
Pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah Nabi Ya'qub adalah jangan pernah lalai dalam mengingat kematian.
M. Tatam Wijaya
Kolomnis
Mengutip kitab Zuhur al-Riyâdhah, Imam al-Ghazali mengisahkan dalam Mukasyafatul Qulub bahwa Nabi Ya‘qub ‘alaihissalam bersahabat dengan malaikat maut. Pada suatu ketika, malaikat datang kepadanya. Ditanya oleh Nabi Ya‘qub, “Wahai malaikat maut, engkau datang kemari untuk bertamu atau mencabut ruhku?” Malaikat menjawab, “Aku datang hanya bertamu.”
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bertanya, “Jika begitu, aku ingin menyampaikan suatu permintaan.” Malaikat bertanya, “Permintaan apa itu?” Nabi melanjutkan, “Aku harap engkau memberitahuku saat ajalku sudah dekat dan engkau ingin mencabut ruhku.” Malaikat pun menyanggupi, “Baiklah, aku akan mengirim dua atau tiga utusan.”
Tatkala ajal Sang Nabi sudah habis, malaikat maut kembali datang. Ditanya lagi oleh Nabi alaihissalam, “Apakah engkau sekadar bertamu, atau hendak mencabut ruh?” Malaikat menjawab, “Aku datang untuk mencabut ruhmu.” Sang Nabi terkejut, sebab malaikat datang tiba-tiba untuk mencabut nyawa tanpa pemberitahuan sebelumnya, “Bukankah engkau pernah memberi tahuku akan mengirim dua atau dua utusan?” Malaikat menjawab, “Benar, dan aku telah mengirim putih rambutmu sebagai utusan pertama. Padahal engkau tahu, rambutmu sebelumnya hitam. Kemudian aku mengirim lemah badanmu sebagai utusan kedua. Padahal, engkau tahu tubuhmu sebelumnya kuat. Terakhir, aku mengirim bongkok tubuhmu sebagai utusan ketiga. Padahal, tubuhmu sebelumnya tegak. Itulah utusan-utusanku kepadamu, wahai Ya‘qub, sekaligus kepada Bani Adam menjelang kematian mereka.”
Di antara pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah jangan pernah lalai dalam mengingat kematian. Cukuplah putihnya uban, lemah dan bongkoknya badan menjadi pertanda dekatnya kematian. Kendati demikian, kematian bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Adapun waktu, tempat, dan caranya dirahasiakan. Pesan kisah ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Perbanyaklah mengingat perkara yang memutus berbagai kenikmatan,” (H.R. at-Tirmidzi). Maksudnya adalah kematian.
Dalam kaitan ini, as-Samarqandi menambahkan, ada banyak manfaat dari mengingat kematian, di antaranya (1) semakin giat dalam beribadah, (2) menyegerakan bertaubat, (3) merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Sebaliknya, melalaikan kematian akan mewarisi sifat malas dalam beribadah, menuda-nunda bertaubat, dan tamak alias tidak puas atas pemberian Allah. (Lihat: Syekh Ibrahim as-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, [Surabaya: Harisma], hal. 10).
Penulis: M. Tatam Wijaya
Editor : Mahbib
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua