perempuan tertalak bain. Akan tetapi andaikan suami menyetubuhi istri (di masa pembekuan iddah), maka tidak ada hukum had zina untuknya, karena ada syubhat atau kesimpangsiuran hukum) berupa tetapnya hukum-hukum pernikahan dan wajibnya iddah dari persetubuhan tersebut. Dua idah (iddah dari sisi istri telah murtad dan iddah dari sisi istri disetubuhi di masa pembekuan iddah) itu adalah dua idah dari satu orang (istri).”  (As-Syirbini, juz III, halaman 190).

 

Lalu bagaimana dengan istri yang masih ngeyel dan tidak mau kembali masuk agama Islam, apakah lebih baik cerai, atau bagaimana?

 

Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bila istri tidak masuk Islam pada masa Iddah, maka hukumnya otomatis cerai sejak awal waktu murtadnya, sehingga bukan lagi pada persoalan lebih baik cerai atau tidak, tapi selama istri tidak masuk Islam sampai masa iddah habis, maka hukumnya sudah terjadi cerai sedari awal murtadnya Istri.

 

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online