Bahtsul Masail

Mana Lebih Utama Antara Orang Tua dan Guru?

Rab, 29 Januari 2020 | 17:15 WIB

Mana Lebih Utama Antara Orang Tua dan Guru?

Aktivitas pengajian Kitab Al-Hikam di Pondok Pesantren Lirboyo

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU yang dirahmati Allah, saya ingin bertanya perihal mana yang lebih utama, orang tua atau guru dikarenakan saya sedang di ambang kebingungan. Suatu hari ada sebuah permasalahan yang menyangkut antara orang tua dan guru ngaji saya. Saya tidak bisa sebutkan permasalahannya. Lalu orang tua saya melarang saya untuk mengaji lagi dengan guru saya.

Tolong beri saya nasihat agar saya tidak lagi bingung. Nama dan daerah saya tolong disamarkan. Jawaban dari admin sangat saya tunggu. Sebelumnya saya berterima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (hamba Allah)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pertanyaan seperti ini dapat dijawab secara sederhana. Kita dapat mengutip pendapat Syekh Rasyidi dalam Syarah Sittin Masalah-nya Syekh Ramli pada dua larik berikut ini yang menyebut perbandingan keutamaan guru dibandingkan orang tua.

فذاك مربى الروح والروح جوهر وذاك مربى الجسم والجسم كالصدف 

Artinya, “Dia (guru)-lah pembimbing rohani # rohani adalah mutiara

Dia (orang tua)-lah pembimbing jasmani # jasmani layaknya cangkang kerang.”

Kenapa demikian? Orang tua berjasa dalam membesarkan raga kita. Islam menaruh hormat  kepada orang tua. Tetapi Islam juga memberikan tempat terhormat kepada guru yang mendidik akhlak kita kepada Allah dan makhluk-Nya. Guru adalah pembimbing rohani kita.

Masalahnya tidak sesederhana itu. Ada jenis orang tua yang juga membesarkan fisik sekaligus membimbing rohani anaknya. Tetapi ada juga guru yang membentuk kerohanian muridnya sekaligus mengasuh muridnya seperti anak kandung. Namun, ada jenis orang yang ilmu agamanya kurang memadai dianggap sebagai guru agama yang justru mengajarkan agama dengan pandangan sempit. Sama halnya dengan orang tua. Tidak sedikit orang tua yang berpandangan sempit.

Menurut kami, orang tua dan guru mengaji tidak lain adalah manusia juga. Mereka memiliki potensi keliru dalam berpikir. Orang tua bisa jadi memiliki pertimbangan tertentu di luar pertimbangan kita sehingga muncul larangan untuk meneruskan pengajian. Terkait kekeliruan yang dilakukan baik orang tua maupun guru, kita perlu meluruskan cara berpikir mereka dengan cara yang santun dan baik, tanpa mengurangi hormat dan takzim kepada mereka.

Syekh M Ibrahim Al-Baijuri mengatakan bahwa upaya menjelaskan atau meluruskan masalah meskipun dari anak terhadap orang tua merupakan tindakan terpuji menurut syariat. Kalau pun meminjam istilah durhaka terhadap orang tua, maka tindakan anak terhadap kedua orang tuanya ini merupakan “durhaka terpuji.”

وأما إذا كان لإحقاق حق وإبطال باطل أي لإظهار حقيقة الحق وإظهار بطلان الباطل فممدوح شرعا ولو من ولد لوالده فيكون عقوقا محمودا

Artinya, “Adapun bila itu bersifat mengungkapkan yang hak dan menyatakan kebatilan, yaitu menjelaskan hakikat yang hak dan menjelaskan kebatilan sesuatu yang batil, maka itu terpuji menurut syariat, sekali pun itu dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuanya, maka itu terbilang ‘durhaka’ yang terpuji,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).

Adapun terkait larangan untuk meneruskan pengajian, kita perlu memikirkannya secara matang. Sejauh guru tidak mengajarkan untuk menjauhi orang tua, menurut kami, pengajian dapat diteruskan. Tetapi opsi lainnya, untuk menjaga perasaan orang tua, kita dapat mencari guru mengaji yang lain.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)