Hikmah

Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun

Sab, 20 Januari 2018 | 02:30 WIB

Kenabian dan kerasulan adalah karunia yang agung dari Allah yang diberikan kepada seseorang yang telah dipilihnya, tidak bisa dicapai dengan usaha manusia. Allah yang menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, kapan disampaikannya dan siapapula yang diberi kesanggupan oleh-Nya untuk menerima karunia itu.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia berkebangsaan Arab yang dipilih oleh Allah untuk menerima anugerah yang agung itu. Ia dijadikan-Nya sebagai penutup segala nabi dan rasul, dengan membawa syariat yang sempurna yang bersifat kekal dan abadi. Ajarannya berlaku untuk semua umat manusia dalam berbagai ras, bangsa dan warna kulit. Ia merupakan risalah agama yang sempurna yang membangun peradaban yang tinggi bagi seluruh umat manusia. Sebelum kelahiran Nabi Muhammad, keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain diliputi oleh kebodohan dan kejahilan. Mereka adalah bangsa yang menganut paganisme, penyembah patung dan berhala, padahal nenek moyang mereka berasal dari pengikut ajaran tauhid yang disampaikan oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam. Suasana keberhalaan dan kemusyrikan sudah menyatu dan mendarah daging pada jiwa mereka. Sehingga Masjidil Haram yang suci itu menjadi ternoda dengan bergelantungnya berhala-berhala dan patung.

Di sekeliling Ka’bah yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram ada kurang lebih 360 patung dan berhala yang mereka sembah. Setiap suku memiliki patung tersendiri sebagai sembahan dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan seperti itu telah mengotori Masjid dan kesucian Ka’bah dalam menjalani pelaksanaan ibadah yang murni kepada Allah. Kaum musyrikin menjadikan patung-patung itu sebagai Tuhan-tuhan mereka. Untuk patung-patung itu hewan dikurbankan dan nadzar ditunaikan, mereka memberikan ketaatan yang total pada patung-patung itu. Keadaaan seperti itulah yang mereka jalani meskipun apabila mereka ditanya “Siapa Tuhan yang mereka sembah”. Mereka menjawab “Tuhan kami adalah Allah, kami tidak menyembah patung-patung itu kecuali hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan taqarub yang amat dekat” (QS. Al-Zumar, 39: 3).

Dalam suasana yang sangat kacau penuh kesesatan yang disebut zaman jahiliyyah itu, terjadilah pernikahan agung, antara Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim al-Quraisyi dengan Aminah binti Wahab. Dari pernikahan yang mulia itu, Allah menakdirkan lahirnya manusia yang paling agung dalam sejarah dunia, yaitu Nabi Besar Muhammad pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Ketika Nabi masih berada dalam kandungan ibunya. Pada suatu saat ibundanya Siti Aminah, melihat cahaya yang terang benderang dari dirinya dan menerangi istana Kisra di negeri Syam. Ayah Nabi Muhammad Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib meningal dunia ketika beliau masih ada dalam kandungan ibunya.

(Baca juga: Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW Penghuni Neraka?)
Beberapa bulan setelah itu berbahagialah Sayyidah Aminah ibunda Nabi Muhammad dan Abdul Mutahalib, kakeknya atas kelahirannya yang diberi nama Muhammad, karena ia akan menjadi orang yang sangat terpuji di masa yang akan datang. Inilah manusia yang paling agung dan paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan. Petunjuk telah lahir dan alam pun telah menjadi terang bercahaya. Zaman menyambut kelahirannya dengan senyum ceria. Muhammad kecil dipelihara oleh ibunya dan kemudian disusukan kepada Halimah al-Sa’diyah kaum Bani Sa’ad dari Bani Zuhrah sampai susuannya berakhir, kemudian kembali kepangkuan ibundanya atas tanggungan kakeknya Abdul Muthalib.

Ketika umur beliau mencapai usia 6 tahun, ketika ia mulai menanyakan ayahnya kepada ibundanya yang amat dicintainya, sampailah informasi padanya tentang kewafatan ayahnya. Ketika ia masih berada dalam kandungan, maka ia pun sadar bahwa dirinya adalah anak yatim. Pada usia itu beliau diajak ibundanya Aminah untuk berziarah ke Yastrib mengunjungi saudar-saudara kakeknya dari keluarga Najjar. Perjalanan ke Yatsrib ditemani Ummu Aiman seorang pembantu wanita yang disiapkan Abdullah sebelum beliau wafat. Sampai di Madinah, Muhammad kecil diajak berziarah ke suatu rumah tempat ayahnya dahulu meninggal, serta berziarah ke tempat kuburan ayahnya. Suasana itu dirasakan begitu berat dan mengharukan, apalagi bagi Muhammad kecil yng telah menjadi yatim. (Husein Haikal, 1998: 54).

(Baca juga: Kisah Masa Kecil Rasulullah dan Ibunya)
Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, Aminah, Muhammad, dan Ummu Aiman bersiap-siap untuk pulang ke Makkah. Dalam perjalanan pulang, ketika mereka sampai di kampung Abwa’, ibunda Aminah merasa sakit, yang kemudian meninggal dunia dan dikuburkan di tempat itu juga. Muhammad kecil kembali menghadapi cobaan yang sangat berat, ibarat luka belum sembuh karena ditinggalkan ayahahandanya, tergores luka baru dengan wafatnya ibunda yang sangat dicintainya. Muhammad kini menjadi seorang yang yatim dan piatu dalam usia 6 tahun. Kemudian Ummu Aiman membawanya pulang ke Makkah. Anak itu pulang sambil menangis dengan hati yang perih, hidup sebatang kara. Baru beberapa hari yang lalu ia menyaksikan rumah tempat ketika ayahnya wafat dan kuburan ayahnya, kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibundanya pergi, wafat tidak kembali untuk selama-lamanya. 

Anak yang masih amat kecil itu mendapat cobaan yang sangat berat, memikul beban hidup yang memilukan, sebagai seorang anak yang yatim dan piatu. Dua tahun setelah beliau berada dalam asuhan dan bimbingan kakeknya Abdul Muthalib pun wafat. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib menyerahkan cucunya kepada anaknya yang sekaligus paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ketika di Makkah Muhammad kecil dipelihara kakeknya Abdul Muthalib. Kakeknya sangat mencintainya, ia memeliharannya dengan penuh kasih sayang, sungguhpun demikian, peristiwa sedih sebagai anak yatim piatu itu bekasnya masih mendalam sekali pada jiwanya, sehingga dalam al-Qur’an disebutkan: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. al-Dhuha, 93: 6).


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU