Hikmah

Kisah Pemabuk Ditinggikan Derajatnya Berkah Shalawat

Ahad, 2 Desember 2018 | 02:00 WIB

Membaca shalawat memiliki keutamaan yang tidak diragukan lagi. Banyak kisah menakjubkan yang dialami oleh ahli shalawat. Nabi menjelaskan bahwa bacaan shalawat yang dibacakan oleh umatnya akan dibalas sepuluh kali lipat. Sebagian ulama bahkan menegaskan shalawat dapat menuntun seseorang menempuh jalan suluk. Shalawat sebagaimana ayat suci Al-Qur’an bernilai pahala dengan membacanya, meski tidak mengerti kandungan artinya, berbeda dengan dzikir-dzikir yang lain.

Ada satu kisah menarik berkaitan dengan keutamaan membaca shalawat. Kisah ini disampaikan oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Tanqih al-Qaul. Syekh Nawawi mengutip cerita ini dari sebagian kaum sufi.

Diceritakan bahwa salah seorang tokoh sufi memiliki  tetangga yang pemabuk. Kegemarannya menenggak minuman keras berada dalam taraf di luar kewajaran, melebihi batas, hingga ia tidak bisa membedakan hari, sekarang, besok atau kemarin. Ia hanyut dalam minuman keras. Pemabuk ini berulang kali diberi nasihat oleh sang sufi agar bertobat, namun ia tidak menerimanya, ia masih tetap dengan kebiasaan mabuknya.

Yang menakjubkan adalah saat pemabuk tersebut meninggal dunia, dijumpainya oleh sang sufi dalam sebuah mimpi, ia berada dalam derajat yang luar biasa mulia, ia memakai perhiasan berwarna hijau, lambang kebesaran dan kemegahan di surga.

Sang sufi terheran-heran, ada apa gerangan? Mengapa tetangganya yang seorang pemabuk mendapat kedudukan semulia itu. Sang sufi bertanya:

بِمَا نِلْتَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ الْعَلِيَّةَ

Artinya: “Dengan sebab apa engkau memperoleh derajat yang mulia ini?”

Kemudian pemabuk menjelaskan ihwal kenikmatan yang dirasakannya:

حَضَرْتُ يَوْمًا مَجْلِسَ الذِّكْرِ فَسَمِعْتُ الْعَالِمَ يَقُوْلُ مَنْ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ثُمَّ رَفَعَ الْعَالِمُ صَوْتَهُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعْتُ صَوْتِيْ وَرَفَعَ الْقَوْمُ أَصْوَاتَهُمْ فَغَفَرَ لَنَا جَمِيْعًا فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ فَكَانَ نَصِيْبِيْ مِنَ الْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ  أَنْ جَادَ عَلَيَّ بِهَذِهِ النِّعْمَةِ.

Artinya: “Aku suatu hari menghadiri majelis dzikir, lalu aku mendengar orang alim berkata, barangsiapa bershalawat kepada Nabi dan mengeraskan suaranya, surga wajib baginya. Lalu orang alim tadi mengeraskan suaranya dengan bershalawat kepada Nabi, aku dan jamaah juga menegeraskan suara seperti yang dilakukan orang alim itu. Kemudian Allah mengampuni kita semuanya pada hari itu, maka jatahku dari ampunan dan kasih sayang-Nya adalah Allah menganugerahkan kepadaku nikmat ini.”

Demikian keagungan dan kehebatan membaca shalawat, hingga dirasakan manfaatnya oleh seorang pemabuk. Kisah tersebut terang saja bukan hendak membenarkan praktik mabuk-mabukan yang memang diharamkan dalam Islam. Cerita itu sekadar merefleksikan keistimewaan shalawat yang bisa mengantarkan seseorang pada samudera kasih sayang dan pengampunan Allah ﷻ. Semoga kita senantiasa diberikan pertolongan oleh Allah untuk istiqamah membaca shalawat dan diakui sebagai umat baginda Nabi ﷺ.

(M. Mubasysyarum Bih)