Ilmu Al-Qur'an

Menyoal Qira’at Imam Hamzah dalam Surat an-Nisa’ Ayat 1?

Rab, 10 Maret 2021 | 02:00 WIB

Menyoal Qira’at Imam Hamzah dalam Surat an-Nisa’ Ayat 1?

Qira’at Al-Qur’an tidak akan pernah menyalahi kaidah bahasa Arab, jikapun dijumpai pertentangan dengan kaidah bahasa Arab, maka yang menjadi syahid (dalil) adalah qira’at Al-Qur’an.

Perbedaan memiliki dua kategori yaitu kontradiktif dan variatif. Perbedaan kontardiktif adalah perbedaan yang berlawanan, baik dari sisi lafadz maupun maknanya. Pola perbedaan seperti ini tidak akan pernah dijumpai dalam Al-Qur’an selamanya.

 

Sementara perbedaan variatif adalah perbedaan yang banyak dijumpai pada perubahan pola bacaan, dalam hal harakat maupun lahjah. Perbedaan variatif ini merupakan salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’an. Siapa pun yang melakukan kajian secara mendalam terhadap pola perubahan bacaan seperti ini, pasti akan menemukan rahasia-rahasia yang terkandung di baliknya.

 

Akan tetapi, terdapat sebagian ahli gramatika bahasa dari kalangan klan Bashrah yang menentang sebagian perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surat an-Nisa’ ayat 1.

 

وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

 

Artinya: “Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”

 

Pada lafadz (وَالْأَرْحَامَ) seluruh ulama qira’at sepakat untuk membaca nashab (fathah) pada huruf mim kecuali Imam Hamzah az-Zayyat yang membaca kasrah pada huruf mim (وَالْأَرْحَامِ). (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi Al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah/75).

 

Apabila huruf mim-nya dibaca nashab (fathah) maka lafadz tersebut diathaf-kan pada lafadz Jalalah (اللهَ) sedangkan apabila dibaca kasrah maka di-athaf-kan pada isim dhamir pada lafadz (بِهِ).

 

Dalam hal ini, sebagian ulama Bashrah menentang bacaan Imam Hamzah dengan alasan yang sangat urgen yaitu larangan meng-athafkan isim dhahir kepada isim dhamir, seperti meng-athaf-kan lafadz (وَالْأَرْحَامَ) kepada isim dhamir yang dibaca kasrah (بِهِ) kecuali mengulang haruf yang menyebabkan kasrah, yaitu huruf ba’, seperti : (وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَبِالْأَرْحَامِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا). (Abdul Aziz al Muzainy, Mabahits Fi Ilm al Qira’at/291).

 

Imam Az-Zajjaj (w. 311 H) mengatakan bahwa bacaan yang tepat adalah dengan membaca fathah pada lafadz (وَالْأَرْحَامَ), yang berarti takutlah memutus hubungan dengan keluarga. Sedangkan membaca kasrah pada lafadz (وَالْأَرْحَامَ) merupakan bacaan yang salah karena tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab kecuali dalam dharurat syair. Menurut mereka, dalam ilmu gramatika Arab, ulama nahwu sepakat bahwa meng-athaf-kan isim dhahir kepada isim dhamir adalah suatu yang buruk kecuali menampakkan huruf jer-nya. Seperti ucapan (مَرَرْتُ بِهِ وَزَيْدٍ) yang menurut ulama nahwu dianggap buruk dan tidak boleh kecuali bila huruf jer-nya diulang seperti (مَرَرْتُ بِهِ وَبِزَيْدٍ).

 

 

Selain kesalahan dalam gramatika bahasa Arab, terdapat kesalahan yang lebih berat, yaitu kesalahan dalam perkara agama. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab (mengandung unsur sumpah kapada selain Allah) Nabi bersabda:

 

لا تحلفوا بآبائكم

 

“Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian.”

 

Al-Zajjaj mengutarakan bahwa Imam Ismail bin Ishaq berpendapat bahwa bersumpah dengan nama selain Allah adalah dosa besar, sebab (pengucapan) sumpah khusus menggunakan nama Allah semata. Lantas, bagaimana boleh bersumpah dengan nama keluarga? (Az- Zajjaj, Ma’ani Al-Qur’an wa I’rabuhu, 2:6).

 

Meskipun demikian, pendapat ini banyak ditentang oleh para mufassir, di antaranya adalah al-Qurthubi (w. 671 H) dan Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H). Penetangan ini tidak hanya datang dari ulama tafsir saja tapi juga datang dari kalangan ahli nahwu juga dari klan Kufah, seperti Ibnu Malik (w. 672 H), Ibnu Aqil (w. 769 H), dan Ibnu Hisyam (w. 761 H).

 

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa tuduhan di atas tidak dapat diterima dan tertolak, sebab qira’at yang dibaca oleh para Imam Qira’at bersumber dari Nabi Muhammad , secara mutawatir dan tidak boleh ditentang. Hal ini pastinya telah diketahui juga oleh seluruh ulama nahwu. Jika pendapat Imam Hamzah ditentang atau ditolak, maka sama saja menentang Nabi Muhammad , dan menganggap buruk bacaan beliau. Tentu perilaku seperti ini perlu dihindari oleh seorang Muslim. Imam al-Qurthubi juga menekankan bahwa dalam hal ini tidak boleh mengikuti ulama bahasa dan nahwu, sebab tidak ada satu pun manusia yang mampu menandingi kefasihan Nabi Muhammad dalam berbahasa Arab. (Al-Qurthubi, Tafsir al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an/5/3).

 

Senada dengan al Qurthubi, Imam ar-Razi mengatakan bahwa tuduhan ini tidak kuat jika ditinjau dari segi bahasa, sebab Imam Hamzah adalah salah satu Imam Qira’at sab’ah yang bacaannya tidak berasal dari dirinya sendiri, akan tetapi dari periwayatan kepada Nabi Muhammad . Adapun  qira’at yang bersumber dari Nabi dapat dipastikan kebenaran bahasanya. Sementara qiyas (gramatika bahasa Arab) akan tergerus mengecil (penggunaanya) dengan adanya sima’i atau periwayatan apalagi menggunakan qiyas dalam kasus ini; ia adalah qiyas yang paling lemah dari pada rumah laba-laba.

 

Di antara hal yang mengherankan dari tuduhan ulama nahwu (Bashrah) ini adalah bahwa  mereka membenarkan adanya athaf isim dhahir terhadap isim dhamir dalam bentuk syair, namun mereka tidak membenarkan qira’at Hamzah dan Mujahid, padahal keduanya termasuk ulama salaf dalam bidang ilmu Al-Qur’an. (al Razi, Tafsir Mafatih al Ghaib, 9:480).

 

Orang yang ingkar terhadap Imam Hamzah, bisa jadi karena tidak mengerti tentang qira’at Al-Qur’an dan periwayatannya dan fanatik terhadap madzhab gramatika bahasa ulama klan Bashrah. Sementara ulama nahwu klan Kufah berpandangan bahwa dalam kasus ini dapat dianalogikan (terhadap qira’at Imam Hamzah). Di samping itu, terdapat sebagian ulama Bashrah mengunggulkan madzhab ulama Kufah (dalam kasus ini) dan mendukungnya dengan penjelasan secara rinci. (Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, 4:273).

 

Dalam meriwayatkan bacaan ini, Imam Hamzah tidak sendirian, banyak ulama lain yang meriwayatkan demikian, di antaranya adalah Ibnu Abbas, al Hasan al Bashri, al Muththawwa’i, Ibrahim al Nakha’i, Qatadah, dan al A’masy. Hanya saja bacaan ini dinisbatkan kepada Imam Hamzah karena kemasyhurannya dalam meriwayatkannya.

 

Jika ulama tafsir menguraikan tanggapannya terhadap pendapat ulama nahwu klan Bashrah bertumpu pada periwayatan dan transmisi yang bersumber dari Nabi Muhammad , berbeda hal nya dengan ulama nahwu klan Kufah.

 

Menurut ulama Kufah, meng-athaf-kan isim dhahir kepada isim dhamir dapat dibenarkan, karena hal ini merujuk kepada syair Arab;

 

فَالْيَوْمَ قَرَّبْتَ تَهْجُونَا وَتَشْتِمُنَا ... فَاذْهَبْ فَمَا بِكَ وَالْأَيَّامِ مِنْ عَجَبِ

 

Dalam syair di atas, penyair meng-athaf-kan lafadz (وَالْأَيَّامِ) kepada isim dhamir dalam lafadz (بِكَ).

 

نُعَلِّقُ فِي مِثْلِ السَّوَارِي سُيُوفَنَا ... وَمَا بَيْنَهَا وَالْكَعْبِ مَهْوَى نَفَانِفُ

 

Dalam syair di atas, penyair juga meng-athaf-kan lafadz (وَالْكَعْبِ) kepada isim dhamir dalam lafadz (بَيْنَهَا).

 

Imam Ibnu Malik, pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik yang fenomenal di dunia Islam juga membenarkan adanya athaf isim dhahir terhadap isim dhamir.

 

Berikut bait matan Alfiyah:

 

وعود خافض لدى عطف على ***  ضمير خفض لازما قد جعلا

 

وليس عندي لازما إذ قد أتى *** في النثر والنظم الصحيح مثبتا

 

Artinya: “Mengulang huruf khafadh (jer) ketika di-athaf-kan terhadap isim dhamir merupakan sesuatu keharusan, namun menurut saya (pengulangan itu) tidak harus karena dapat dijumpai dalam kalam natsar maupun nadzam yang shahih”.

 

Ibnu Aqil, penulis syarah Alfiyah Ibnu Malik, mengatakan bahwa bukti kebenaran dari bait nadzam di atas karena adanya kalam natsar dan syair. Contoh syair telah disebutkan di atas, sementara dalam kalam natsar dalam dijumpai dalam qira’at imam Hamzah (بِهِ وَالأَرْحَامَ) (Ibnu Aqil, Syarah Ibnu Aqil ‘Ala Al Fiyah Ibn Malik/3/239).

 

Sementara itu, Ibnu Hisyam, penulis kitab Audhah al Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik, menambahkan bahwa di dalam Al-Qur’an juga dijumpai isim dhahir di-athaf-kan kepada isim dhamir seperti dala ayat; (كُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ). (Ibnu Hisyam, Audhah al Masalik Ila Al fiyah Ibn Malik, 3:354).

 

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa qira’at Al-Qur’an tidak akan pernah menyalahi kaidah bahasa Arab, jikapun dijumpai pertentangan dengan kaidah bahasa Arab, maka yang menjadi syahid (dalil) adalah qira’at Al-Qur’an. Sebab qira’at Al-Qur’an yang shahih bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ yang wajib diikuti dan dipatuhi. Imam al Dani (w. 444 H) berkata:

 

القراءات سنة متبعة يأخذه الأخر عن الأول ولا قياس في القراءة

 

Artinya: “Qira’at Al-Qur’an adalah sunnah yang diikuti oleh yang terakhir dari yang awal dan tidak ada qiyas dalam qira’at”.

 

 

Moh. Fathurrozi,Pecinta Ilmu Qira’at Al-Qur’an dan Penulis Buku Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at