Doa

Doa Nurbuat: Asal-usul, Lafaz, Makna, dan Tinjauan Kritis

Ahad, 24 September 2023 | 06:21 WIB

Doa Nurbuat: Asal-usul, Lafaz, Makna, dan Tinjauan Kritis

Doa Nurbuat. (Foto ilustrasi: NU Online)

Beberapa waktu lalu doa Nurbuat sempat ramai di beberapa pencarian media sosial. Mungkin sebagian orang yang sering membuka buku kumpulan doa berjudul Majmu’ Syarif dapat menemukan doa ini. Akan tetapi banyak juga yang belum mengetahui doa Nurbuat. Atau pun tahu, namun penasaran dari mana asalnya.


Nurbuat sendiri merupakan sebutan singkat dari dua kata yang digabung, yaitu "nur" yang berarti cahaya, dan "al-nubuwah" yang berarti kenabian. Salah satu versi lafaz doa Nurbuat yaitu:


اَللّٰهُمَّ ذِى السُّلْطَانِ الْعَظِيْمِ وَذِى الْمَنِّ الْقَدِيْمِ وَذِي الْوَجْهِ الْكَرِيْمِ وَوَلِيِّ الْكَلِمَاتِ التَّامَّاتِ وَالدَّعَوَاتِ الْمُسْتَجَابَةِ عَاقِلِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ مِنْ اَنْفُسِ الْحَقِّ عَيْنِ الْقُدْرَةِ وَالنَّاظِرِيْنَ وَعَيْنِ الْجِنِّ الْاِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَاِنْ يَّكَادُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَيُزْ لِقُوْنَكَ بِاَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُوْلُوْنَ اِنَّهُ لَمَجْنُوْنٌ وَمَاهُوَ اِلاَّذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ وَمُسْتَجَابُ اْلقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ الْوَدُوْدُ ذُوالْعَرْشِ الْمَجِيْدِ طَوِّلْ عُمْرِيْ وَصَحِّحْ جَسَدِيْ وَاقْضِ حَاجَتِيْ وَاَكْثِرْ اَمْوَالِيْ وَاَوْلَادِيْ وَحَبِّبْنِيْ لِلنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ وَتَبَاعَدِ الْعَدَاوَةَ كُلَّهَا مِنْ بَنِيْ اٰدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِيْنَ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن


Allahumma dzis sulthanil ‘azhim, wa dzil mannil qadim, wa dzil wajhil karim, wa waliyyil kalimatit tammat wad da’awatil mustajabat, ‘aqilil ḫasan wal ḫusayn min anfusil haqq, ‘aynil qudrah wan nadhirin wa ‘aynil jinni wal insi wasy syayathin, wa iy yakadulladzina kafaru layuzliqunaka bi abshorihim lamma sami’udz dzikra wa yaquluna innahu lamajnun wa ma huwa illa dzikrul lil-‘alamin, wa mustajabul qur’anil ‘azim, wa waritsa sulaimanu dawuda ‘alaihimas salam, al-wadud dzul ‘arsyil majid. Thawwil ‘umri wa shaḫḫih jasadiy waqdi hajati wa aktsir amwali wa awladi wa habbibni linnasi ajma'in wa taba‘adil ‘adawah kullaha mim bani Adama ‘alaihissalam, man kana hayyaw wa yahiqqal qawlu ‘alal kafirin innaka ‘ala kulli syay'in qadir. Subhana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yashifun wa salamun ‘alal mursalin wal hamdu lillahi rabbil  ‘alamin.


Artinya, “Ya Allah, Dzat yang memiliki kekuasaan yang agung, yang memiliki anugerah yang qadim, memiliki pandangan yang mulia, menguasai kalimat-kalimat yang sempurna, dan doa-doa yang mustajab, penanggung Hasan dan Husain dari jiwa-jiwa yang benar, dari pandangan mata yang memandang, dari pandangan mata manusia dan jin. Sesungguhnya orang-orang kafir benar-benar akan menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, ketika mereka mendengar Al-Quran dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila, dan tiadalah itu semua melainkan sebagai peringatan bagi seluruh alam. Dan mustajabnya Al-Quran yang mulia. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud  ‘alaihimassalam. Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi memiliki singgasana yang Mulia, panjangkanlah umurku, sehatlah jasad tubuhku, kabulkan hajatku, perbanyaklah harta bendaku dan anakku, cintakanlah semua manusia, dan jauhkanlah permusuhan dari anak cucu Nabi Adam alaihissalam, yaitu orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.”


Sesuai dengan substansi doa, maka melihat khasiatnya, kita telah meminta kepada Allah akan keselamatan dan perlindungan, kemudian kesehatan, panjang umur dan lain-lain.


Asal-usulnya

Melacak asal usul suatu doa dapat digunakan dengan beragam cara. Dalam ilmu hadits ada suatu cabang ilmu yang dapat membantu untuk mencari asal suatu lafaz hadits, yaitu ilmu takhrij hadits. Di era modern, kita dapat menggunakan teknologi untuk mencari suatu asal lafaz hadits. Kendati mencari dengan teknologi itu mudah, tanpa menguasai dasar-dasar mushtalah al-hadits dan pondasi ilmu takhrij hadits, maka pencarian dan pengambilan kesimpulan mungkin tidak memiliki signifikansi yang bagus.


Pasca melacak doa ini dalam beberapa literatur, ditemukan beberapa sumber terkait doa Nurbuat. Pertama ditemukan dalam Tafsir Ibn Katsir (Dar al-Thayyibah, 1999, jilid VIII, hal. 207). Keterangan ini dilampirkan ketika Ibn Katsir menjelaskan surah al-Qalam ayat 51:


حديث عن علي: روى الحافظ ابن عساكر من طريق خَيْثمة بن سليمان الحافظ: حدثنا عبيد بن محمد الكَشَوري، حدثنا عبد الله بن عبد الله بن عبد ربه البصري، عن أبي رجاء، عن شعبة، عن أبي إسحاق، عن الحارث، عن علي؛ أن جبريل أتى النبي صلى الله عليه وسلم فوافقه مغتما، فقال: يا محمد، ما هذا الغم الذي أراه في وجهك؟ قال: "الحسن والحسين أصابتهما عين". قال: صَدَق بالعين، فإن العين حق، أفلا عوذتهما بهؤلاء الكلمات؟ قال: "وما هن يا جبريل؟". قال: قل: اللهم ذا السلطان العظيم، ذا المن القديم، ذا الوجه الكريم، ولي الكلمات التامات، والدعوات المستجابات، عاف الحسن والحسين من أنفس الجن، وأعين الإنس. فقالها النبي صلى الله عليه وسلم فقاما يلعبان بين يديه. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "عَوِّذوا أنفسكم ونساءكم وأولادكم بهذا التعويذ، فإنه لم يتعوذ المتعوذون بمثله".


Artinya, “Hadits dari sayyidina ‘Ali: ‘al-Hafiz Ibn ‘Asakir meriwayatkan melalui Khaytsamah ibn Sulaiman al-Hafiz: ‘Ubayd ibn Muhammad al-Kasyuri menceritakan kepada kami, ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd Rabbih al-Bashri menceritakan kepada kami dari Abu Raja', dari Syu'bah, dari Abu Ishaq, dari al-Harits, dari sayyidina ‘Ali; Jibril mendatangi Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam, sedang Nabi terlihat sedih, kemudian Jibril berkata, ‘Wahai Muhammad, kesedihan apa yang aku lihat di wajahmu?’ Nabi berkata, ‘Hasan dan Husein terkena penyakit ‘ayn.’ Jibril berkata ‘Benarlah apa yang menimpa mereka dan ‘Ayn itu benar adanya, tidakkah kamu melindungi mereka berdua dengan beberapa kalimat?’ Nabi bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat itu, Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Katakanlah: Ya Allah, Dzat yang memiliki kekuasaan yang agung, yang memiliki anugerah yang qadim, memiliki pandangan yang mulia, menguasai kalimat-kalimat yang sempurna, dan doa-doa yang mustajab, pelindung Hasan dan Husein dari jin dan pandangan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengucapkan doa itu, kemudian Hasan dan Husein berdiri dan bermain di depan Nabi. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lindungilah dirimu sendiri, isteri-istrimu, anak-anakmu, dengan doa perlindungan ini, sebab orang yang mencari perlindungan tidak akan berlindung pada sesuatu yang seperti semisalnya.”


Demikianlah asal usul doa Nurbuat, meskipun sebenarnya lafaz doa Nurbuat dalam riwayat tersebut hanya sampai pada lafaz a’yun al-ins, yang artinya pandangan atau penglihatan manusia. Lantas bagaimana kualitas kesahihan riwayat di atas menurut para ahli riwayat?


Al-Khatib al-Baghdadi mengomentari riwayat ini, “Abu Raja Muhammad ibn Ubaidullah al-Hayathi meriwayatkan hadits ini secara sendiri saja [tafarrud], ia merupakan orang dari kaum Tustar." (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, Dar al-Thaybah, 1999, jilid VIII, hal. 207). Dalam istilah ilmu hadits, tafarrud sendiri adalah ketika seorang perawi meriwayatkan suatu riwayat, namun tidak ada perawi lain yang meriwayatkan riwayat yang sejenis.


Kedua, riwayat yang sejenis juga ditemukan dalam Kanz al-‘Ummal karya ‘Ali ibn Hisam al-Din al-Hindi dengan lafaz yang sama. Ia memberi ulasan sedikit terhadap siapa saja yang meriwayatkan riwayat ini, yaitu di antaranya adalah Ibn Mandah dalam Gharaib Syu’bah, al-Jurjani dalam al-Jurjaniyat, al-Ashbahani dalam al-Hujjah. (‘Ali ibn Hisam al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, Muassasah al-Risalah, juz X, hal. 108).


Lantas, apabila kita mengetahui bahwa riwayat tersebut mengalami tafarrud, apakah tetap boleh mengamalkan dan membacanya? Tentu boleh, dengan catatan tidak meyakini bahwa itu dari Nabi saw, disebabkan statusnya gharib. Hadits yang dinilai belum benar penisbatannya kepada Nabi, namun kita tetap berkeyakinan bahwa itu Nabi yang mengatakannya, maka seolah-olah kita meyakini ketidakbenaran atas nama Nabi.


Sebagai contoh, Al-Suyuthi pernah memberi komentar terhadap doa-doa membasuh anggota tubuh ketika wudhu yang dinisbatkan kepada Nabi, namun pada hakikatnya bukan berasal dari Nabi, beliau mengatakan:


لا ينبغي تركه، ولا يعتقد أنه سنة، فإن الظاهر أنه لم يثبت فيه شىء.   


Artinya: “Tidak seyogyanya meninggalkan doa-doa terkait membasuh anggota tubuh ketika berwudhu, dan jangan meyakini bahwa ia bagian dari sunnah, sebab jelasnya doa-doa tersebut tidak memiliki sumber” (al-Suyuthi, Tuhfah al-Abrar bi Nukti al-Adzkar, Madinah: Maktabah Dar el-Turats, cetakan pertama, th. 1987, hal. 141). 


Jadi, mengamalkan doa ini sah-sah saja, sebab isinya memiliki pujian kepada Allah dan Nabi-Nya, serta terdapat ayat-ayat al-Quran dan permohonan meminta kesehatan, perlindungan dan keselamatan. Akan tetapi, sebab riwayatnya belum tentu shahih dalam standar ilmu hadits, maka tidak perlu meyakini kebenarannya dari Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences