Doa

Urgensi Pemaknaan Aktif Terhadap Doa Perbaikan Diri

Sel, 31 Januari 2023 | 17:00 WIB

Urgensi Pemaknaan Aktif Terhadap Doa Perbaikan Diri

Ilustrasi: Doa - shalat (freepik).

Dalam kitab Hilyatul Auliyā’, Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani mencatat riwayat doa yang diajarkan Rasulullah kepada Sayyidina Umar bin Khattab. Berikut riwayatnya:
 

حدثنا محمد بن علي بن حبيش، ثنا أبو شعيب الحراني، ثنا عبد الله بن محمد العبسي، ثنا عبد الواحد بن زياد، ثنا عبد الرحمن بن إسحاق، حدثني رجل من قريش، عن ابن عكيم. قال: قال عمر: قال لي رسول الله-صلى الله عليه وسلم: قل اَللّهُمَّ اجْعَلْ سَرِيرَتِي خَيْرًا مِنْ عَلَانِيَتِي، وَاجْعَلْ عَلَانِيَتِي حَسَنَةً
 

Artinya, “Muhammad bin Ali bin Hubaisy menceritakan kepada kami, Abu Syu’aib Al-Harrani menceritakan, Abdullah bin Muhammad Al-‘Aisi menceritakan, Abdul Wahid bin Ziyad menceritakan, Abdurrahman bin Ishaq menceritakan, seorang laki-laki dari suku Quraish bercerita kepadaku, dari Ibnu ‘Ukaim, ia berkata: “Umar berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Ucapkanlah (atau bacalah):
 

‘Allahummaj’al sarīratī khairan min ‘alāniyyatī, waj’al ‘alāniyyati hasanah’, (Ya Allah, jadikanlah [sisi]ku yang tersembunyi lebih baik daripada [sisi]ku yang tampak, dan jadikanlah [sisi]ku yang tampak itu [penuh dengan] kebaikan.” (Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’ wa Thabaqātul Ashfiyā’, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 54). 

 

Kita seringkali menganggap doa hanya sebatas permohonan pasif. Terutama doa yang berhubungan dengan perbaikan diri, seperti pelembutan hati, penghadiran kedermawanan, istiqamah, sabar, tawakal dan lain sebagainya. Seakan-akan kita “hanya” meminta tanpa berproses aktif untuk mencapainya, padahal itu penting. 
 

Pemaknaan ‘aktif’ terhadap doa perbaikan diri bisa membuat kita terus mawas dan terjaga. Mencoba selalu jauh dari kelalaian dengan menghadirkan kesadaran dalam proses ‘aktif’nya. Karena itu, sangat penting untuk memvisualkan doa sebagai janji yang mengikat.
 

Penjelasan sederhananya begini, ketika kita sudah melafalkan doa memohon kedermawanan hati, sejatinya kita sedang mendeklarasikan diri untuk menjadi dermawan. Deklarasi itu kita ucapkan kepada Allah subhanahu wata’ala sehingga memiliki bobot kesakralan yang tinggi.
 

Bahasa bisnisnya, kita sudah mengajukan dan menandatangi kontrak kerja. Tentu saja, hal ini hanya salah satu cara menjauhkan diri dari kelalaian secara aktif, bukan pembatasan untuk berdoa. Artinya, semua orang harus dan dianjurkan untuk bedoa kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apapun.
 

Proses “aktif” semacam ini bukanlah penghalang untuk berdoa. Hanya salah satu cara membawa ‘doa perbaikan diri’ ke wilayah praksis (terapan). Secara praksis, paling tidak ada dua aspek penting dalam doa di atas.
 

Pertama, perbaikan sisi tersembunyi manusia; dan kedua, perbaikan sisi tertampak manusia. Untuk lebih mudah dalam menjelaskan, kita perlu merujuk pada perkataan Sayyidina Salman Al-Farisi. Katanya:
 

لِكُلِّ امْرِئٍ جُوَّانِيُّ وَبَرَّانِيُّ، فَمَنْ أَصْلَحَ جُوَّانِيَّهُ أَصْلَحَ اللَّهُ بَرَّانِيَّهُ، وَمَنْ أَفْسَدَ جُوَّانِيَّهُ أَفْسَدَ اللَّهُ بَرَّانِيَّهُ
 

Artinya, “Setiap orang memiliki juwwāniyyun (sisi dalam) dan barrāniyyun (sisi luar). Barangsiapa yang bagus sisi dalamnya, Allah baguskan pula sisi luarnya. Barangsiapa yang rusak sisi dalamnya, Allah rusakkan pula sisi luarnya.” (Abu Dawud As-Sijistani, Az-Zuhd, [Helwan: Darul Misykat: 1993, halaman 235). 
 

Dalam diri manusia terdapat sisi dalam (juwwāniyyun) dan sisi luar (barrāniyyun), atau ldan batin. Sisi dalam, jika merujuk hadits Nabi Muhammad saw, adalah hati. Beliau bersabda:
 

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
 

Artinya, “Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal darah yang apabila ia bagus, maka baguslah seluruh jasad; apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ingatlah, segumpal darah itu adalah hati.” (Muttafaq ‘Alaihi).
 

Hal ini menunjukkan bahwa lahir dan batin saling terkait, tidak berdiri sendiri. Lahir merupakan eksekutor dari sisi dalam manusia (hati). Geraknya adalah cerminan dari isi bagian dalamnya. Dengan demikian, bagian dalam (juwwāniyyun) sangat penting untuk sehat atau disehatkan. Salah satunya dengan doa yang tidak hanya terlafalkan secara seremonial, tapi berposes “aktif” secara terus-menerus dan berkelanjutan (istiqamah). Contohnya seperti doa di atas.

 

Dalam doa tersebut, istilah yang digunakan bukan juwwāniyyun dan barrāniyyun, melainkan sarīrāh (sisi tersembunyi/rahasia) dan ‘alāniyah (sisi tampak). Perbedaannya, istilah sarīrāh dan ‘alāniyah bermain di wilayah “tahu” dan “tidak tahu” dari sudut pandang orang lain.
 

Misalnya, seseorang gemar berpura-pura rajin beribadah di saat ramai, tapi tidak di saat sepi; atau seseorang senang melakukan suatu keburukan, tapi mencitrakan dirinya sebagai orang yang paling benci terhadap keburukan tersebut. Itu artinya, orang tersebut memiliki sarīrāh buruk yang berusaha disembunyikan, dan sisi ‘alāniyah yang seakan-akan baik.

 

Karena itu, Nabi Muhammad saw mengajarkan doa yang bersifat perbaikan, yaitu memohon agar sisi tersembunyi lebih baik dari sisi tertampak. Jika sisi tersembunyi (sarīrāh) lebih baik dari yang tampak, maka sisi tertampak pun (‘alāniyah) akan menjadi baik juga. Meski demikian, memohon agar sisi yang tampak menjadi baik juga harus tetap dilakukan. Sebab, kebaikan hati seperti hasrat ingin membantu, memberi dan lain sebagainya, terkadang tidak mewujud secara praksis, hanya menjadi keinginan belaka. Maka, memohon agar sisi yang tampak dibaguskan oleh Allah merupakan hal yang penting untuk dilakukan, apalagi jika kita mendampingi permohonan itu dengan proses aktif yang terus-menerus.
 

Salah satu cara berproses secara aktif adalah dengan menyadari rasa malu. Maksudnya, kita harus paham bahwa doa, dalam hal ini “doa perbaikan diri”, merupakan penyampaian keinginan. Kepada sesama manusia saja, kita akan merasa malu jika gagal memenuhi keinginan kita sendiri, apalagi kepada Allah yang Mahabaik dan Mahabesar. Dengan kata lain, kita sudah menyampaikan keinginan kita kepada Allah, tapi kita tidak berperan aktif dalam mewujudkannya. Dengan menyadari rasa malu, atau menghadirkan kesadaran malu, kita bisa berperan aktif dalam melaksanakan doa tersebut, sehingga yang sebelumnya banyak melakukan keburukan secara sembunyi-sembunyi, karena malu sudah mengucapkan doa tersebut, perlahan-lahan mulai mengurangi dan menghindari keburukan-keburukan tersebut.
 

Akhirul kalam, apa yang dikemukakan di sini hanyalah satu dari sekian banyak cara, bukan satu-satunya cara. Yang jelas, selama kita terus berdoa dan berusaha untuk membaguskan sisi tersembunyi kita, Allah akan memberi jalan. Yang terpenting, jangan melalaikan doa yang pernah kita panjatkan, dan sadarlah dengan apa yang kita minta. Karena banyak dari kita yang melupakan doa-doanya, sehingga kita tak sadar bahwa yang kita dapatkan saat ini bisa jadi merupakan hasil dari doa kita terdahulu. Wallahu a’lam bish shawwab.



Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Petanahan, Kebumen.