Ilmu Hadits

3 Ragam Model Kajian Tematik Hadits

Sen, 2 Oktober 2023 | 15:00 WIB

3 Ragam Model Kajian Tematik Hadits

Ilustrasi kitab-kitab hadits. (Foto: NU Online/Freepik)

Tematik hadits menjadi metode yang dapat disebut efektif dalam memahami hadits. Metode tematik hadits cocok digunakan, baik di tengah-tengah masyarakat ketika ingin menjelaskan tema tertentu berdasarkan hadits-hadits Nabi, atau digunakan di dunia kampus sebagai metode pengkajian terhadap suatu tema dalam perspektif hadits.

 

Pada dasarnya, metode apapun dapat mengantarkan kita pada pemahaman hadits yang benar. Misalnya kita memahami hadits melalui pembacaan terhadap buku-buku penjelasan (syarah) hadits. Kita juga dapat memahami hadits bahkan dengan hanya membaca terjemah haditsnya saja. Akan tetapi, jika ingin memahami hadits secara utuh, maka metode tematik hadits merupakan salah satu yang tepat untuk digunakan.

 

Setidaknya ada tiga model kajian tematik, baik yang ada di tengah masyarakat maupun dalam ruang lingkup akademis kampus. Ketiga metodologi ini diringkas dari buku “Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik” karya Miski, sebagaimana berikut:

 

1. Metode kata kunci
Model kata kunci ini menuntut seseorang yang ingin melakukan kajian hadits secara tematik untuk mencari hadits-hadits dengan lafaz tertentu.

 

Misalnya, seseorang yang ingin mengkaji hadits-hadits tentang konsep ihsan dalam hadits, maka dapat menggunakan lafaz ihsan (إحسان) atau yang serupa dengan seperti kata kerja lampau atau saat ini yaitu ahsana-yuhsinu (أحسن – يحسن) dan lain sebagainya.


 
Apabila kita mempraktikkannya, maka akan keluar hasil sebagai berikut:

 

a. Ihsan adalah perasaan bahwa dirinya diawasi Allah ketika beribadah:

 

قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

 

Artinya, “Jibril pun bertanya, ‘Apa yang dimaksud ihsan?’ Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu’.” (HR. Al-Bukhari)

 

b. Ihsan itu adalah berbuat baik kepada seluruh makhluk, salah satunya hewan

 

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا اْلقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

 

Artinya, “Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.” (HR Muslim).

 

c. Ihsan dalam hadits dimaknai sebagai kebaikan secara umum

 

وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ قَالُوا لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِكُفْرِهِنَّ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ وَيَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

 

Artinya, “’Aku melihat paling banyak penghuni neraka adalah wanita’.” Mereka bertanya, ‘Kenapa wahai Rasulullah!’ beliau menjawab, ‘Karena keingkaran mereka.’ Mereka bertanya, ‘Apakah karena mereka ingkar terhadap Allah?’ beliau menjawab, ‘Mereka ingkar terhadap suami dan ingkar terhadap kebaikan’. Jika kamu berbuat kepadanya dalam waktu yang lama, lalu mereka melihat keburukan darimu [sekali], dia berkata, ‘Saya tidak pernah melihat kebaikanmu sedikitpun’.” (HR. Malik).

 

Tiga hadits di atas dicari berdasarkan kata kuncinya yaitu “ihsan” yang memiliki makna yang berbeda-beda. 

 

Langkah selanjutnya, hal yang dapat digunakan dalam melakukan kajian tematik hadits berbasis kata kunci adalah melakukan pemaknaan secara mendalam, seperti pada makna yang kurang dipahami dari redaksi hadits. Setelah itu, proses analisis tema yang dikaji berdasarkan hadits dilakukan. Terakhir adalah menyimpulkan hasil pembahasan.

 

2. Metode tematis-analitis
Metode ini adalah pengkajian hadits secara tematik dengan basis tema tertentu dan pada hadits tertentu. Dengan metode ini, mencari hadits-hadits serupa yang mendukung dan melihat latar belakang setiap jalur periwayatan sangat diperlukan. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan suatu pemahaman yang utuh.

 

Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa adakalanya hadits diriwayatkan secara singkat pada satu jalur, dan diriwayatkan secara panjang pada riwayat lainnya. Adapula satu hadits diriwayatkan menggunakan lafaz yang rumit, sedangkan pada jalur lainnya diriwayatkan dengan lafaz dan redaksi yang mudah dipahami.

 

Sebagai contoh, seseorang yang ingin memahami hadits mengenai ‘isbal’ atau memakai pakaian yang terurai hingga melebihi mata kaki. Hadits yang dijadikan patokan semisal adalah hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki. Haditsnya adalah:

 

إنَّ الذي يَجُرُّ ثِيابَةُ مِنَ الخُيَلاءِ لا يَنْظُرُ اللَّهُ إلَيْهِ يَومَ القِيامَةِ

 

Artinya: “Orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak dilihat Allah di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).

 

Hadits serupa selanjutnya yaitu:

 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ.

 

Artinya: “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.” (Muttafaq ‘alaih)

 

Hadits lainnya adalah riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya:

 

عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ

 

Artinya: “Dari Nabi Saw., beliau bersabda: ‘Siapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat kelak.’ Lalu Abu Bakar berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?’ Kemudian Nabi Saw. bersabda, ‘Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong’.” (HR al-Bukhari).

 

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemaknaan secara mendalam, melakukan pemetaan terhadap kajian dan membuat kesimpulan dari proses analisis yang dilakukan.

 

3. Metode tematik-konseptual
Metode tematik-konseptual cakupannya lebih luas dari sekedar lafaz hadits Nabi. Metode ini dapat digunakan untuk menjawab isu-isu terkini dengan menggunakan hadits. Kata terorisme, multukulturalisme, kloning, dan sejenisnya mungkin tidak akan ditemui dalam hadits. Akan tetapi, secara sederhana, terorisme misalnya dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang memiliki tema larangan mengancam dan larangan membunuh dan lain sejenisnya.

 

Langkah-langkah yang diterapkan dalam melakukan kajian ini adalah menentukan tema, menentukan literatur primer dalam hadits, melakukan pembacaan yang komprehensif terhadap hadits-hadits yang dikaji, melakukan proses takhrij hadits sekaligus melacak validitas hadits serta kualitasnya, melakukan analisis literal pada lafaz-lafaz yang terhimpun dalam matan, melihat syarah melakukan komparasi teks hadits dengan teks lainnya seperti Al-Quran, pendapat sahabat, tokoh otoritatif dan lain-lain, melakukan kesimpulan.

 

Misalnya pembahasan terorisme dan radikalisme yang disinggung hadits, maka dapat merujuk kepada hakikat konsep radikalisme dan terorisme itu sendiri yang mengandung kekerasan, intimidasi, pemaksaan dan lain sejenisnya. Maka kita dapat memetakan pencarian hadits pada unsur-unsur tersebut.

 

Misalnya adalah rujukan haditsnya yang membahas mengenai larangan dan hukuman orang yang melakukan penyiksaan, seperti hadits riwayat al-Bukhari:

 

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ ، لاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا ، وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ

 

Artinya: “Ada seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati karena tindakannya tersebut ia masuk neraka. Wanita itu tidak memberi kucing tersebut makan, tidak pula minum ketika ia mengurungnya. Juga kucing tersebut tidak dibolehkan untuk memakan serangga-serangga di tanah” (HR. al-Bukhari).

 

Hadits lain di antaranya:

 

مَرَّ ابْنُ عُمَرَ بِفِتْيَانٍ مِنْ قُرَيْشٍ قَدْ نَصَبُوا طَيْرًا وَهُمْ يَرْمُونَهُ وَقَدْ جَعَلُوا لِصَاحِبِ الطَّيْرِ كُلَّ خَاطِئَةٍ مِنْ نَبْلِهِمْ فَلَمَّا رَأَوُا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ مَنْ فَعَلَ هَذَا لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَلَ هَذَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

 

Artinya: “Ibnu ‘Umar pernah melewati beberapa pemuda Quraisy yang menancapkan seekor burung dan memanahinya. Setiap anak panah yang tidak mengenai sasaran menjadi milik si pemilik burung. Ketika melihat Ibnu ‘Umar, mereka pun bubar. Ibnu ‘Umar lalu berkata, ‘Siapa yang melakukan ini? Ketahuilah, Allah melaknat orang yang melakukan seperti ini. Sesungguhnya Rasulullah Saw. melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran tembak’.” (HR. Muslim).

 

Hadits tentang anjuran untuk menyayangi sesama, seperti riwayat al-Bukhari:

 

قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا . فَقَالَ الأَقْرَعُ إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ (مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ)

 

Artinya: “Rasulullah Saw. pernah mencium Hasan bin ‘Ali. Ketika itu ada al-Aqra’ bin Habis al-Tamimi sedang duduk. Al-Aqra’ berkata bahwa ia memiliki sepuluh anak, namun ia tidak pernah mencium salah seorang di antara mereka sedikit pun. Rasulullah Saw. kemudian mengatakan padanya, ‘Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak disayangi’.” (HR. al-Bukhari).

 

Demikianlah tiga model metode kajian hadits tematik yang dapat digunakan, baik di dunia kampus maupun kajian hadits di tempat-tempat umum seperti majelis dan lain-lain. Tiga model di atas dapat membantu kita dalam membaca dan memahami hadits secara lebih komprehensif. Dengan demikian, pemahaman hadits yang salah dan parsial pun dapat dihindari. Wallahu a’lam

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences