Ilmu Hadits

5 Alasan Mengapa Ilmu Hadits Tetap Relevan Sepanjang Zaman

Sel, 26 September 2023 | 21:30 WIB

5 Alasan Mengapa Ilmu Hadits Tetap Relevan Sepanjang Zaman

Foto ilustrasi (via light of Islam)

Menyoal relevansi dalam sebuah ilmu, tentunya penting untuk diperhatikan sebab tanpa adanya relevansi mungkin suatu ilmu akan jaya pada suatu masa, namun kian pudar setelah dimakan zaman. Relevansi sendiri artinya adalah bersangkut-paut atau berguna secara langsung. Maka relevansi suatu ilmu di masa sekarang adalah kaitannya dengan isu-isu terkini dan memiliki sangkut paut dengan setiap sesuatu yang orang-orang saat ini lakukan dan kerjakan.


Salah satu ilmu yang akan tetap relevan hingga akhir zaman di antaranya adalah ilmu hadits. Kendati ilmu hadits, apabila dibandingkan dengan ilmu syariah, atau bahkan ilmu konvensional, akan kalah dalam segi kuantitas peminat, namun relevansinya akan tetap ada dan urgensinya akan selalu eksis. Relevan atau tidak relevan lagi-lagi tergantung dari sisi mana kita menilai. Mengapa demikian?


Pertama, agama Islam tetap eksis dan penganutnya tetap ada. Sehingga, umat Islam tidak mungkin melupakan sumber-sumber keagamaan mereka, sebagaimana umat dari agama lainnya. Seorang penganut agama, bagaimana pun, tidak mungkin terlepas dari teks-teks keagamaan mereka, kendati kadar tekstualnya berbeda-beda.

 
Seseorang yang mendakwakan dirinya biasa memahami agama dengan sudut pandang kontekstual pun tidak akan pernah terlepas dari teks. Pasalnya, konteks penjelasan yang melatar belakangi adanya teks tersebut berasal dari teks lainnya.


Kedua, kedudukan hadits dalam Islam sangat penting. Muhammad Abu Zahwu memaparkan dalam karyanya, al-Hadits wa al-Muhadditsun, umat Islam wajib mengikuti sunah dan ada hukuman bagi yang menyelisihinya. Sunah sendiri adalah sinonim hadits sebagai definisi yang dipaparkan ulama hadits. (Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun, [Kairo: Dar al-Fikr, 1378 H], hal. 20).


Kewajiban mengikuti hadits Nabi sendiri ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Quran, di antaranya adalah:


وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ 


Artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr ayat 7).


Kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman ini dikarenakan hadits merupakan penjelas dari Al-Quran secara rinci. Allah swt Telah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman manusia. Akan banyak ayat-ayat yang secara gamblang butuh perincian dalam praktiknya seperti ayat-ayat tentang perintah shalat.


Nabi Muhammad saw sendiri dalam hal menjelaskan tentang firman Allah swt, dalam tujuan untuk memperinci penjelasannya, tidak mengatakan sesuatu berasaskan hawa nafsu sebagaimana disebutkan dalam surah An-Najm ayat 3.


Upaya penjelasan yang dilakukan hadits terhadap Al-Qur'an beragam bentuknya, boleh jadi berbentuk penjelasan terhadap ayat yang global (mujmal), taqyid ‘ala al-muthlaq (pembatasan terhadap ayat yang masih mutlak), pengkhususan terhadap ayat yang masih umum (takhsish al-‘amm ‘ala al-khash), penjelasan terhadap sesuatu yang masih sulit dipahami dari ayat Al-Quran, dan lain-lain. 


Bukti bahwa hadits sebagai penjelasan dari ayat Al-Qur'an misalnya Nabi Saw. pernah bersabda:


فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ 


Artinya, “Bertakwalah kepada Allah tentang (urusan) wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah." (HR. Muslim).


Hadits di atas merupakan penjelas bagi ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 19:


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Artinya, “dan pergaulilah mereka [para isteri] secara baik.”


Sunah atau hadits sebagai penjelas bagi Al-Quran pernah dijelaskan oleh Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah:


ما أحكم فرضه بكتابه، وبين كيف هو على لسان نبيه. مثل عدد الصلاة والزكاة ووقتها ،وغير ذلك من فرائضه التي أنزل من كتابه.


Artinya, “[di antara penjelasan ibadah] Sesuatu yang diwajibkan [Allah kepada hamba-Nya] berdasarkan Al-Quran, dan kewajiban tersebut dijelaskan melalui lisan Nabi-Nya. Misalnya adalah jumlah shalat dan zakat beserta waktunya, dan hal-hal lain berupa kewajiban-kewajiban yang diturunkan dalam Al-Quran." (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, [Mesir: Maktabah al-Halabi, 1940], hal. 17).


Selain Al-Qur'an sebagai penjelas, Imam al-Syafi’i juga menegaskan sunah atau hadits Nabi sebagai penjelasan syariat yang independen. Beliau berkata:


ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم مما ليس لله في نص حكم، وقد فرض الله في كتابه طاعة رسوله صلى الله عليه وسلم والانتهاء إلى حكمه. فمن قبل عن رسول الله فبفرض الله قبل


Artinya, “[di antara penjelasan ibadah] Sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang tidak dicantumkan Allah dalam nas Al-Quran, sedangkan Allah telah mewajibkan dalam kitab-Nya ketaatan kepada Rasul-Nya dan mematuhi keputusannya. Maka siapa pun yang menerima perintah dari Rasulullah, maka dengan perintah Allah [untuk menaati Rasul], dia harus menerimanya." (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hal. 17).


Ketiga, majelis-majelis yang mengkaji hadits akan selalu ada secara terus menerus, sedangkan para pengajar hadits biasa menjelaskan kontekstualisasi hadits dengan kehidupan sehari-hari, sehingga para hadirin di majelis tersebut mendapatkan hikmah yang dapat diamalkan di kehidupan mereka. Dari kegiatan pengajaran hadits di majelis-majelis, hadits senantiasa menemukan relevansinya.


Keempat, pengkajian hadits di tingkat universitas seperti Universitas Islam Negeri atau tingkat Ma’had ‘Aly seperti Ma’had ‘Aly Tebuireng atau Darus-Sunnah Institute for Hadith Sciences menjadikan hadits selalu relevan untuk dikaji. Hal tersebut disebabkan karena hadits dikaji melalui proses penelitian dengan ragam pendekatan yang akan menghasilkan kebaruan dan perspektif yang bisa saja berbeda dari penjelasan-penjelasan ulama terdahulu.


Kelima, integrasi hadits yang dilakukan di tingkat kampus dengan menyambungkannya kepada rumpun ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu wilayah, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan geografi. Contoh jelas yang telah dikembangkan dunia kampus terhadap hadits adalah Ilmu Living Hadits, di mana antropologi menjadi pendekatan khas dalam membaca suatu budaya.


Kelima poin di atas memang belum semuanya menjelaskan mengapa ilmu hadits selalu relevan dikaji dan dipelajari dari masa ke masa. Akan tetapi, lima faktor tersebut sudah mewakili alasan ilmu hadits tetap eksis sepanjang masa. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences