Hikmah

Kisah Usamah bin Zaid dan Sikap Mudah Menghakimi

Sel, 26 April 2022 | 16:30 WIB

Kisah Usamah bin Zaid dan Sikap Mudah Menghakimi

Kisah Usamah bin Zaid dan Sikap Mudah Menghakimi

Suatu hari Rasulullah mengirim Usamah bin Zaid bersama sahabat lainnya ke desa Al-Huraqah dalam sebuah misi perang. Mereka pun berhasil memukul mundur pasukan lawan. Usamah dan seorang lelaki Anshar mengejar seorang lelaki dari pasukan musuh.

 

Dalam kondisi terpojok oleh mereka berdua, musuh itu tiba-tiba mengucapkan “Lailaaha illallah.” Mendengar itu teman Usamah itu langsung mengurungkan niat untuk membunuh. Namun, Usamah sendiri malah menikamnya pengucap kalimat tauhid hingga mati.

 

Rasulullah marah mendengar kabar tindakan Usamah itu. Ketika mereka kembali ke Madinah, Nabi menginterogasi, “Wahai Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan La Ilaaha illallah?”

 

Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai Usamah berandai-andai belum masuk Islam pada hari itu.

 

“Dia hanya berpura-pura,” jawab Usamah.

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”

 

Usamah bin Zaid sadar, Rasulullah sedang marah besar, yang kemudian membuatnya sangat menyesal. 

 

“Aku tidak akan pernah lagi membunuh siapa pun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,” kata Usamah.

 

Cerita ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Abu Dzibyan. Usamah bin Zaid sendiri yang mengisahkan peristiwa tersebut (lihat Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah (Kairo: Darul Jamwami’ al-Kalim), h. 20).

 

***

 

Di balik peristiwa tersebut terdapat pelajaran berharga. Umat Islam dilarang membunuh secara sembarangan, bahkan ketika dalam suasana perang sekalipun. Kesalahan Usamah terletak pada keberaniannya membunuh hanya bermodal kecurigaan meski musuh telah mengaku beriman.

 

Ucapan Nabi “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?” adalah sindiran keras kepada Usamah yang terlalu lancang merambah urusan hati yang pasti di luar jangkauannya. Manusia hanya berhak menghukumi berdasarkan yang tampak lahiriahnya. Sebab, itulah indikator yang paling mungkin bisa diakses manusia sebagai makhluk terbatas.

 

Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berprasangka baik dan mengedepankan sikap memaafkan. Sebab, salah memaafkan itu lebih selamat daripada salah menghukum. Allah sendiri mendeskripsikan Dirinya sebagai  Sang Pengampun dan Pengasih sebelum bicara soal azab atau sanksi yang pedih, sebagaimana tercantum dalam surat al-Hijr ayat 49-50:

 

نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ، وَ اَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ

 

Artinya, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.”

 

Dalam kitab yang sama, Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki bercerita, Sayyidina Ali karramallahu wajhah pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”

 

“Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang jauh dari kekufuran”.

 

“Apakah mereka kaum munafik?”

 

“Bukan. Orang-orang munafik hanya sedikit mengingat Allah sedangkan mereka banyak mengingat Allah.”

 

“Terus siapakah mereka?” Sayyidina Ali kembali ditanya.

 

“Mereka hanyalah kaum yang terkena fitnah (cobaan) yang mengakibatkan mereka buta dan tuli,” jawab Ali.

 

Nidlomatum MR, alumni magister Tafsir Hadits UIN Sunan Ampel Surabaya; pengurus Fatayat NU Kabupaten Bogor


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP