Hikmah

Kisah Kemarau Panjang di Masa Raja Andalusia Spanyol

Sen, 30 Oktober 2023 | 19:00 WIB

Kisah Kemarau Panjang di Masa Raja Andalusia Spanyol

Foto padang pasir. (NU ONline/Freepik)

Kemarau dan kekeringan panjang menjadi salah satu musim yang kerap dihadapi umat manusia di seluruh penjuru dunia. Tak hanya zaman sekarang, bahkan dari dulu kemarau panjang sudah dirasakan oleh manusia, hingga pada akhirnya menjadi kisah-kisah luar biasa perihal bagaimana cara mereka menjalani hidup di tempat yang serba kekurangan sumber mata air.


Benar memang, kehadiran musim kemarau yang panjang bisa membawa petaka tersendiri bagi manusia. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengalami kelaparan dan kehausan karena habisnya makanan dan minuman. Bahkan tidak sedikit pula wabah kematian menimpa mereka di berbagai penjuru dunia ketika musim ini sudah tiba.


Kejadian-kejadian seperti ini sudah terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan lebih parah dari kemarau yang dirasakan oleh manusia saat ini. Salah satunya adalah kemarau panjang yang terjadi pada masa kejayaan Andalusia, Spanyol di bawah pimpinan Abdurrahman III an-Nashir, salah satu penguasa terbesar dan paling sukses di Andalusia.


Alkisah, suatu saat Andalusia mengalami musim kemarau yang sangat panjang di masa kepemimpinan Abdurrahman III an-Nashir, sehingga semua makanan mulai menipis. Tidak hanya di desa-desa namun juga di dalam kerajaan itu sendiri. Sumber air mulai kering dan yang tersisa hanyalah air sedikit yang tidak cukup untuk digunakan oleh semua orang yang ada di Andalusia.


Semakin hari keadaan semakin parah dan mencekam. Banyak rakyat-rakyat Andalusia yang mulai mati kelaparan. Persediaan makanan yang mereka simpan mulai menipis bahkan banyak yang sudah habis, sehingga mereka tidak menemukan makanan yang bisa mereka konsumsi saat itu.


Melihat rakyatnya yang sangat menderita itu, Raja Abdurrahman III an-Nashir sangat terpukul dan sedih. Ia sebenarnya ingin memberikan bantuan makanan dan minuman kepada mereka, namun ia sadar bahwa di dalam kerajaan juga sangat membutuhkan pada makanan dan minuman itu. Hingga pada akhirnya, ia memiliki inisiatif untuk melakukan shalat istisqa’, yaitu salah satu shalat sunnah yang dilakukan untuk meminta diturunkannya hujan dan dilakukan saat-saat terjadi kemarau panjang.


Sebagaimana disebutkan dalam kitab Nafhut Thib min Ghasnil Andalusir Rathib, bahwa ketika sang raja memiliki inisiatif untuk mengerjakan shalat istisqa, ia juga memerintahkan rakyatnya untuk bertobat kepada Allah swt dengan memperbanyak membaca istighfar, serta berpuasa selama tiga hari sebelum pelaksanaan shalat istisqa.


Setelah semua sunnah-sunnah shalat istisqa dilakukan dengan sempurna oleh raja dan rakyatnya, tibalah pada waktu mereka akan menunaikan shalat sunnah tersebut. Namun sebelum pelaksanaan shalat ini dilaksanakan, sang raja justru menyuruh prajuritnya untuk menghadap Qadhi Munzir bin Sa’id, salah satu penasihat kerajaan yang terkenal ibadah dan kesalehannya. Sang raja meminta agar Qadhi Munzir bin Sa’id menjadi imam shalat istisqa.


Karena perintah sang raja, akhirnya Munzir bin Sa’id bersedia untuk menjadi imam shalat sunnah tersebut. Namun sebelum shalat dilaksanakan, ia memperhatikan Raja Abdurrahman III an-Nashir tidak ada di tengah-tengah mereka. Bahkan menunggunya dengan tempo waktu yang sangat lama, Sang Raja tidak kunjung tiba. Hingga pada akhirnya ia menyuruh salah satu prajurit untuk menjemput Sang Raja ke istana.


Sesampainya di istana kerajaan, prajurit sungguh kaget melihat keadaan Raja Abdurrahman III an-Nashir, hingga ia kembali ke tempat pelaksanaan shalat sunnah.


Sesampainya di sana, ia langsung berkata kepada Qadhi Munzir bin Sa’id, “Andai kamu tahu apa yang dilakukan oleh Raja Abdurrahman III an-Nashir, wahai pimpinan.”


Munzir bin Sa’id bertanya, “Apa sebenarnya yang dilakukan oleh raja?


Prajurit itu menjawab, “Sungguh aku tidak pernah melihat Raja Abdurrahman III an-Nashir melakukan shalat yang lebih khusuk dari shalat istisqa pada hari ini di kerajaan. Ia menyendiri dengan menggunakan pakaian yang sangat lusuh dan jelek. Kepala dan jenggotnya dipenuhi dengan debu. Matanya menangis mengingat semua dosa-dosanya. Dan berulang-ulang berdoa sebagai doa berikut:


يَا رَبِّ هَذِهِ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ أَتَرَاكَ تَعْذًَبُ بِي الرَّعِيَّةَ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ لَنْ يَفُوْتَكَ شَيْءٌ مِنِّي


Artinya: “Wahai tuhanku! Ini (kemarau panjang) adalah bagianku atas kehendak-Mu. Tidakkah Engkau melihat, Engkau telah menyiksa rakyat gara-gara aku, sedangkan engkau merupakan hakim yang paling adil. Tidak akan ada sesuatu yang hilang dari-Mu karena (kesalahan) dariku.


Setelah prajurit itu menceritakan keberadaan Raja Abdurrahman III an-Nashir kepada Qadhi Munzir bin Sa’id, ia langsung tersenyum bahagia, dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh raja sudah mewakili dari semua yang ingin dilakukan oleh rakyatnya saat itu. Kemudian ia berkata kepada semua rakyat yang hadir dalam pelaksanaan shalat istisqa itu, bahwa hujan tidak lama lagi akan turun. Lalu ia mengerjakan shalat sunnah istisqa.


Atas izin Allah, sebelum shalat sunnah minta hujan selesai dilaksanakan, Allah telah memberikan hujan kepada mereka dengan sangat lebat. Dari hujan itu pula, akhirnya tanah Andalusia yang semula gersang, tandus dan kering kerontang, akhirnya menjadi tanah yang subur. Semua pepohonan kembali tumbuh dan berbuah.


Itulah kisah ketika kemarau panjang menimpa Andalusia di masa kepemimpinan Raja Abdurrahman III an-Nashir dalam kitab Nafhut Thib min Ghasnil Andalusir Rathib, cetakan Beirut, Daru Shadir, tahun 1968, juz I, halaman 573-574, karya Imam Ahmad bin Muhammad al-Maqqari at-Tilmisani. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.