Mishbah Khoiruddin Zuhri
Kolomnis
Islam sejak awal memartabatkan orang biasa. Mereka tidak hanya diterima, tetapi diberi ruang, peran, dan kehormatan. Dalam ajaran Islam, kemuliaan tidak diukur dari status sosial, melainkan dari takwa.
Nabi Muhammad SAW memberi teladan. Bilal bin Rabah, mantan budak dari Habasyah (kini mencakup negara Ethiopia, Eritrea, dan Djibouti), mendapat kehormatan sebagai seorang muadzin. Salman al-Farisi, mantan budak dari Persia, menyelamatkan Madinah dengan ide parit dalam perang Khandaq. Abdullah bin Ummi Maktum, difabel netra, dipercaya menjaga kota Madinah, dan menjadi muadzin bersama Bilal.
Namun realitas kini berbeda. Pemartabatan terhadap orang biasa terasa jauh dari ideal. Penghormatan terhadap kaum elit lebih dominan. Pendampingan terhadap orang biasa nyaris tak terdengar, khususnya saat mereka mendapat ketidakadilan. Padahal sejak awal Islam menegaskan martabat setiap manusia itu setara. Spirit pemartabatan itu perlu untuk kita hidupkan kembali. Bukan sekadar kenangan, tetapi kompas moral hari ini.
Islam dan Pemartabatan Orang Biasa: Dari Makkah ke Madinah
Islam lahir di tengah ketimpangan sosial di Makkah. Makkah terletak di jalur dagang strategis antara Yaman, Syam, dan Persia. Sumur Zamzam dan Kaʿbah menjadikannya tempat singgah penting bagi kafilah. Pada bulan-bulan suci, perdagangan berlangsung aman tanpa gangguan perang. Makkah pun menjadi pusat ekonomi dan spiritual.
Mahmood Ibrahim memetakan masyarakat Makkah pra-Islam ke dalam empat lapisan sosial. Klasifikasi ini membentuk dinamika ekonomi, politik, dan ritual di kota suci tersebut.
Para pedagang besar Quraisy berada di puncak lapisan sosial. Mereka mengelola Kaʿbah, menyediakan air dan makanan bagi peziarah, serta menguasai kafilah dagang ke Suriah, Yaman, dan Habasyah. Peran tersebut menjadikan mereka sebagai elite yang memonopoli pengaruh sosial dan politik.
Lapisan kedua ialah anggota klan merdeka. Mereka tidak sekaya elite, tapi masih disegani karena nasabnya. Mereka menjadi pengrajin, pedagang kecil, tukang, dan peternak yang menjaga denyut ekonomi kota. Sistem kekerabatan menopang martabat mereka meski ekonomi mereka berkecukupan.
Baca Juga
Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz
Berikutnya adalah mawali. Mereka adalah orang merdeka yang menggantungkan diri pada perlindungan suku Quraisy. Banyak di antara mereka bekas budak atau pendatang yang mencari tempat di jaringan kekerabatan Arab. Status hukum bebas tak serta-merta menebus ketergantungan ekonomi dan politik mereka.
Di lapisan terbawah terdapat budak serta anak-anak budak. Mereka diperoleh lewat perang, utang, atau perdagangan manusia, lalu bekerja tanpa hak suara. Pelapisan sosial yang menindas ini melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi. (Mahmood Ibrahim, “Social and Economic Conditions in Pre-Islamic Mecca,” International Journal of Middle East Studies, [Cambridge: Cambridge University Press, 1982], hlm. 346–347).
Nabi Muhammad SAW tumbuh di lapisan kedua. Ia berasal dari keluarga terhormat Bani Hasyim, suku Quraisy, tapi tanpa kekayaan melimpah. Sebagai yatim, beliau peka pada derita masyarakat lapisan bawah sekaligus memahami jaringan elite Quraisy. Jembatan ganda ini menjadi modal moral dakwahnya.
Sejak awal, beliau merangkul kaum kaya, seperti Khadijah, Abu Bakar, dan Utsman bin Affan. Mereka menyokong dakwah dengan harta, perlindungan, dan reputasi, termasuk membebaskan budak dan membiayai ekspedisi. Solidaritas materi ini memperluas ruang gerak misi Islam.
Nabi SAW juga membersamai Bilal bin Rabah dan Ammar bin Yasir. Tanpa gentar mereka menyebarkan pesan tauhid di kalangan bawah dan bertahan meski disiksa. Keberanian mereka menegaskan bahwa martabat lahir dari iman, bukan silsilah.
Sinergi antar lapisan sosial itu melahirkan komunitas egaliter. Yang kuat melindungi. Yang lemah menguatkan. Islam tidak meniadakan struktur sosial. Akan tetapi, ia mengalihkan ukuran kehormatan dari lapisan sosial menjadi takwa.
Ketika tekanan dari Quraisy memuncak, Nabi menyarankan sebagian sahabat hijrah ke Habasyah. Hijrah terjadi dua kali, pada 615 M dan 617 M. Pada hijrah kedua, di hadapan Raja Najasyi, Jaʿfar bin Abi Thalib menjelaskan misi mereka dan alasan mencari suaka, menegaskan etos keadilan lintas batas.
أَيُّهَا الْمَلِكُ، كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ، وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ، وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ، وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ، وَنُسِيءُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ. حَتَّى بَعَثَ اللهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ... فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا فَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ، وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنَ الْخَبَائِثِ، فَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا، وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا، خَرَجْنَا إِلَى بَلَدِكَ، وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ، وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ.
Artinya, "Wahai Raja, kami dahulu adalah kaum yang hidup dalam masa Jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat kejahatan, memutuskan hubungan silaturahmi, dan berperilaku buruk terhadap tetangga. Yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami hidup seperti itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri…Namun, kaum kami kemudian memusuhi kami, menyiksa kami, dan berupaya memalingkan kami dari agama kami agar kami kembali kepada penyembahan berhala, serta membolehkan kembali segala keburukan yang dulu kami lakukan. Ketika mereka menindas dan menzalimi kami, serta menghalangi kami dari agama kami, kami pun meninggalkan negeri kami menuju negerimu. Kami memilih engkau di antara yang lain, dan berharap dapat tinggal di bawah perlindunganmu, serta berharap kami tidak dizalimi di sisimu, wahai Raja." (HR. Ahmad dalam Musnad, [Beirut: Muʾassasah ar-Risâlah, 1416 H/1996 M], juz 3, hlm. 266).
Jaʿfar bin Abi Thalib menegaskan bahwa Islam membela kaum lemah. Ia membahasakannya dengan “ya’kulul qawiyyu minnadl dlaif.” Ini mengisyaratkan bahwa orang elit yang memiliki kekuatan modal sosial, ekonomi, dan politik terbiasa memperlakukan yang lemah dalam kesehariannya.
Saat Nabi hijrah ke Madinah tahun 622 M, semangat membela orang biasa tidak padam. Justru dijadikan sistem. Orang biasa tetap jadi tulang punggung masyarakat. Ahlush Shuffah diberi ruang belajar dan peran. Petani Ansar berbagi hasil kebun. Nabi juga membangun pasar untuk pedagang kecil. Zakat dikumpulkan dan dibagikan secara adil. Masjid dijadikan tempat musyawarah. Masjid menjadi “ka’bah” yang terbuka untuk semua.
Penghormatan Nabi kepada Orang Biasa
Nabi Muhammad saw menghormati orang-orang biasa di sekitar Masjid Nabawi. Mereka disebut ahlush shuffah. Nabi menyapanya dengan gelar terhormat: adhyafu ahlil Islam. Dalam riwayat lain, dhuyuful Islam, tamu-tamu Islam. Dalam tradisi Arab, tamu adalah kehormatan yang wajib dimuliakan.
Abu Hurairah meriwayatkan bagaimana Nabi saw memperlakukan mereka dengan penuh kemuliaan:
كَانَ أَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ، لَا يَأْوُونَ عَلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ...إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا، وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ فَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا
Artinya, "Para penghuni Shuffah adalah tamu-tamu kaum Muslimin. Mereka tidak memiliki keluarga maupun harta... Jika datang kepada Nabi sedekah, beliau mengirimkannya kepada mereka dan tidak mengambil sedikit pun darinya. Dan jika datang hadiah, beliau mengirimkannya kepada mereka, lalu beliau pun memakannya dan berbagi bersama mereka.”(HR. Bukhari)
Nabi juga memanggil mereka dengan sapaan pribadi. Nabi menyapa Abu Hurairah dengan Abâ Hirr, karena ia suka membawa anak kucing. Nabi memanggil Anas bin Malik dengan sapaan “yâ Unais.” Sapaan yang terdengar penuh keakraban. Bahkan, Nabi juga memanggilnya, “yâ bunayya,” wahai anakku! Panggilan tersebut menunjukkan bukan sekadar sebagai pelayan, tapi seperti sapaan kasih sayang seorang bapak kepada anak sendiri, yang dicintai dan dihormati.
Begitu pula Ummu Aiman, mantan budak dari Habasyah. Ia memiliki kedekatan dengan Nabi sejak kecil. Bahkan, sebelum Nabi lahir. Ia menjadi budak ayahnya, Abdullah. Ia juga menjadi pengasuh Nabi setelah ibunya wafat. Nabi pernah menyapanya, “yâ Ummu Aiman, ummî ba‘da ummî,” engkaulah ibuku setelah ibuku. Status sosial tidak menjadi sekat penghormatan terhadap mereka yang berbeda lapisan sosial.
Orang Biasa dan Perannya yang Luar Biasa
Nabi memberi tempat terhormat kepada orang-orang biasa. Bilal bin Rabaḥ, mantan budak, dan Abdullah bin Ummi Maktum, difabel netra, diangkat sebagai muadzin.
Abu Hurairah meriwayatkan lebih dari 5.000 hadis. Anas bin Malik meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis. Ibnu Mas‘ud, mantan penggembala, dikenal sebagai perawi terpercaya. Abu Dzar al-Ghifari, seorang badui nomaden, juga meriwayatkan banyak hadis.
Di medan perang, Salman al-Farisi memberi ide brilian untuk menggali parit di Khandaq. Strategi itu menyelamatkan Madinah. Ummu Aiman menyiapkan logistik dan obat-obatan di Uhud dan Khaybar.
Nabi juga tidak meremehkan spiritualitas orang biasa. Ia berkata:
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، ذِي طِمْرَيْنِ، لَا يُؤْبَهُ لَهُ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
Artinya, "Bisa jadi seseorang rambutnya kusut, pakaiannya lusuh, tidak diperhitungkan manusia, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah kabulkan." (Al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak 'alash Shahihain, [Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2nd ed., 1422 H/2002 M], juz 4, hlm. 364).
Hadits ini menegaskan orang biasa, dengan penampilan yang terkadang diremehkan di bumi, mereka dimuliakan di langit.
Takwa: Pemartabatan terhadap Orang Biasa
Di masyarakat Quraisy, orang dihargai karena nasab, lapisan sosial, harta, dan penampilan. Tapi Islam datang membawa standar yang berbeda. Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa kemuliaan lahir dari takwa. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Ayat ini mengajak kita memandang perbedaan suku dan budaya sebagai rahmat, bukan celah pertikaian. Tugas kita adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, memperluas persaudaraan, dan menjadikan takwa sebagai satu-satunya tolok ukur kemuliaan. Ibnu Katsir menjelaskan:
فجميع الناس في الشرف بالنسبة الطينية إلى آدم وحواء سواء، وإنما يتفاضلون بالأمور الدينية، وهي طاعة الله ومتابعة رسوله صلى الله عليه وسلم…يا أيها الناس، إن الله قد أذهب عنكم عبية الجاهلية وتعظمها بآبائها، فالناس رجلان: رجل بر تقي كريم على الله، وفاجر شقي هين على الله …ليس لأحد على أحد فضل إلا بدين وتقوى، وكفى بالرجل أن يكون بذيًّا بخيلًا فاحشًا.
Artinya: "Maka seluruh manusia, dilihat dari asal kejadiannya—tanah—yang kembali kepada Adam dan Hawa, sama derajatnya. Mereka hanya saling melebihi dalam perkara agama: ketaatan kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya. Wahai manusia, sungguh Allah telah menyingkirkan dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan pada nenek moyang. Manusia itu terbagi dua: (1) orang yang berbuat baik lagi bertakwa, mulia di sisi Allah; dan (2) orang fajir nan celaka, hina di hadapan-Nya.Tiada seorang pun mempunyai keutamaan atas yang lain kecuali dengan agama dan takwa. Cukuplah menjadi aib bagi seseorang bila lisannya kotor, ia kikir, dan berperangai keji.." (Ibn Katsir, Tafsîrul Qur’anil‘Azhim, [Riyâḍ: Dar Ṭayyibah, 1st ed., 1420 H/1999 M], juz 7, hlm. 386–387).
Takwa mengangkat martabat, tidak hanya di sisi Allah, tapi juga di tengah masyarakat. Ini memberi harapan dan tempat bagi orang biasa.
Nabi Muhammad menolak status dan latar belakang sosial sebagai satu-satunya ukuran kemuliaan. Suatu ketika, Abu Dzar al-Ghifari menghina Bilal bin Rabah dengan nada merendahkan dengan memanggilnya, “yabnas sawdâʼ”, wahai anak perempuan berkulit hitam. Mendengar hal itu, Nabi segera menegurnya:
يَا أَبَا ذَرٍّ، طَفَّ الصَّاعَ، طَفَّ الصَّاعَ، لَيْسَ لِابْنِ الْبَيْضَاءِ عَلَى ابْنِ السَّوْدَاءِ فَضْلٌ
Artinya, "Wahai Abu Dzar, imanmu belum sempurna, belum penuh. Tidak ada kelebihan bagi anak berkulit putih atas anak berkulit hitam." (Imam Al-Ghazali, Ihya 'Ulumiddin, [Beirut: Dâr Ibn Ḥazm, 2005], hlm. 1267).
Sikap empatik Nabi saw menunjukkan setiap orang punya kehormatan dan martabat. Perbedaan ras, warna kulit dan suku tidak boleh menjadi alasan perendahan martabat orang lain.
Pesan Terakhir Nabi: Martabat untuk Semua
Puncak dari misi kenabian Nabi Muhammad saw ditegaskan dalam khutbah haji wada’. Beliau menyampaikan pesan penting di tengah ketimpangan sosial: tidak ada kelebihan Arab atas non-Arab, kulit putih atas kulit hitam, atau bangsawan atas budak, kecuali karena takwa.
Islam datang untuk kesetaraan. Seluruh sistem pra-Islam yang menindas orang biasa, orang miskin, budak, perempuan, dan kaum lemah dianulir. Orang biasa mendapat pemartabatan.
Dari awal dakwah, hingga akhir hayat, Nabi saw memartabatkan orang biasa. Dalam sikap, sistem, dan sabdanya, terlihat jelas: Islam bukan agama yang lahir untuk para elite saja, tetapi agama yang mengangkat semua harkat manusia tanpa terkecuali. Setara!
Ustadz Mishbah Khoiruddin Zuhri, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online 2025 dan Mahasiswa Fakultas Studi Islam, Universitas Islam Internasional Indonesia
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
3
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
4
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
5
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
6
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
Terkini
Lihat Semua