Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238-239: Urgensi Menjaga Shalat dalam Al-Qur’an

Sen, 18 Maret 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238-239: Urgensi Menjaga Shalat dalam Al-Qur’an

Ilustrasi tafsir surat Al-Baqarah ayat 238-239 tentang urgensi menjaga shalat dalam Al-Qur’an. (NU Online).

Ayat 238-239 surat Al-Baqarah secara ringkas menjelaskan perintah Allah untuk menjaga shalat fardhu. Ayat sekaligus menjelaskan bagaimana urgensi menjaga shalat meski dalam keadaan perang sekalipun. Sebab shalat merupakan cara seorang hamba berinteraksi dengan Tuhannya, untuk selalu ingat kepada-Nya di setiap waktu, dan perantara meminta pertolongan kepada-Nya. 
 

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah 238-239:
 

حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ (٢٣٨)  فَإِنۡ خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانٗاۖ فَإِذَآ أَمِنتُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ (٢٣٩)  
 

Hâfidhû ‘alash-shalawâti wash-shalâtil-wusthâ wa qûmû lillâhi qânitîn. Fa in khiftum fa rijâlan au rukbânâ, fa idzâ amintum fadzkurullâha kamâ ‘allamakum mâ lam takûnû ta‘lamûn.
 

Artinya, “(238) Peliharalah semua shalat (fardu) dan shalat Wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalat) dengan khusyuk. (239) Jika kamu berada dalam keadaan takut, shalatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Lalu, apabila kamu telah aman, ingatlah Allah (shalatlah) sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui”.
 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238-239

Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain menjelaskan secara ringkas ayat 238-239 pada surat Al-Baqarah, bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu menjaga shalat lima waktu dengan selalu melaksanakannya tepat waktu.
 

Lafal "as-shalatil wustha" (shalat pertengahan) pada ayat 238 menunjukkan keutamaan shalat tersebut dibanding shalat lainnya. Imam As-Suyuthi sendiri hanya menyebutkan bahwa kemungkinan shalat yang dimaksudialah Ashar, Subuh, Dzuhur, atau yang lainnya, dan yang jelas shalat ini memiliki keistimewaan dibanding shalat lainnya. Lafal "qanithin" disebutkan memiliki dua makna, yaitu bermakna muthi’in (orang-orang yang taat) berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa setiap lafal qunut dalam Al-Qur’an bermakna taat; atau juga bisa bermakna "sakitin" (orang-orang yang diam), sebab adanya riwayat yang menjelaskan bahwa dulu di awal perintah shalat umat Islam melakukannya sambil berbicara hingga kemudian dilarang.
 

Adapun ayat 239 surat Al-Baqarah menunjukkan pentingnya menjaga shalat dalam keadaan apapun sebagai bentuk interaksi diri seorang hamba dengan Allah swt. Ayat ini menjelaskan shalat dalam keadaan sangat ketakutan (shalat khauf)
 

Pada ayat ini dijelaskan bahwa jika umat Islam sedang dalam keadaan takut sebab dalam keadaan berperang, adanya musuh, banjir, binatang buas atau lainnya, shalat boleh dilaksanakan dengan berjalan kaki ataupun sambil berkendara, baik menghadap kiblat maupun tidak dan melakukan isyarat saat rukuk dan sujud. Jika sudah aman baru kemudian melaksanakan shalat sebagaimana biasa, sesuai syarat dan rukunnya. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, [Kairo: Darul Hadits], halaman 52).
 

Penjelasan Imam As-Suyuthi tersebut memperlihatkan pentingnya seorang hamba untuk selalu menjaga interaksi dengan Tuhannya. Sebab satu-satunya yang dapat dimintai pertolongan pada saat apapun ialah Allah swt sebagai Tuhan semesta alam.

 

Sementara itu Syekh Nawawi Banten pada ayat 238 dalam tafsirnya menjelaskan, menjaga shalat yang diperintahkan oleh Allah pada ayat dengan tepat waktu dan sesuai dengan syarat dan rukunnya, merupakan hubungan intim antara seorang hamba dengan Tuhannya. Hal itu disebabkan shalat merupakan perintah langsung dari Allah swt kepada hamba-Nya. Seakan dikatakan kepada orang yang shalat: “Jagalah shalat agar Tuhan yang memerintahkannya menjagamu."
 

Syekh Nawawi juga menyebutkan beberapa riwayat terkait maksud shalat pertengahan atau shalat wustha yang memiliki keutamaan dibanding yang lainnya pada ayat di atas.

  1. Riwayat Ali, Umar, Ibnu Abbas, Jabir, Abi Umamah dan Al-Bahili dari kalangan sahabat Nabi, Thawis, Atha’, Ikrimah dan Mujahid dari kalangan tabiin menyebutkan, maksudnya ialah shalat Subuh. Argumentasinya waktu awal Subuh berada dalam gelap malam sehingga menyerupai shalat malam, sedang akhirnya berada pada saat matahari bersinar yang menyerupai shalat siang. Shalat Subuh juga berada pada satu waktu yang tidak mungkin dijamak dengan shalat lainnya. Selain itu shalat ini menjadi saksi pergantian malaikat malam dan siang.
     
  2. Riwayat Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah menyebutkan maksudnya ialah shalat Ashar. Sebab waktu ashar berada di tengah-tengah antara shalat genap dan ganjil. Shalat Ashar juga memiliki waktu yang samar dan tidak dapat diketahui kecuali dengan melihat secara seksama pada keadaan bayangan. Karena kesulitan itu, keutamaan di dalamnya besar dibanding shalat lainnya.


Dari beberapa riwayat itu, sebagian ulama memilih bahwa hakikat makna shalat pertengahan atau shalat wustha yang disebut pada ayat 238 di atas disamarkan oleh Allah supaya hamba-hamba-Nya menjaga setiap shalat pada waktunya, agar mendapatkan keutamaannya. Sama seperti Allah membuat samar Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan, waktu ijabah pada hari Jumat, dan ismul a’zham pada nama-nama-Nya. 
 

Syekh Nawawi juga menjelaskan maksud shalat khauf (khawatir) yang memperbolehkan shalat dalam keadaan berjalan maupun berkendara pada ayat di atas yaitu mencakup khawatir pada saat peperangan maupun bukan peperangan. Seperti lari dari kebakaran, air bah, hewan buas atau hal lain yang membahayakan. Jika semua bahaya tersebut telah hilang, maka diharuskan melaksanakan shalat sebagaimana biasa dengan menjaga rukun dan syaratnya. (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah], juz I, halaman 84).
 

Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya mengingatkan, menjaga shalat yang dimaksud dapat maksimal dengan cara menjaga niat murni shalat untuk mengingat Allah sebagaimana disebutkan dalam surat Thaha ayat 14: “Dirikanlah shalat untuk mengingatku”.
 

Dalam artian orang yang melakukan shalat dengan cara menjaga niatnya maka ia telah menjaga shalatnya. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], juz VI, halaman 483).
 

Kesimpulannya, ayat 238-239 surat Al-Baqarah di atas memberi pemahaman kepada kita urgensi peran shalat dalam kehidupan.
 

Selain sebagai hubungan internal antara hamba dan Tuhannya, shalat yang dilaksanakan dengan khusyuk dan khidmat juga merupakan penjaga dari segala maksiat kepada Tuhannya. Orang yang shalatnya baik maka ia akan dijaga oleh Allah dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek, Mahasantri Mahad Aly Saiidussiddiqiyah Jakarta