Tasawuf/Akhlak

Teladan Laku Tirakat Keluarga Nabi Muhammad

Rab, 21 September 2022 | 12:00 WIB

Teladan Laku Tirakat Keluarga Nabi Muhammad

Laku tirakat di keluarga Nabi Muhammad saw.

Dalam dunia pesantren, tirakat menempati posisi yang sangat istimewa disamping tekun belajar dan khidmah atau mengabdi pada ilmu dan ahli ilmu. Istilah tirakat merujuk pada bahasa Arab tarku yang bermakna meninggalkan. Secara istilah, makna tirakat identik dengan mujahadah, yakni upaya mengekang hawa nafsu dengan meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan, lebih-lebih hal yang dilarang untuk meningkatkan derajat di sisi Allah. Bahkan tirakat dengan meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan itu sudah dicontohkan oleh keluarga Nabi saw. 
 

Dalam prakteknya di dunia pesantren tirakat bisa berupa puasa sunah, ngrowot (meninggalkan memakan nasi), tidak pulang dari pesantren selama tiga tahun, sedikit makan, sedikit tidur, dan lain-lain. Bahkan bersungguh sungguh belajar sendiri sudah merupakan bentuk tirakat. Karena dengan tekun belajar berarti telah meninggalkan banyak hal yang tak berfaedah.
 


Laku meninggalkan hal-hal yang mubah atau sebenarnya diperbolehkan dan tidak diperintahkan, dan juga tidak dilarang agama demi meraih keridhaan Allah dan derajat luhur di sisi-Nya bukan berarti membuat syariat baru. Tidak bisa dipahami bahwa hal itu mengharamkan perkara yang dihalalkan Allah Taala. Ia hanya memilih di antara dua hal, melakukan dan tidak.
 

Laku Tirakat Keluarga Nabi saw

Dalam berbagai riwayat, Rasulullah Saw sendiri kadang melarang sebagian keluarganya melakukan hal yang sebenarnya diperbolehkan. Beliau melarang putrinya, Sayyidah Fatimah ra, memakai kain sutra padahal hal tersebut diperbolehkan bagi perempuan. Disabdakan:

يا فاطمة، من لبس الحرير في الدنيا لم يلبسه في الآخرة
 

Artinya, "Wahai Fatimah, siapa yang memakai sutra di dunia, maka ia tak akan memakainya di akhirat."
 

Begitu juga beliau melarang istrinya, Sayyidah Aisyah Ra, makan dua kali dalam sehari. Padahal beliau memperbolehkan umatnya untuk makan dua kali sehari, pagi dan sore. Bahkan makan dua kali ini yang paling sering beliau lakukan. Beliau bersabda:
 

أكلتان في النهار إسراف والله لا يحب المسرفين
 

Artinya, "Dua kali makan di siang hari itu berlebihan; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melebihi batas."

Contoh dari Rasulullah saw ini salah satu dalil yang mendasari para ulama sering memerintahkan para murid untuk menghindari hal mubah dalam rangka pendidikan. (Abdul Wahhab As Sya'rani, Lawaqihul Anwar Al-Qudsiyah, Darul Qalam Al-Arabi, halaman 6).
 

Allah swt berfirman:
 

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِير 
 

Artinya, "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; dan di antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (QS Fathir: 32).



Tirakat menurut Imam As-Sya'rani

Imam As-Sya'rani dalam kitab Al-Minan Al-Kubra menyatakan bahwa sebagian ulama Arifin mengatakan:
 

"Sah bagi orang yang menganiaya diri sendiri untuk menjadi pilihan. Karena menganiaya diri tersebut dalam rangka melawan hawa nafsu untuk mencari ridha Allah. Bukanlah yang dimaksud menganiaya diri dengan melakukan maksiat." (Abdul Wahhab As Sya'rani, Al-Minan Al-Kubra, [Darul Kutub Ilmiyah], halaman 40).
 

Dari sini bisa dipahami, tirakat yang dikenal di pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama adalah perilaku yang baik sekali dan memiliki dasar dari Rasulullah Saw. Tentu hal ini bila tirakat tersebut dilandasi niat untuk mendapat ridha Allah, derajat luhur di sisi Allah, atau niat baik lainnya. Bukan tirakat yang dilakukan untuk meraih kehebatan duniawi.
 

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di PP Al-Inayah Wareng Tempuran dan Pengurus LBM NU Kabupaten Magelang.