Hikmah

Meneladani Kemandirian Kiai Sahal

Kam, 8 Maret 2018 | 13:00 WIB

Suatu hari KH MA Sahal Mahfudh menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya. Acara tersebut cukup elit karena dihadiri juga oleh duta-duta besar negara sahabat. Selepas acara ini, ada cerita menarik yang menunjukkan betapa Kiai Sahal begitu sangat mandiri dalam hal ekonomi.

Selama mengikuti acara itu yang berlangsung dua hari, Kiai Sahal menginap di salah satu hotel berbintang. Ia membayar hotel dengan uangnya sendiri dan menolak ketika ada panitia yang hendak membayarkannya. Dalam hal ini, Kiai Sahal berdalih bahwa ia tidak ingin menggunakan uangnya NU walau hanya sepeser pun. Bahkan, ia menekankan untuk membuat NU mandiri, bukan malah meminta kemandirian diri dari NU. 

Kalau seandainya Kiai Sahal mau, maka ia bisa saja mendapatkan pelayanan level wahid dengan mudah karena pada saat itu Kiai Sahal menjabat sebagai pimpinan tertinggi (Rais 'Aam) di organisasi yang berlambangkan bola dunia itu. Namun nyatanya ia tidak melakukannya. 

Itu adalah satu dari sekian cerita tentang kemandirian Kiai Sahal. Yang perlu diperhatikan adalah sifat kemandirian Kiai Sahal, dalam hal ini bidang ekonomi, bukan lah sesuatu yang ujug-ujug ada. Hal itu sudah mulai terbentuk sejak Kiai Sahal menjalani masa kanak-kanaknya. 

Dalam buku Kiai Sahal; Sebuah Biografi, Sahal kecil adalah seorang yang begitu aktif, kreatif, dan mandiri. Di usianya yang masih kanak-kanak, Kiai Sahal sudah berusaha untuk hidup mandiri dan mencari uang sendiri dengan melakukan berbagai macam upaya. 

Salah satunya adalah dengan jualan kacang goreng. Iya, Sahal kecil sudah berbisnis dengan menjual kacang goreng di ‘kantin kejujuran’ yang ia bangun, yaitu di depan rumah Mbah Nawawi, salah seorang ulama Kajen yang disegani pada saat itu. Barang dagangan Kiai Sahal tersebut habis dibeli oleh para tamu yang sowan ke Mbah Nawawi.   

Untuk mendapatkan uang, Sahal kecil juga membersihkan Makam Kanjengan Keraton Surakarta yang ada di desa Kajen. Ceritanya, ada salah seorang keluarga yang sedang berziarah di makam tersebut. Melihat ada anak-anak kecil di sekitar makam, maka peziarah tersebut menyuruh anak-anak tersebut, salah satunya Kiai Sahal, untuk membersihkan area makam dengan memberinya imbalan uang. Memang, Sahal kecil sering bermain dengan temannya di sekitar area makam tersebut.

Pengalaman-pengalaman tersebut tentu juga menjadi modal penting Kiai Sahal dalam membangun kemandirian dan ekonomi umat. Dalam buku Islam Nusantara Dalam Tindakan; Samudra Hikmah Kiai-Kiai Kajen, Kiai Sahal adalah orang yang aktif dalam membina dan membina kemandirian dan ekonomi masyarakat kecil di sekitar tempat tinggalnya di Kajen Pati. 

Mula-mula Kiai Sahal mendirikan Biro Pengembangan Pesantren Dan Masyarakat (BPPM) untuk mendorong masyarakat kecil memiliki pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Kemudian dibentuklah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) untuk memantau program-programnya hingga didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk membantu memberikan bantuan modal kepada para pelaku usaha kecil.

Itulah sepenggal kisah tentang kemandirian Kiai Sahal. Pengalaman-pengalaman tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi karakter dan kepribadian mandiri Kiai Sahal. Hingga meskipun sudah menjadi orang nomor satu di PBNU dan MUI (Majelis Ulama Indonesia), Kiai Sahal masih memegang erat sifat kemandirian. (A Muchlishon Rochmat)