Hikmah

Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (3)

Jum, 26 April 2013 | 08:03 WIB

KH Abdul Wahid Hasyim adalah pribadi yang kuat. Ternyata kakakter ini tak hanya berlaku dalam hal mental dan prinsip belaka. Secara ekonomi putra Hadlaratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini pun tergolong kuat.<>

Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, Kiai Wahid bersusah-payah bergerilya lewat beragam cara ke berbagai pelosok Nusantara. Seluruh biaya keluar dari kantong sendiri. Tanpa kondisi ekonomi yang mapan, perjuangan bertahun-tahun yang menguras keringat, ongkos, dan pikiran ini niscaya tak akan jalan.

KH Saifuddin Zuhri pernah dibuat heran dengan guru dan pemimpinnya ini. Saat Jepang bermurah hati memberi Kiai Wahid mobil dinas terkait jabatan Shumubu-cho, ia menolak memakai dan memilih membeli mobil sendiri.

“Bagaimana caranya bisa membeli mobil sendiri di zaman begini?” tanya Kiai Saifuddin. Ketika itu hampir tidak ada seorang sipil pun yang memiliki mobil.

“Ya Allah! Kalau soal beli mobil saja tidak bisa memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?” jawab Kiai Wahid tegas.

Sepertinya Kiai Wahid memegang teguh prinsip umat Islam tak boleh lemah secara ekonomi. Hal ini penting untuk menopang daya tahan dan nafas perjuangan. Tak aneh jika Kiai Wahid yang sehari-hari terkenal hidup sederhana dikisahkan berprofesi sebagai pedagang.

Dalam hal ini. kami nukilkan syair-syair yang ditemukan dalam catatan tokoh nasional ini. Secara umum syair hikmah berikut berpesan tentang semangat yang digambarkan di atas.

 

إِنْ قَلَّ مَالُ اْلمَرْءِ قَلَّ بَهَاؤُهُ # وَضَاقَتْ عَلَيْهِ أَرْضُهُ وَسَمَاؤُهُ
فَأَصْبَحَ لَايَدْرِيْ، وَإِنْ كَانَ حَازِماً # أَقُدَّامُهُ خَيْرٌ لَهُ أَمْ وَرَاءُهُ

Ketika sedikit kekayaan seseorang, sedikit pula kebanggaannya; bumi dan langitnya (medan geraknya) menyempit. Meski biasanya teguh, tapi kemantabannya hilang: majukah atau mundurkah yang terbaik?

 

إِنْ قَلَّ مَالِي فَلَا حِلٌّ يُصَاحِبْنِيْ # إِنْ زَادَ مَالِي فَكُلُّ النَّاسِ إِخْوَانِي

Saat kekayaanku sedikit tak seorang pun bersahabat denganku. Saat kekayaanku meningkat semua orang (ingin) menjadi saudaraku.

 

عَجِبْتُ لِأَهْلِ اْلعِلْمِ كَيْفَ تَغَافَلُوا # يُجِرُّوْنَ ثَوْبَ الْحِرْصِ عِنْدَ اْلمَمَالِكِ
يَدُوْرُوْنَ حَوْلَ الظَّالِمِيْنَ كَأَنَّهُمْ # يَطُوْفُوْنَ حَوْلَ الْبَيْتِ عِنْدَ اْلمَنَاسِكِ

Aku heran kepada para cendekiawan/ulama. Bagaimana mereka lupa; menggelar jubah ketamakan di hadapan para penguasa, mengerumuni para penindas bak rombongan haji yang sedang tawaf di sekitar Ka’bah.

 

وَقَدْ تَنْفَعُ الذِّكْرَى إِذَا كَانَ هَجْرُهَا # دِلَالاً وَإِمَّا إِنْ مِلَالاً فَلَا نَفْعَا

Peringatan mungkin bermanfaat (efektif) untuk orang yang tengah merajuk, tapi tidak untuk orang yang sedang bosan.

 

سَجَدْنَا لِلقُرُوْدِ رَجَاءَ دُنْيَا # حَوَتْهَا دُوْنَنَا أَيْدِي اْلقُرُوْدِ
وَلَمْ تَرْجَعْ أَنَامِلُنَا بِشَيْءٍ # رَجَوْنَاهُ سِوَى ذُلِّ السُّجُوْدِ

Kita relakan sujud kepada para monyet demi dunia yang ada di pelukan mereka. Jari-jari kita pun pulang tanpa hasil apa-apa, kecuali sujud yang hina belaka.

 

 

Mahbib Khoiron
Syair-syair dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011