Hikmah

Belajar dari Ali dan Aisyah saat Beda Pilihan Politik

Kam, 15 Februari 2024 | 20:00 WIB

Belajar dari Ali dan Aisyah saat Beda Pilihan Politik

Ali dan Aisyah. (Foto ilustrasi: Istimewa)

Hubungan antara Siti Aisyah dan Sahabat Ali bi Abi Thalib sebelum wafatnya Nabi Muhammad saw normal dan harmonis, sebagaimana hubungan keluarga Nabi pada umumnya. Pasca wafatnya Nabi saw, para sahabat mulai berbeda pendapat, terlebih pasca terbunuhnya Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.


Pasca terbunuhnya Utsman, umat Islam dari segi politik terpecah dan tidak lagi berada dalam satu suara. Sebagian menyuarakan untuk terus mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman bin Affan, termasuk salah satunya Ali. 


Hanya saja kala itu masyarakat Madinah menuntut agar ada satu orang yang dijadikan pemimpin dan Ali ditunjuk untuk dibaiat. Ali pun akhirnya terpaksa memenuhi permintaan tersebut. Di sisi lain, Aisyah memandang bahwa semestinya pengangkatan pemimpin dilakukan di masa tenang dan damai, bukan pada masa konflik di kala umat Islam sedang mengusut pembunuh Utsman.


Kian hari kondisi makin memanas hingga terjadi peristiwa besar yaitu perang Jamal. Ada dua kelompok besar dari kaum Muslimin yang berhadapan, yaitu kelompok Ali dan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair, di mana Aisyah mengendarai Unta yang diberi nama Askar.


Pada hari di mana 10 ribu orang terbunuh, Ali dan Aisyah sama-sama tidak menghendaki peperangan itu terjadi. Di kala Thalhah terbunuh, Ali mengucap “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku benci melihat suku Quraisy terbunuh.


Tidak hanya Thalhah, sahabat yang cukup dekat dengan Nabi, yaitu Zubair akhirnya pun gugur. Tatkala Ali mendengarnya, ia berkata, “Berilah kabar gembira pada pembunuh Zubair, bahwa [pembunuhnya] akan masuk neraka.” (‘Abdurrahman al-Maqdisi, at-Tarikh al-Mu’tabar fi Anba` min Ghabar, [Suriah: Darun Nawadir, 2011], jilid I, hal. 266).


Pada saat peperangan berlangsung, Aisyah turun ke medan peperangan dengan menaiki untanya. Sebagaimana prajurit pada umumnya, Aisyah juga menjadi sasaran agar untanya dipanah supaya tumbang. Ketika mengetahui hal ini, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakr untuk membuat pelindung supaya Aisyah tidak terkena panah.


Faktanya, ketika Aisyah ingin meninggalkan Basrah pasca perang berakhir, Ali membekali seluruh kebutuhan dan barang bawaan. Ali memilih 40 perempuan warga Basrah untuk menemani Aisyah kembali. Saat Aisyah keluar orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya, Aisyah mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.


Aisyah berkata : “Wahai anakku, tidak boleh ada yang saling mencaci di antara kita. Demi Allah, dahulu kala antara aku dan Ali tidak ada apa-apa kecuali sebagaimana yang terjadi antara seorang wanita dengan ibu mertuanya, dan Ali menurutku adalah yang terbaik.


Demi Allah, tidak ada apa pun antara saya dan Aisyah melainkan sebagaimana disinggung oleh beliau tadi. Beliau adalah istri Nabi kalian semua di dunia dan akhirat.” Balas Ali ketika Aisyah mengucap kalimat perpisahan pada warga Basrah.


Lebih lanjut lagi Ibnul Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh jilid II halaman 614 menceritakan dua orang yang dihukum oleh Ali ketika mengolok-olok Aisyah yang sedang singgah di salah satu rumah di Basrah. Dua orang tersebut adalah adik kakak, Ajlan bin Abdullah dan Sa’ad bin Abdullah.


Selama Ali menjabat sebagai khalifah, Aisyah tidak pernah sama sekali menentang kepemimpinan Ali, atau bahkan memprovokasi orang-orang untuk memakzulkannya. Aisyah hanya mengutuk keputusan Ali yang tidak mengusut kasus pembunuhan Utsman dan menangguhkan hukum pidana pada orang-orang yang terlibat. Meskipun begitu, sesungguhnya sikap Ali bukan ingin menunda, namun menunggu kasus tersebut jelas gambarannya.” Ujar Umar bin Syabah, sejarawan abad III hijriah yang dikutip adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala jilid XII, hal. 369.


Beberapa catatan sejarah di atas menampilkan bahwa Aisyah dan Ali, meski berbeda pandangan akan tetapi keduanya saling menghormati satu sama lain, tidak saling menghina, mencela dan merendahkan.


Ali dan Aisyah sama-sama menjadi penenang umat dan tidak memprovokasi mereka untuk saling berperang dan bermusuhan. Bahkan keduanya saling menjaga objektivitas keilmuan yang mana ia merupakan warisan terbesar baginda Rasulullah saw.


Dikisahkan, Syuraih bin Hani` datang kepada Aisyah untuk bertanya soal mengusap sepatu atau khuff. Aisyah meminta Syuraih untuk lebih baik mendatangi Ali, karena dalam persoalan ini Ali pernah melihat langsung bagaimana Nabi saw mengusap sepatunya di waktu safar bersamanya.


Ali juga pernah memuji mertuanya seraya mengakui kecerdasan serta ketangkasannya dalam memimpin umat, beliau berujar: “Andai jabatan khalifah dapat diduduki perempuan, niscaya Aisyah lah orangnya!.” (Alawi bin Abdil Qadir Asseggaf, dkk, Aisyah Ummul Mu’min: Mausu’ah ‘Ilmiyyah ‘an Hayatiha, [Arab Saudi: Muassasah ad-Durar as-Saniyyah, 2013], hal. 325).


Demikianlah catatan sejarah antara Aisyah dan Ali, di mana keduanya memiliki pandangan politik yang berbeda, akan tetapi tetap bersama-sama mendamaikan umat, merawat kesatuan dan saling menjunjung tinggi rasa hormat satu sama lain. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta