Hikmah

Kisah Ketabahan Imam Ahmad Hadapi Intimidasi Lintas Rezim

Jum, 23 September 2022 | 23:00 WIB

Kisah Ketabahan Imam Ahmad Hadapi Intimidasi Lintas Rezim

Imam Ahmad digelari Imam Ahlusunnah wal Jama’ah. Gelar ini tidak disematkan kepada imam mazhab lainnya.

Imam Ahmad adalah pendiri salah satu aliran fiqih yang masih eksis sampai hari ini, madzhab Hambali. Keteguhan ulama berkebangsaan Irak ini layak diacungi jempol. Ia sempat bertemu empat generasi rezim Pemerintahan Abbasiyah semasa hidupnya, selama itu pula ia mendapat ujian berat dari satu rezim ke rezim berikutnya. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah melaporkan:
 

في أيام المأمون، ثم المعتصم، ثم الواثق بسبب القرآن العظيم، وما أصابه من الحبس الطويل، والضرب الشديد، والتهديد بالقتل بسوء العذاب وأليم العقاب، وقلة مبالاته بما كان منهم في ذلك إليه، وصبره عليه وتمسكه بما كان عليه من الدين القويم والصراط المستقيم
 

Artinya, “Imam Ahmad bin Hambal terus mengalami ujian dengan dipaksa untuk mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk selama tiga rezim berturut-turut, yaitu masa Khalifah Al-Ma’mun, Khalifah Al-Mu’tashim, dan Khalifah Al-Watsiq. Selama itu pula, ia dijebloskan ke penjara dalam waktu yang cukup lama, mendapat siksaan yang berat, bahkan diancam untuk dibunuh. Namun, semua itu tak membuat keyakinannya goyah.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1997: juz XIV, halaman 239). 
 

Penjelasan Ibnu Katsir di atas menjelaskan Imam Ahmad mendapat ujian selama tiga generasi rezim berturut-turut, tidak memasukkan rezim setelahnya, yaitu Khalifah Al-Mutawakkil. Sebab, pada tiga rezim pertama Imam Ahmad diuji untuk mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk oleh pemimpin yang sudah dirasuki teologi Mu’tazilah, sementara pada rezim keempat ia mendapat ujian duniawi karena Al-Mutawakkil tidak menyiksanya, melainkan menawarinya kemewahan dunia.
 

Berkat ketabahan melewati ujian akidah ini, dengan bersikukuh bahwa Al-Qur’an adalah qadim, Imam Ahmad kemudian digelari dengan sebutan Imam Ahlusunnah wal Jama’ah. Gelar kehormatan ini tidak disematkan kepada imam mazhab lainnya, baik Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, maupun Imam Syafi’i, kendati mereka lahir lebih dulu. (Muhammad bin Isma’il al-Muqaddam, Silsilatu Uluwwil Himmah, juz IV, halaman 12).
 

Bagaimana Imam Ahmad menghadapi ujian empat rezim tersebut? Mari simak kisahnya. 
 

 

Ujian Khalifah Al-Ma’mun 

Masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun merupakan fase gemilang bagi ilmu pengetahuan dalam dunia muslim. Masa kepemimpinannya dicurahkan untuk sejumlah proyek sains, bahkan sejumlah sumber mencatat bahwa ia kerap melakukan penelitian untuk hal-hal remeh selagi memiliki nilai sains yang unik. Proyek penelitiannya tidak hanya pada ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang belum banyak dilakukan tokoh Muslim sebelumnya. 
 

Sayang sekali, ketertarikannya kepada filsafat Yunani membuatnya cenderung berpikir rasional hingga ia lebih tertarik dengan paham Mu’tazilah. Dalam pandangan aliran rasionalis ini, Al-Qur’an bukan qadim, melainkan makhluk. Berbeda Ahlusunnah wal Jama’ah yang mengatakan qadim. Di sinilah masalahnya dimulai. Al-Ma’mun kemudian menerapkan otoritas keagamaan di pemerintahannya. Ia melakukan program besar untuk menyingkirkan ulama-ulama yang tidak sepaham. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Al-Mihnah.
 

Semua ulama dikumpulkan ke istana dan satu persatu dites. Jika mau mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk, maka ia selamat. Jika tidak, maka bersiap untuk dijebloskan ke penjara dan mendapat siksaan pedih. Ada yang sependapat dengan Al-Ma’mun, ada pula yang pura-pura sependapat, dan ada yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa Al-Qur’an qadim. Salah satu ulama yang bersikeras dengan pendapatnya adalah Imam Ahmad. Ia pun dipenjara dan diasingkan.
 

 

Ujian Khalifah Al-Mu’tashim 

Rezim berganti setelah Khalifah Al-Ma’mun meninggal pada 218 H dengan Khalifah Al-Mu’tashim sebagai pemegang kursi kekhalifahan berikutnya. Al-Mu’tashim mewarisi ideologi rezim sebelumnya. Di masa pemerintahannya, ia melanjutkan program Al-Mihnah. Pada masa Al-Mu’tashim, Imam Ahmad tidak hanya dipenjara, tetapi juga mendapat sejumlah penyiksaan. 
 

Imam Ahmad sempat beberapa kali dites langsung oleh Al-Mu’tashim, tapi tetap saja ia bersikukuh dengan pandangannya. Hingga akhirnya sang khalifah kesal dan menyerahkannya kepada para ahli fiqih dan hakim di istana. Terjadilah perdebatan sengit yang berlangsung selama tiga hari. Namun, tak sekalipun argumen Imam Ahmad berhasil dipatahkan. 
 

 

Ujian Khalifah Al-Watsiq 

Setelah Al-Mu’tashim meninggal, pemerintahan berikutnya dipimpin oleh Khalifah Al-Watsiq. Seperti dua rezim sebelumnya, Al-Mihnah terus menjadi program pemerintah. Banyak para ulama, terutama dari kalangan fuqaha dan ahli hadits, yang menerima ujian ini dan mendapat sejumlah penyiksaan, salah satunya Imam Ahmad yang masih bersikukuh dengan akidahnya.
 

Salah satu upaya yang dilakukan Al-Watsiq untuk menegakkan otoritas keagamaannya ini adalah dengan menulis lafal: la ilaha illalllah rabbul qur’anil makhluk (tidak ada Tuhan kecuali Allah, yaitu Tuhan bagi Al-Qur’an sebagai makhluk) di seluruh masjid. Tidak sebatas itu, ia juga melarang para ulama dari kalangan Syafi’i dan Maliki untuk memasuki masjid karena tidak seideologi dengannya. (Ahmad Amin, Dhuhal Islam, 2022: halaman 828-829).
 

Sedikitpun, Imam Ahmad tak mau menerima pemberian harta dari Sang Khalifah. Bahkan beberapa kali Al-Mutawakkil mengirim tunjangan khusus untuknya, selalu saja ia menolak. Hingga sekali waktu Sang Khalifah mengiriminya uang melalui anaknya, dan si anak menerima karena tidak enak menolak pemberian dari Khalifah. Imam Ahmad justru memarahi putranya dan tidak mau mengonsumsi makanan kiriman putranya. (Ibnu Katsir, Thabaqatul Fuqahauss Syafi’iyyin, 2018: juz I, halaman 188-189). 

 

Imam Ahmad wafat pada 12 Rabiul Awal 241 H/ 30 Agustus 855 M di usianya yang ke-77 tahun, di Baghdad, Irak. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta