Bahtsul Masail

Kehalalan Food Emulsifier

Sab, 17 Desember 2022 | 17:00 WIB

Kehalalan Food Emulsifier

Kehalalan food emulsifier.

Assalamu'alaikum wr wb. Mohon penjelasan kepada Redaktur NU Online tentang kehalalan food emulsifier (Ovalet, SP, TBM). Mohon pula referensi bahan yang aman (halal). Terimakasih. Wassalamu'alaiku wr wb. (Sidik Jaya Asmana)



Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Penanya yang budiman, semoga rahmat Allah senantiasa menyertai kita semua. Amin. 



Saudara penanya, di dalam Islam hukum asal penggunaan zat aditif pada makanan (food emulsifier) pada dasarnya adalah boleh selagi tidak terdapat unsur-unsur bahan yang dilarang oleh syara’. 



اَلْأَصْلَ فِي الْجَمِيعِ اَلْحِلُّ لِأنَّ الْأَعْيَانَ مَخْلُوقَةٌ لِمَنافِعِ الْعِبَادِ



Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah halal, karena semua materi di dunia diciptakan untuk kemanfaatan bagi hamba-Nya.” (Zakaria al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhut Thalib, [Beirut: DKI], juz I, halaman 563).


 


Syekh Zakaria al-Anshari secara lebih tegas menyatakan batasan (dhabith) kandungan bahan makanan yang halal untuk dikonsumsi dalam kitab yang sama sebagai berikut:



كل طاهر لا ضرر في أكله وليس مستقذرا ولا جزءا من آدمي ولا حيوانا حيا ينجس بالموت يحل أكله



Artinya, “Segala bahan yang suci dan tidak membahayakan bila dikonsumsi, tidak menjijikkan, bukan bagian dari tubuh manusia, bukan bagian dari hewan yang masih hidup dan menjadi najis sebab kematiannya, maka halal dikonsumsi.” (Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 563).



Contoh unsur aditif yang dilarang, misalnya adalah bahan yang diekstrak dari bahan babi, anjing, bangkai, manusia, serta hewan-hewan yang dilarang secara tegas oleh nash.



Apabila bahan aditif itu diekstrak dari nabati, maka catatan yang ditetapkan oleh nash adalah apabila bahan tersebut tidak memiliki efek pengaruh terhadap jiwa (misalnya beracun) atau akal (misalnya memabukkan). 



Selama bahan aditif itu tidak memuat unsur-unsur yang disebutkan dalam kriteria di atas, maka hukum asal menggunakan food emulsifier adalah boleh. 



Adapun kontroversi dari bahan aditif Ovalet, SP dan TBM, pada dasarnya adalah berangkat dari informasi dari para dokter atas potensi penyakit yang ditimbulkan oleh bahan aditif tersebut. 



Sejak lama, para dokter dan pemerhati kesehatan memang sudah memperingatkan akan bahaya zat aditif, seperti Monosodium Glutamat (MSG) atau micin dan berbagai bahan aditif lainnya. Menurut mereka, bahwa bahan-bahan aditif tersebut dapat memicu tumbuhnya sel kanker. Bagaimanapun juga, informasi dari dokter ini memang tidak bisa diabaikan seiring mereka adalah orang yang berkompeten di dalam hal tersebut.



Permasalahannya adalah suatu makanan akan dipandang sebagai halal secara fiqih, selain apabila tidak berasal dari bahan yang diharamkan, juga apabila makanan tersebut tidak mengandung unsur bahaya yang nyata (muhaqqaq), atau dapat menghilangkan akal seketika saat habis mengkonsumsi (muskir). 

 


Karena itu, peringatan dokter tentang bahaya bahan aditif dapat memicu sel kanker tidak berdampak secara nyata dan langsung setelah mengonsumsinya, karena pengaruhnya terhitung masih sedikit. 

 


Ketika berhadapan dengan kondisi semacam, Sayyid Bakri ibn Syatha’ menukil pernyataan Ibn Shalah dalam kasus yang kurang lebih sama:



في المغني سئل ابن الصلاح عن الجوخ الذي اشتهر على ألسنة الناس أن فيه شحم الخنزير فقال لا يحكم بنجاسته إلا بتحقق النجاسة اهـ

 


Artinya, “Di dalam kitab al-Mughni dituliskan bahwa suatu ketika Imam Ibnus Shalah ditanya mengenai al-Jukh yang masyhur di kalangan masyarakat kala itu dan dikabarkan mengandung lemak babi. Beliau mengatakan kita tidak bisa menghukumi kenajisannya kecuali najis tersebut nyata.” (Sayyid Bakri bin Syatha’, I’anatut Thalibin, [Damaskus: Darul Fikr], juz I, halaman 104).



Syekh Sulaiman al-Bujairami juga memiliki catatan yang sama dengan Ibn Shalah di atas untuk kasus yang kurang lebih serupa:

 


ولو شك في شيء هل هو ضار أو لا؟ ينبغي الحل؛ لأن الأصل عدم النهي م ر وع ش



Artinya, “Andaikata seseorang meragukan apakah sesuatu itu membahayakan atau tidak, maka sikap yang seyogyanya diambil adalah menyatakan halalnya, sebab asal dari memanfaatkan sesuatu itu adalah tidak ada larangan.” (Al-Bujairamy, Hasyiyah al-Bujairami ‘alal Khathib, [Damaskus: Darul Fikr], juz I, halaman 119).

 


Alhasil, dengan mengacu pada pertimbangan maslahah dan mafsadah tersebut, maka bahan aditif itu diperbolehkan, selagi catatan-catatan di atas itu terpenuhi. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim