Hikmah

Ketika Abdullah bin Mubarak Berdesakan Mengambil Air Minum

Sen, 28 Maret 2022 | 06:00 WIB

Ketika Abdullah bin Mubarak Berdesakan Mengambil Air Minum

Ketika Abdullah bin Mubarak Berdesakan Mengambil Air Minum

Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Abdullah bin Mubarak yang harus berdesak-desakan untuk mengambil air minum. Berikut riwayatnya:

 

قال: وكنت مع ابن المبارك يومًا فأتينا على سقاية والناس يشربون منها، فدنا منها ليشرب ولم يعرفه الناس فزحموه ودفعوه فلما خرج قال لي: ما العيش إلا هكذا. يعني حيث لم نعرف ولم نوقر

 

(Al-Hasan) berkata: “Di suatu hari aku bersama (Abdullah) bin Mubarak mendatangi tempat penampungan air. (Banyak) orang yang (datang untuk) minum di tempat itu. Kemudian (Imam Abdullah) bin Mubarak mendekati penampungan air itu untuk minum, dan tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Mereka mendesak dan mendorongnya. Ketika ia (berhasil) keluar (dari kerumunan itu), ia berkata kepadaku:

 

“Tidak (terasa) hidup kecuali dengan (mengalami) ini.” Maksudnya adalah, “di saat tidak ada orang yang mengenali dan menghomati kami.” (Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 323)

 

****

 

Bisa jadi ada yang bertanya-tanya, apakah ada hikmah yang bisa diambil dari “berdesakan”. Bukankah hal tersebut biasa dialami semua orang, apalagi di zaman sekarang ini.

 

Kita semua tahu, hikmah bisa diambil dari mana saja, dan dari siapa saja. Setiap peristiwa menyimpan hikmahnya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana hikmah itu dipahami, apalagi orang yang mengalami “terdesak/berdesakan” adalah Abdullah bin Mubarak (w. 181 H), seorang ulama besar, ahli fiqih, dan ahli hadits yang sangat terkenal kewalian dan kezuhudannya. Ia adalah seorang pengelana ilmu, mendatangi banyak ulama untuk berguru, sebut saja Imam al-Auza’i, Hisyam bin ‘Urwah, Malik bin Anas dan lain sebagainya, sampai Abu Usamah berkata:

 

ما رأيت أطلب للعلم من عبد الله بن مبارك

 

“Aku tidak melihat orang yang lebih (gemar) menuntut ilmu dari Abdullah bin Mubarak.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, Beirut: Dar al-Ihya li al-Turats al-‘Arabiy, 1991, juz 3, h. 247)

 

Ia memiliki banyak murid, di antaranya adalah Nu’aim bin Hammad, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lainnya (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, 1991, juz 3, h. 247).

 

Dalam kisah di atas, Imam Abdullah bin Mubarak didesak dan didorong-dorong oleh kerumunan orang yang hendak mengambil air. Tidak seorang pun yang mengenalnya, sehingga mereka tidak segan mendesak dan mendorongnya. Mengalami hal ini, Imam Abdullah bin Mubarak malah merasa hidup dan bahagia. Ia berkata (terjemah bebas), “Tidak ada hidup kecuali hari ini (mengalami berdesakan dan mengantri secara normal).”

 

Bagi orang yang berhati bersih, mendapat privilege (hak istimewa) tidak selalu menyenangkan, apalagi jika privilege itu bertentangan dengan norma etis atau nilai keberadaban. Seperti mengambil air dalam kisah di atas. Jika mengikuti norma keberadaban, harus berlaku peraturan, siapa yang datang lebih dulu, harus mendapatkan air lebih dulu. Inilah yang dinikmati oleh Imam Abdullah bin Mubarak sekaligus mengingatkannya, bahwa ia manusia biasa.

 

Selama ini, kemana pun ia pergi, banyak orang mengerumuninya, dari mulai meminta fatwa, sampai meminta doa kepadanya. Bahkan, Imam Malik bin Anas menggeser duduknya untuk Abdullah bin Mubarak. Imam Yahya bin Yahya al-Andalusi mengatakan:

 

ولم أره تزحزح لأحد في مجلسه غيره

 

“Aku tidak pernah melihat Imam Malik bin Anas menggeser duduknya untuk seorang pun di majlisnya selain (untuk) Abdullah bin Mubarak.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, 1991, juz 3, h. 249).

 

Beruntung jiwanya dijaga oleh ilmu pengetahuan yang diamalkan. Meski selalu diperlakukan sedemikian rupa dan dihormati di mana-mana, ia tetap merasa dirinya manusia yang bisa salah dan juga bisa benar. Di setiap waktu, ia berusaha menjaga hatinya dari rasa ujub dan takabur. Ketika ia duduk di majlis Imam Malik bin Anas, ia duduk dengan santun. Seringkali Imam Malik menanyakan pendapatnya, tapi ia menjawabnya dengan samar (bil-khafa’î), tidak berani lancang. Setelah ia pergi, Imam Malik kagum atas kerendahan hati Abdullah bin Mubarak dan mengatakan:

 

هذا ابن المبارك فقيه خرسان

 

“Ini (tadi) Ibnu Mubarak, ahli fiqihnya Khurasan.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, 1991, juz 3, h. 249).

 

Karena itu, ketika ia berkerumun, terdesak dan terdorong, ia merasakan kebahagiaan luar biasa. Kebahagiaan semacam ini adalah kebahagiaan yang tidak direncanakan. Datang secara alami begitu saja. Menjadi orang yang terlibat secara langsung dalam proses ini sangat menyenangkannya. Bagi orang-orang tertentu seperti Abdullah bin Mubarak, keadaan semacam ini disyukuri dengan penuh gairah. Karena ia dihadapkan secara langsung dengan pelatihan jiwa yang alami, tanpa rencana dan niatan. Ia pernah berkata:

 

كن محبًا للخمول كراهية الشهرة ولا تظهر من نفسك أنك تحب الخمول فترفع نفسك فإن دعواك الزهد من نفسك هو خروجك من الزهد لأنك تجر إلى نفسك الثناء والمدحة

 

“Jadilah orang yang menyenangi “khumûl” (tidak dikenal) serta membenci popularitas. Dan jangan tampakkan dari dirimu bahwa kau menyenangi “tidak dikenal” itu untuk meninggikan dirimu sendiri. Sesungguhnya mengklaim dirimu sendiri zuhud (justru) mengeluarkanmu dari kezuhudan, karena kau telah menyengajakan pujian dan sanjungan untuk dirimu sendiri” (Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, h. 324-325).

 

Artinya, ia sedang mengalami pelatihan alami tentang “ketidak-terkenalan” ini. Karena orang yang menampakkan kesenangan “khumûl” untuk meninggikan diri sendiri sama saja dengan orang yang mengklaim dirinya zuhud.

 

Kesenangan yang diungkapkan Imam Abdullah bin Mubarak tidak sama dengan kesenangan semacam itu. Tidak sama sekali. Karena kesenangan yang dialami olehnya datang secara alami, diungkapkan secara spontan tanpa rencana untuk dianggap zuhud atau dianggap tinggi derajat spiritualitasnya.

 

Di samping itu, yang disenangi olehnya bukan tindakan menampakkan “khumûl” pada orang lain, seakan-akan berkata, “ini lho, saya khumûl, saya tidak takut tidak dikenal orang, begitulah laku orang zuhud yang benar.” Yang disenangi olehnya adalah perasaan tidak dikenal dan disanjung di saat kejadian itu benar-benar terjadi, bahkan mungkin, ia sendiri tidak tahu jika perasaan “tidak dikenal” bisa sehidup dan seindah ini.

 

Wallahu a’lam bish-shawwab

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen