Hikmah

Cinta Mbah Ngis kepada Mbah Dullah Tak Bersyarat

Rabu, 27 Desember 2017 | 00:00 WIB

Sebagai salah seorang putri Mbah Kiai Abdul Mannan sekaligus adik dari Mbah Kiai Ahmad Umar, Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)–biasa dipanggil Mbah Ngis–ketika masih lajang banyak ditanyakan orang apakah sudah punya calon suami atau belum. Itu terjadi ketika usia Mbah Ngis telah mencapai 15 tahun. Pada masa itu menikah di usia belia adalah umum. Sampai usia itu, Mbah Ngis tidak memiliki pilihan calon suami sendiri karena Mbah Ngis menyerahkan persoalan jodoh kepada sang ayah sebagaimana umumnya zaman itu.

Mbah Umar sendiri sebagai abangnya, ternyata juga bermaksud menjodohkan Mbah Ngis dengan salah seorang santri terbaik beliau di Mangkuyudan Solo. Ia hafidh Al-Qur’an dan alim. Suatu sore Mbah Umar memanggil Mbah Ngis untuk menyampaikan maksudnya. Mbah Umar memberitahukan nama santri yang hendak beliau jodohkan dengan Mbah Ngis. Mbah Ngis sangat paham dengan orang yang dimaksud. Sebut saja Mbah Fulan. Tetapi Mbah Ngis menolak tawaran itu dengan dua alasan sebagai berikut:

Pertama, Mbah Abdul Mannan sebagai ayah pernah mengatakan kepada Mbah Ngis bahwa putra putri beliau tidak dijodohkan dengan saudara sendiri. Kepada Mbah Umar, Mbah Ngis mengatakan, “Bapak sampun nate negendikan, ‘Anak-anaku ora tak olehke karo sedulur dhewe (Bapak pernah mengatakan, ‘Anak-anakku tidak akan aku dijodohkan dengan saudara sendiri’).” 

Kedua, Mbah Ngis khawatir tidak bisa menghormati Mbah Fulan sebagaimana mestinya, terutama dengan berbicara dalam bahasa krama hinggil karena Mbah Fulan adalah adik sepupu Mbah Ngis. Dalam pergaulan sehari-hari, Mbah Ngis biasa memanggil Mbah Fulan secara njangkar dan berbicara dalam basa ngoko. Dalam tradisi masyarakat Jawa, hal ini tidak melanggar sopan santun.

Kedua alasan tersebut bagi Mbah Ngis sangat mendasar karena berkaitan dengan berbakti kepada orang tua sikaligus sikap hormat kepada orang laki-laki yang akan disuamikan. Sebagai seorang anak, Mbah Ngis harus ngestokake dhawuh (tunduk patuh) pada orang tua dengan tidak menikah dengan saudara sendiri. Sebagai perempuan yang akan diperistrikan, Mbah Ngis merasa akan menghadapi kesulitan jika menikah dengan Mbah Fulan. Mbah Ngis takut sekali kalau tidak bisa menghormati sekaligus berbakti kepada Mbah Fulan sebagai suami karena Mbah Fulan adalah adik sepupu Mbah Ngis. 

Kepada Mbah Umar, Mbah Ngis memberikan jawaban dengan nada sedih, “Kados pundi kula saget ngajeni Fulan kanti basa krama hinggil menawi piyambakipun dados sisihan kula. Fulan punika rayi kula. Kula biasa njangkar lan mboten basa. Kula ajrih Kang, menawi saestu kula mboten saget bektos dumateng garwo. Punipa malih Fulan punika hafidh Qur’an. Kula mboten wantun. Kula nyuwun pangapunten, Kang (Bagaimana saya dapat menghormati Fulan dengan berbicara dalam bahasa yang halus jika dia menjadi suami saya. Fulan adalah adik saya. Saya biasa berbicara dalam bahasa yang tidak halus. Saya takut Kang, kalau saya betul-betul tidak bisa berbakti kepada suami. Apalagi Fulan hafidh Qur’an. Saya tidak berani. Saya mohon maaf)."

Tak lama setelah Mbah Ngis tak bersedia dijodohkan dengan Mbah Fulan, datanglah Mbah Dullah melamar. Mbah Kiai Abdul Mannan menerima lamaran itu setelah sebelumnya melakukan shalat istikharah beberapa kali. Hasilnya positif. Mbah Ngis pun menerima Mbah Dullah tanpa pernah sebelumnya menanyakan Mbah Dullah itu siapa, punya apa dan bisa apa. Mbah Dullah benar-benar orang lain yang tidak memiliki hubungan saudara sama sekali. Menantu seperti inilah yang dikehendaki Mbah Kiai Abdul Mannan untuk Mbah Ngis.

Mbah Abdul Mannan memang tidak menginginkan seorang menantu yang masih saudara sendiri karena hal seperti itu menurutnya tidak akan menambah saudara. Kesediaan Mbah Ngis menerima Mbah Dullah selain dimaksudkan sebagai birrul walidain, juga agar Mbah Ngis tidak memiliki sikap berani menentang kepada suami karena benar-benar orang lain. Mbah Ngis sendiri juga menginginkan seorang suami yang tidak ada hambatan untuk menghormati dan berbakti kepadanya.

Berbeda dengan Mbah Fulan yang hafidh Qur’an dan memiliki masa depan cerah, Mbah Dullah adalah orang biasa saja dan secara lahiriah memiliki beberapa kekurangan, terutama tidak pandai bekerja mendapatkan uang yang cukup. Mbah Ngis kemudian berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah dengan 13 anak guna membantu Mbah Dullah menunaikan kewajibannya sebagai suami. Hidup Mbah Ngis tidak jarang dalam kesulitan ekonomi sehingga harus bekerja keras setiap hari dengan berjualan makanan kecil di pesantren tempat kelahirannya. Tetapi Mbah Ngis tidak pernah menganggap kesulitan-kesulitan itu sebagai kesengsaraan yang sia-sia. Mbah Ngis memaknainya sebagai riyadlah yang akan melapangkan jalan ruhani menuju Allah SWT. 

Banyaknya kesulitan yang dialami Mbah Ngis terutama dalam hal ekonomi mungkin tidak akan pernah terjadi jika dulu Mbah Ngis mau menerima tawaran Mbah Umar, yakni menikah dengan Mbah Fulan. Mbah Fulan setelah menikah dan tinggal di kampung bersama istrinya menjadi seorang kiai dengan mengasuh sebuah pesantren. Di mana-mana Mbah Fulan dihormati dan dimuliakan orang. Ekonominya pun stabil dengan padatnya kegiatan di sana-sini. 

Andaikan dulu Mbah Ngis bersedia menikah dengan Mbah Fulan, tentu Mbah Ngis jadi nyai. Mbah Ngis akan dihormati dan dimuliakan sebagaimana Mbah Kiai Fulan. Tangan Mbah Ngis tentu akan selalu basah karena banyaknya orang yang menyalami dan menciuminya setiap hari. Di dalamnya tidak jarang akan terselip amplop rejeki. Mbah Ngis tidak perlu bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga malam hari sebagaimana yang dilakukannya sebagai istri Mbah Dullah.

Mbah Ngis tentu tahu segala kebaikan yang akan diterimanya jika dulu bersedia menjadi istri Mbah Kiai Fulan. Bahkan tidak hanya kebaikan duniawi tetapi juga ukhrawi karena Mbah Kiai Fulan adalah seorang hafidh Qur’an. Seseorang yang hafal Al-Qur’an diyakini dapat memberi syafa’at kepada beberapa kerabat dekatnya termasuk istri. Tetapi Mbah Ngis memang tidak sama dengan umumnya orang. Mbah Ngis lebih tertarik terhadap ridha Allah SWT daripada selainnya karena Mbah Ngis sangat meyakini kebenaran hadits Rasullah SAW: “Ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang tua.”

Ketika kemudian ada pihak yang mendorong Mbah Ngis bercerai dari Mbah Dullah karena Mbah Dullah dianggap hanya membebani saja, Mbah Ngis dengan tegas menolak. Mbah Ngis meyakini Allah tidak menyukai perceraian. Mbah Ngis tidak sanggup Allah membencinya karena sejatinya Mbah Ngis mencintai Allah SWT. Salah satu cara Mbah Ngis mengungkapkan cintanya kepada Sang Kekasih adalah dengan mencintai Mbah Dullah tanpa syarat.


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta