Hikmah

Hikmah Dua Fase Diturunkannya Al-Qur’an

Kam, 4 April 2024 | 09:00 WIB

Hikmah Dua Fase Diturunkannya Al-Qur’an

Ilustrasi Al-Quran. (Foto: NU Online/Suwitno)

Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam memiliki sebuah perjalanan historis yang menarik. Dalam proses turunnya Al-Qur’an, ada ukiran sejarah yang cukup panjang hingga sampai kepada Nabi Muhammad.

 

Mayoritas ulama sepakat bahwa turunnya Al-Qur’an ditempuh melalui dua fase. Fase pertama, Al-Qur’an turun secara utuh dari Lauh Mahfudz ke langit dunia (nuzulul jumali). Sedangkan fase kedua, turun secara bertahap dari langit dunia kepada Nabi Muhammad (nuzulul mufarraq).

 

Mengenai cara turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia terdapat ragam pendapat di kalangan ulama. Pembahasan kali ini tidak akan menyinggung ragam pendapat tersebut melainkan akan mencoba mengungkap hikmah yang terkandung di balik dua fase tersebut.

 

Hikmah Fase Pertama

Pada fase pertama Al-Qur’an turun dengan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul ‘Izzah atau langit dunia. Peristiwa ini terjadi di bulan Ramadan, tepatnya pada malam Lailatul Qadar. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

 

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ

 

Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” 

 

Para ulama kemudian mencoba menelusuri jejak hikmah dari fase ini. Misalnya, As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan menjelaskan, hikmah pada fase ini adalah menunjukkan tentang keistimewaan dan keagungan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad.

 

قِيلَ السِّرُّ فِي إِنْزَالِهِ جُمْلَةً إِلَى السَّمَاءِ تَفْخِيمُ أَمْرِهِ وَأَمْرِ مَنْ نَزَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بِإِعْلَامِ سُكَّانِ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ أَنَّ هَذَا آخِرُ الْكُتُبِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَى خَاتَمِ الرُّسُلِ لِأَشْرَفِ الْأُمَمِ

 

Artinya: “Dikatakan rahasia turunnya Al-Qur’an dengan sekaligus ke langit dunia untuk menunjukkan agungnya Al-Qur’an dan nabi yang menerima Al-Qur’an (Nabi Muhammad). Hal tersebut dengan cara mengabarkan kepada para penduduk langit ketujuh bahwa Al-Qur’an ini adalah kitab terakhir yang turun kepada penutup para rasul untuk disampaikan kepada umat paling mulia” (As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, [Kairo: Haiah Al-Misriyyah, 1974], Juz I, halaman 149)

 

Dua keistimewaan tersebut menjadikan Al-Qur’an turun sekaligus ke langit dunia, tidak secara bertahap. Hal ini juga yang membedakan Al-Qur’an daripada kitab-kitab sebelumnya. Posisinya sebagai kitab terakhir dan nabi yang menerima mandat risalah tersebut juga merupakan nabi terakhir menjadikan fase ini menyimpan hikmah yang besar.

 

Selain itu, fase pertama ini tidak berkaitan sedikit pun dengan permasalahan hukum. Karena memang peruntukkannya pada penduduk langit bukan penduduk bumi. Artinya, tujuannya adalah menerangkan kemuliaan dan keutamaan umat Islam yang menerima kitab Al-Qur’an kepada mereka. Berbeda dengan kitab suci sebelumnya di mana penurunannya sekaligus juga disertai dengan taklif kepada umatnya.

 

وَهَذَا النُّزُوْلُ الْجُمَلِيّ لَا تَتَعَلَّقُ بِهِ أَحْكَامُ سِوَى بَيَانِ شَرَفِ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَفَضْلِهَا؛ إِذْ نُزُوْلُهُ بِهَذِهِ الصِّفَةِ دُوْنَ غَيْرِهِ مِنَ الْكُتُبِ إِيْذَانٌ بِتَمَيُّزِهَا عَنْ غَيْرِهَا

 

Artinya; “Turunnya sekaligus tidak berkaitan dengan hukum-hukum kecuali menjelaskan keutamaan dan keunggulan umat Islam, karenanya fase ini mengabarkan perbedaan Al-Qur’an dengan kitab-kitab selainnya.” (Musa’id Sulaiman At-Thayyar, Al-Muharrar fi ‘Ulumil Qur’an, [T.tp: Tp, 2008] Cet. II, halaman 74)

 

Hikmah Fase Kedua

Fase kedua, turunnya Al-Qur’an secara bertahap atau berangsur-angsur. Fase ini merupakan kelanjutan dari fase pertama. Sebelumnya, Al-Qur’an sudah berada di langit dunia kemudian dibawa oleh Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur.  

 

Pada fase ini, sebagian dari ayat dan surat Al-Qur’an turun sesuai dengan peristiwa yang sedang dialami oleh Nabi Muhammad. Adakalanya Nabi menerima beragam pertanyaan yang beliau sendiri belum menemukan jawabannya, ada pula Nabi mendapat ujian dan celaan dari para penentang dakwahnya sehingga turunlah ayat atau surat untuk menghibur hatinya.

 

Ali As-Shabuni menyebutkan setidaknya ada enam hikmah dalam fase penurunan secara bertahap. Keenam hikmah tersebut sekaligus menjadi ciri khas yang membedakannya dengan kitab-kitab para nabi sebelumnya.

 

أَوَّلاً: تَثْبِيْتُ قَلْبِ النَّبِيِّ أَمَامَ أَذَى الْمُشْرِكِيْنَ ثَانِيًا: تَلَطُّفٌ بِالنَّبِيِّ عِنْدَ نُزُوْلِ الْوًحْيِ .ثَالِثًا: التَّدَرُّجُ فِيْ تَشْرِيْعِ الْأَحْكَامِ السَّمَاوِيَةِ. رَابِعًا: تَسْهِيْلُ حِفْظِ الْقُرْآنِيّ وَفَهْمِهِ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ .خَامِسًا: وَسَايِرُهُ الْحَوَادِثِ وَالْوَقَائِعِ, ,وَالتَّنْبِيْهُ عَلَيْهَا فِيْ حِيْنِهَا. سَادِسًا: الْإِرْشَادُ إِلَى مَصْدَرِ ألقُرْآنٍ وَأَنَّهُ تَنْزِيْلُ الْحَكِيْمِ الْحَمِيْدِ

 

Artinya: “Pertama: menguatkan hati Nabi dalam menghadapi gangguan orang musyrik. Kedua: melembutkan hati Nabi ketika menerima wahyu. Ketiga: menerangkan pensyariatan hukum secara bertahap. Keempat: mempermudah menghafal Al-Qur’an dan memahaminya bagi kaum muslim. Kelima: menyesuaikan kronologi kejadian dan peristiwa, sekaligus agar hal tersebut diperhatikan. Keenam: menunjukkan bahwa Al-Qur’an bersumber dari Allah.” (As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [Teheran: Dar Ihsan], Cet. III, halaman 35)

 

Hikmah pertama, menguatkan hati Nabi Muhammad. Hal ini merupakan penjagaan dari Allah dan menguatkan risalah di hadapan para musuhnya. Sekaligus menolak segala upaya, kecaman, dan gangguan yang dilontarkan para penentang Nabi.

 

Contohnya adalah permintaan mereka agar Al-Qur’an juga diturunkan dengan mekanisme yang sama dengan kitab terdahulu.

 

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا 

 

Artinya: “Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar).”

 

Turunnya ayat tersebut juga menghibur hati Nabi dan meringankan beban yang dihadapi. Adakalanya melalui ayat-ayat kisah umat terdahulu dan kesabaran para nabi sebelumnya agar Nabi Muhammad mengikuti jejak mereka.

 

Hikmah kedua, dengan diturunkannya Al-Qur`an secara bertahap bisa melatih kelembutan dan keteguhan hati Rasulullah agar bisa 'satu frekuensi' dengan Al-Qur'an. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an merupakan mukjizat yang sangat agung dan istimewa. Sekiranya diturunkan di atas gunung niscaya gunung akan hancur dan luluh lantah. 

 

Hikmah ketiga, penerapan hukum secara perlahan. Al-Qur’an pada mulanya turun kepada masyarakat Arab yang belum mengenal tauhid dan masih menyembah berhala. Maka syariat pertama kali ialah bagaimana mengeluarkan mereka dari kesyirikan, mengalihkan mereka kepada tauhid dan hal-hal yang berkenaan dengan keimanan. Setelah iman mereka kuat, barulah turun syariat berupa ibadah jasmani seperti shalat, puasa, haji, halal-haram dan sebagainya.

 

Sekiranya tidak demikian, kemungkinan besar dakwah nabi tidak akan diterima oleh mereka. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Muyassar fi ‘Ulumil Qur’an.

 

إِذْ هُوَ أَدْعَى إلِىَ الْقَبُوْلِ بِخِلَافِ مَا لَوْ نُزِلَتْ الأَحْكَامُ جُمْلَةً وًاحِدَةً فَقَدْ يُنَفِّرُ مِنْ قَبُوْلِهِ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ لِكَثْرَةٍ مِنَ الْفَرَائِضِ وَالنَّوَاهِي

 

Artinya: “Karena turunnya Al-Qur’an secara bertahap itu akan lebih mudah diterima ketimbang turunnya sekaligus. Sungguh banyak orang enggan menerimanya karena banyak terdapat di dalam Al-Qur’an berupa kewajiban dan larangan.” (Musaid Sulaiman Ath-Thayyar dan Ghanim Qadduri, Al-Muyassar fi ‘Ulumil Qur’an, halaman 30]

 

Hikmah keempat, memudahkan untuk menghafalkan, memahami, dan menghayati Al-Qur’an. Pada masa tersebut, tradisi menghafal masyarakat Arab memegang peranan penting. Ditambah lagi alat-alat yang digunakan untuk menulis juga masih terbilang langka dan jarang, Sekiranya Al-Qur’an turun sekaligus niscaya akan sulit untuk menghafalnya. Kondisi demikian, juga akan berakibat pada upaya untuk menghayati dan memahaminya.

 

Hikmah kelima, menyesuaikan dengan peristiwa yang sedang terjadi. Cara semacam ini akan lebih kontekstual dan merasuk ke dalam jiwa seseorang sehingga dapat mengambil pelajaran dan ibrah dari peristiwa yang terjadi.

 

Adakalanya Al-Qur’an memberikan sebuah teguran  ketika ada masyarakat yang melakukan kesalahan dan penyimpangan. Kemudian, menerangkan apa yang seharusnya mereka dijauhi dan apa yang harus dikerjakan. 

 

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada perang Hunain. Ketika itu, kaum muslimin merasa sombong melihat jumlah mereka yang melebihi jumlah pasukan kaum musyrik. Sampai di antara mereka ada yang berkata, “Kami tidak akan terkalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit”. Mengomentari sikap mereka, Allah pun menegur dengan menurunkan surat At-Taubah ayat 25.

 

Hikmah terakhir, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Ilahi, bukan ucapan dari Nabi Muhammad ataupun dari makhluk yang lain. Jika dibaca dari awal hingga akhir akan didapati bahwa Al-Qur’an selalu runtut, detail dan kuat ketersambungannya. Tidak ditemukan cacat dan kekeliruan sedikit pun. Padahal ia turun kepada Nabi Muhammad dengan cara yang berangsur-angsur.

 

Demikianlah, hikmah yang terdapat dalam dua fase turunnya Al-Qur’an. Semuanya itu dapat menyadarkan dan membangkitkan keimanan umat Islam bahwa Al-Qur’an memang merupakan kalam Allah dan memiliki keistimewaan berupa kitab suci yang tidak sama dengan kitab-kitab para nabi sebelumnya. Wallahu A’lam

 

Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam Depok.