Hikmah

Imam Ahmad, Muhadits Faqih, dan Buah Keteguhan

Sel, 6 April 2021 | 03:00 WIB

Imam Ahmad, Muhadits Faqih, dan Buah Keteguhan

Imam Ahmad terkenal sebagai sosok pembelajar. Walaupun sudah dikenal sebagai ulama, beliau terus belajar dan mengembara ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan Kufah. (Ilustrasi: madina365).

Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang fiqih mengikuti salah satu mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik (w. 179 H), Imam Syafi'i (w. 204 H),) dan Imam Ahmad bib Hanbal (w. 241 H). 


Imam Ahmad bin Hanbal, atau lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal As-Syaibany lahir pada Rabiul Awal, tahun 164  H (780 M) di Baghdad. 


Imam Ahmad terkenal sebagai sosok pembelajar. Walaupun sudah dikenal sebagai ulama, beliau terus belajar dan mengembara ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan Kufah. 


Imam Ahmad di samping dikenal sebagai ahli hadits (muhadditsin), juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih (Fuqaha).


Dalam bidang hadits antara lain beliau belajar kepada Imam Yahya bin Said al-Qathan, Imam Abdurrahman bin Mahdi, Imam Yazid bin Harun, Imam Sufyan bin Uyainah, dan Imam Abu Dawud at Thayalisi. Kepakaran Imam Ahmad dalam hadits menelurkan karya beliau dalam riwayat hadits, yaitu Musnad Ahmad, yang memuat 40.000 hadits terpilih, sementara Imam Ahmad menghafal satu juta hadits. 


Dalam fiqih Imam Ahmad antara lain belajar kepada Imam Waqi bin Jarah, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Yusuf.  Perhatian Imam Ahmad dalam bidang fiqih ini kemudian mengantarkan beliau menjadi salah satu mazhab empat yang terkenal dari masa ke masa. Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khallal, salah seorang muridnya, menulis pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad dalam kitab al-Jami' al-Kabir dalam 20 jilid. 


Imam Syafi'i (w. 204 H) ketika telah meninggalkan Baghdad menuju Mesir, beliau berkata tentang muridnya ini, 


خرجتُ مِن بَغداد وما خلفتُ فيها أفقَه ولا أوْرع ولا أزْهَد ولا أعْلم مِن الإمَام أحمد


Artinya, "Baghdad telah kutinggalkan dalam keadaan di sana tidak ada orang yang lebih ahli faqih, lebih wirai, lebih zuhud, dan lebih alim daripada Imam Ahmad."


Buah Kesabaran Imam Ahmad

Al-Makmun adalah khalifah pertama Bani Abbasiyah yang menerapkan doktrin kemakhlukan Quran. Ia memang murid tokoh Muktazilah, Abu Hudzail al-Allaf.


Banyak ulama yang disiksa dan bahkan ada yang dibunuh karena tetap bersikukuh bahwa Al-Quran bukan makhluk.


Al-Makmun memerintahkan agar Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dihadapkan kepadanya. Namun, ia meninggal ketika Imam Ahmad bin Hanbal dalam perjalanan.


Al-Muktashim menggantikan al-Makmun, dan Imam Ahmad pun dihadirkan di Baghdad dalam forum debat dengan Muktazilah. Dari intelektual Muktazilah antara lain tampil Abdurrahman bin Ishaq dan Ahmad bin Abi Daud. Mereka mendebat Imam Ahmad hingga tiga, empat hari.


Para pendebat Imam Ahmad Bin Hanbal kesulitan mematahkan argumentasi Imam Ahmad. Ketika Abdurrahman bin Ishaq bertanya pendapat Imam Ahmad tentang Quran, dijawab dengan pertanyaan susulan oleh Imam Ahmad kepada Abdurrahman bin Ishaq, "Bagaimana pendapatmu pula tentang ilmu Allah?" 


Para pendebat terdiam, karena mereka tahu bahwa ilmu Allah itu bersifat azali.


Kemudian, Imam Ahmad melanjutkan, "Bagi saya hukum Kalamullah dengan ilmu Allah itu sama. Apabila kita sepakat bahwa ilmu Allah itu bukan makhluk, seharusnya kita juga menegaskannya begitu untuk al-Qur’an." 


Walau bagaimana pun juga jawabannya, Imam Ahmad dihukum cambuk, tapi beliau tetap kukuh menyatakan bahwa Al-Quran itu kalamullah. Beliau terus dicambuk hingga pingsan, bahkan dibangunkan paksa lalu tubuhnya digores pedang, dilempari dengan tanah dan diinjak-injak sebelum dimasukkan ke dalam penjara selama 28 bulan.


Selepas dari penjara, beliau tetap berfatwa di mimbar Jumat dan majelis-majelis bahwa Al-Quran itu Kalamullah, bukan makhluk.


Adalah sebuah kebesaran jiwa, hingga Imam Ahmad memaafkan seluruh orang yang terlibat dalam penyiksaan itu.


Al-Watsiq menggantikan Al-Muktashim dan melanjutkan "kebijakan" ayahnya itu. Al-Watsiq berpesan kepada Imam Ahmad, "Jangan ada seorang pun yang mendekat kepadamu, dan jangan menetap di wilayah ini."


Imam Ahmad terpaksa mengisolasi diri, tidak menghadiri shalat jamaah, dan kegiatan lainnya hingga al-Watsiq meninggal dunia.


Pengganti al-Watsiq, yaitu al-Mutawakkil adalah seorang khalifah yang berpaham sama dengan pada umumnya masyarakat muslimin, Ahlussunnah wal Jama'ah. Ia pun mencabut haluan keagamaan yang diterapkan al-Makmun, Al-Muktashim dan al-Watsiq.


Al-Mutawakkil sangat menghormati Imam Ahmad, sehingga memohon kepada sang imam, berkenan bertemu dengannya. Imam Ahmad dihadiahi harta yang banyak, tetapi Imam Ahmad tidak berkenan menerima, dan karena itu uang itu oleh Imam Ahmad dibagi-bagikan kepada para fakir miskin. Tunjangan bulanan pun beliau tak mau menerima. 


Ibnu Khalikan dalam Wafayatul A'yan mengisahkan bahwa ketika wafat, Imam yang lahir pada 164 Hijriyah ini ditakziahi 800.000 orang, dan 60.000 di antaranya adalah kalangan perempuan. Pada hari wafatnya, terdapat 20.000 orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang masuk Islam.


KH Yusuf Suharto, pegiat Aswaja NU Jawa Timur.