Bahtsul Masail

Masalah Zakat Fitrah via DKM: Legalitas Amil, Pencampuran Beras, dan Pembagiannya

Jum, 5 April 2024 | 13:30 WIB

Masalah Zakat Fitrah via DKM: Legalitas Amil, Pencampuran Beras, dan Pembagiannya

Masalah pembayaran zakat fitrah melalui DKM. (freepik).

Assalamu'alaikum wr wb. Izin bertanya kepada NU Online tentang praktek zakat fitrah. Di desa kami, seluruh warga mengumpulkan atau menyerahkan zakat fitrah ke DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) Masjid Jami’. Namun dalam praktiknya, seluruh beras dicampurkan terlebih dahulu, baru dibagikan ke seluruh warga masyarakat yang tadi menyerahkan zakat ke DKM. Lucunya, tiap individu/jiwa tidak serta merta mendapatkan beras zakat tersebut sesuai takarannya. Misalnya begini:
 

Si A menyerahkan zakat fitrah ke DKM masjid sebanyak 7 liter beras untuk 2 orang, kemudian setelah seluruh beras zakat tadi dicampurkan, si A cuma mendapatkan beras zakat sebanyak 2 liter saja, karena menghitung jiwa yang berzakat. 
 

Pertanyaan

  1. Sahkah seluruh praktek/proses pembagian zakat fitrah seperti itu? 
  2. Solusi yang baik, harusnya seperti apa untuk daerah yang masih mempraktikkan pembagian zakat fitrah seperti itu ? 


Terima kasih atas jawabannya. (Hamba Allah).
 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Terima kasih atas pertanyaannya. Semoga penanya dan seluruh pembaca NU Online selalu dalam pertolongan dan perlindungan Allah swt.
 

Dalam praktik pembagian zakat fitrah di atas, terdapat tiga pokok bahasan yang perlu dijelaskan sebagai berikut:
 

Pertama: Penyerahan Zakat Fitrah kepada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM)
 

Dalam kajian fiqih zakat, DKM adalah wakil dari orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), kecuali jika organisasi tersebut telah mendapatkan SK resmi dari pemerintah sebagai amil zakat melalui lembaga pengelola zakat resmi bentukan pemerintah. 
 

Amil zakat adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat. atau juga dapat diartikan seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat.
 

Di Indonesia, amil resmi sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:

  1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
  2.  Lembaga Amil Zakat (LAZ).
  3. Amil Perseorangan dan Kumpulan Perseorangan untuk wilayah yang tidak terjangkau BAZNAS atau LAZ.
     

Dengan demikian, pengelola atau panitia zakat bentukan sekelompok masyarakat seperti di masjid dan mushola, tidak dapat disebut sebagai amil selama tidak menginduk pada BAZNAS atau LAZ sesuai ketentuanya. Mereka hanya kepanitiaan yang membantu pelaksanaan zakat masyarakat yang dalam pandangan fiqih tidak termasuk bagian dari amil, melainkan sebagai wakil muzakki.
 

Amil dan panitia zakat memiliki ketentuan hukum yang berbeda. Amil adalah wakil dari orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiquz zakah), sehingga bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki sudah dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat sudah dianggap sah dengan menyerahkannya kepada amil zakat. 
 

Sedangkan panitia zakat adalah wakil dari muzakki, sehingga dampaknya bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki belum dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat belum dianggap sah sehingga benar-benar sampai kepada mustahiq.
 

Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Majmu’
 

وَعَلَى تَقْدِيْرِ خِيَانَةِ الْوَكِيْلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنِ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلِ الْمَالُ اِلَى الْمُسْتَحِقِّيْنَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنِ الْمَالِكِ 
 

Artinya, “Andaikan terjadi penyelewang oleh wakil (dalam penyaluran zakat), maka kewajiban zakat tidak lepas dari pemilik harta (muzakki) karena penguasaan wakil sama dengan penguasaan muzakki. Jadi selama harta zakat tidak sampai kepada orang yang berhak menerima, maka pemilik harta belum terlepas dari kewajibannya. Berbeda dengan penyerahan zakat kepada Imam (pemerintah), begitu Imam menerimanya, maka zakat sudah gugur dari pemiliknya.” (Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011] juz VII, halaman 204).
 

Kedua: Mencampur Zakat Fitrah dan Membagikannya Kembali kepada Muzakki 

Mencampur seluruh zakat fitrah, kemudian membaginya kembali kepada orang-orang yang telah menyerahkan zakat kepada DKM. Dalam kajian fiqih, zakat tidak boleh kembali kepada muzakki. Karena itu, pencampuran zakat seharusnya tidak dilakukan karena berpotensi zakat kembali kepada muzakki.
 

Dalam kitab Al-Umm disebutkan:
 

وَلَا يَجُوْزُ لَكَ إِذَا كَانَتِ الزَّكَاةُ فَرْضًا عَلَيْكَ أَنْ يَعُوْدَ إِلَيْكَ مِنْهَا شَيْءٌ فَإِنْ أَدَّيْتَ مَا كَانَ عَلَيْكَ أَنْ تُؤَدِّيَهُ وَإِلَّا كُنْتَ عَاصِيًا لَوْ مَنَعْتَهُ
 

Artinya, “Jika zakat itu wajib bagimu, maka tidak boleh ada sebagian dari zakat tersebut yang kembali kepadamu. Jika kamu telah membayar zakat sesuai dengan kewajibanmu, (maka jelas kewajibanmu telah gugur), jika tidak, maka kamu berdosa jika mencegahnya.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut, Darul Wafa: 2001], juz III, halaman 195).
 

Selain itu, amil resmi maupun panitia zakat, berkewajiban menyampaikan seluruh zakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Karenanya perlu pendataan untuk memastikan semua penerima benar-benar mustahiqquz zakat. Bisa jadi di antara orang yang menyerahkan zakat kepada DKM, ada yang tidak berhak menerima zakat.
 

Jika zakat tidak tersalurkan kepada orang yang berhak menerima zakat, maka penyaluran tersebut belum dianggap cukup. Untuk zakat yang diserahkan kepada amil, tanggung jawab dibebankan kepada amil, tidak kepada muzakki. Sedangkan zakat yang diserahkan kepada panitia zakat, maka tanggung jawab masih kembali kepada muzakki, sehingga kewajiban membayar zakat belum gugur darinya. 
 

Ketiga: Kadar Pembagian Zakat Fitrah yang Tidak Sama dengan Kadar Zakat Fitrah yang Diserahkan
 

Perlu dipertegas, pembagian zakat tidak didasarkan kepada siapa saja yang telah membayar zakat kepada panitia, namun kepada orang-orang yang berhak menerima sesuai nash Al-Quran. 
 

Dalam penerapannya, bagi amil selaku petugas resmi pemerintah, harus meratakan dan menyamakan kadar zakat untuk semua golongan yang berhak menerima dan masing-masing individu jika kebutuhan mereka sama. 
 

Sedangkan bagi panitia sebagai wakil dari muzakki, dalam kondisi harta zakat tidak cukup untuk menjadikan kaya semua golongan, ia hanya berkewajiban meratakan dan menyamakan kadar zakat kepada golongan yang berhak menerima, dan tidak wajib menyamakan kadar pemberian kepada masing-masing individu.  
 

Realita yang terjadi, pembagian zakat tidak semua diratakan kepada delapan golongan. Beberapa panitia hanya fokus kepada fakir miskin. Sebagai solusi, dalam kasus ini dapat mengikuti pendapat sekelompok ulama mazhab Syafi’iyah yang menyatakan zakat dapat diberikan kepada 3 orang miskin atau golongan lainnya, bahkan dapat diberikan kepada satu orang saja. 
 

Dalam kitab Hawasyis Syirwani dijelaskan:
 

وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَرْبَعَةُ أُمُورٍ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ وَتَعْمِيمُ الْآحَادِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ عِنْدَ تَسَاوِي الْحَاجَاتِ وَالْمُرَادُ تَعْمِيمُ آحَادِ الْإِقْلِيمِ الَّذِي يُوجَدُ فِيهِ تَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ لَا تَعْمِيمُ جَمِيعِ آحَادِ النَّاسِ الْمُسْتَحِقِّينَ لِتَعَذُّرِهِ 
 

Artinya, “Kesimpulannya, imam wajib melakukan empat hal:

  1. meratakan zakat kepada semua golongan yang berhak menerima zakat,
  2. menyamakan kadar zakat untuk semua golongan yang berhak menerima,
  3. meratakan kepada individu-individu di masing-masing golongan, dan
  4. menyamakan kadar zakat untuk masing-masing individu bila kebutuhannya sama. Maksudnya adalah meratakan kepada masing-masing penduduk wilayah pembagian zakat, bukan meratakan kepada seluruh orang yang berhak menerima zakat, karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan.”


وَيَجِبُ عَلَى الْمَالِكِ أَيْضًا أَرْبَعَةُ أُمُورٍ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ سِوَى الْعَامِلِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ وَاسْتِيعَابُ آحَادِ الْأَصْنَافِ إنْ انْحَصَرُوا بِالْبَلَدِ وَوَفَى بِهِمْ الْمَالُ  وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَ آحَادِ كُلِّ صِنْفٍ إنْ انْحَصَرُوا وَوَفَى بِهِمْ الْمَالُ أَيْضًا أَمَّا إذَا لَمْ يَنْحَصِرُوا أَوْ انْحَصَرُوا وَلَمْ يَفِ بِهِمْ الْمَالُ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ شَيْئَانِ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ زِيَادِيٌّ وَخَضِرٌ .ا هـ
 

Artinya, “Pemilik harta juga wajib melakukan empat hal:

  1. meratakan zakat kedapa golongan yang berhak menerima kecuali amil,
  2. menyamakan kadar zakat untuk semua golongan,
  3. meratakan zakat kepada masing-masing individu jika jumlah mereka terbatas di dalam satu daerah, dan harta cukup untuk dibagi rata, dan
  4. menyamakan kadar zakat untuk masing-masing individu jika jumlah mereka terbatas dan harta zakat dapat mencukupinya. 
 

Jika jumlah mereka tidak terbatas, ataupun terbatas namun harta zakat tidak mencukupi, maka yang wajib hanya dua hal:

  1. meratakan zakat kepada seluruh golongan yang berhak menerima, dan
  2. menyamakan kadar zakat utuk semua golongan. Demikian komentar dari Syekh Ziyadi dan Khadhir” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Beirut Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], juz VIII, halaman 742).


 

وَاخْتَارَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: مِنْهُمْ الْإِصْطَخْرِيُّ جَوَازَ صَرْفِهَا إلَى ثَلَاثَةٍ مِنْ الْمُسْتَحَقِّينَ وَاخْتَارَهُ السُّبْكِيُّ وَحَكَى الرَّافِعِيُّ عَنْ اخْتِيَارِ صَاحِبِ التَّنْبِيهِ جَوَازَ صَرْفِهَا إلَى وَاحِدٍ قَالَ فِي الْبَحْرِ: وَأَنَا أُفْتِي بِهِ . قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ فِي الْأَعْصَارِ وَالْأَمْصَارِ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَالْأَحْوَطُ دَفْعُهَا إلَى ثَلَاثَةٍ
 

Artinya, “Sekelompok murid Imam Syafi’i, termasuk Al-Isthakhri, memilih bolehnya menyalurkan  zakat fitrah kepada tiga orang yang berhak,. Pendapat ini juga dipilih oleh As-Subki. Ar-Rafi’i menyampaikan pendapat yang dipilih oleh pemilik kitab At-Tanbih yang memperbolehkan penyerahan zakat kepada satu orang.
 

Ar-Rauyani berkata dalam kitab Bahrul Mazhab, “Aku berfatwa dengan pendapat ini”. Al-Adzra’i berkata, “Pendapat ini yang diamalkan selama ini di berbagai kota, dan ini pendapat yang dipilih, namun yang lebih hati-hati diberikan kepada tiga orang”.” (Muhammad bin Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997], juz III, halaman 154)

 

Simpulan Hukum

Dari pertimbangan hukum fiqih di atas, panitia zakat hendaknya tidak mencampur seluruh harta zakat karena berpotensi sebagian zakat dapat kembali kepada muzakki, sehingga kewajiban zakat belum gugur darinya.
 

Dalam pembagian zakat, panitia harus mendata dan memastikan orang-orang yang berhak menerima zakat, sehingga zakat benar-benar tersalurkan kepada mereka yang berhak. Tidak didasarkan kepada data orang-orang yang telah menyerahkan zakat, karena jika penyaluran zakat tidak sesuai sasaran, maka penyaluran tersebut belum dianggap sah. 
 

Sedangkan untuk kadar zakat yang diberikan oleh panitia, tidak harus sesuai dengan kadar zakat yang dikeluarkan, melainkan terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:

  1.  Pendapat pertama panitia harus meratakan dan menyamakan kadar zakat kepada masing-masing orang yang berhak menerima jika beras zakat mencukupi. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban seperti itu.
  2. Pendapat kedua zakat cukup diberikan kepada tiga orang yang berhak menerima zakat,
  3. Pendapat ketiga penyaluran zakat boleh diberikan kepada satu orang saja. 


Walllahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar