Ilmu Hadits

Cara Tangkal Hoaks dengan Kaidah Hadits Shahih

Kam, 21 September 2023 | 17:30 WIB

Cara Tangkal Hoaks dengan Kaidah Hadits Shahih

Cara Menangkal Hoaks dengan Kaidah Hadits Shahih. (Foto: NU Online)

Tsunami informasi yang diserap manusia di era media sosial merupakan hal yang niscaya. Faktanya kini setiap individu memiliki tidak hanya satu akun dari setiap satu media sosial. Selain itu, saat ini pencarian informasi dan penyajiannya juga lebih simpel. Dan sebagai sebuah keniscayaan, setiap fenomena tentu memiliki efek positif dan negatif. 


Dinilai positif, sebab sekarang mudah sekali mencari informasi yang kita butuhkan. Butuh informasi tentang menu masakan, objek wisata yang sedang ramai, institusi pendidikan yang akan dituju, teknologi anyar hingga berita-berita politik dan ekonomi semuanya tersedia di gawai kita. Di dinilai negatif, sebab terlalu banyak informasi yang masuk ke kepala kita dalam satu waktu membuat sebuah kebenaran semakin pudar karena dikendalikan oleh algoritma.


Tidak jarang, orang terkena hoaks karena tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Barangkali, sebagian informasi hoaks sudah diklarifikasi oleh negara melalui situs khusus milik Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menampilkan informasi-informasi hoaks. Namun, di era banjir informasi, tidak ada yang dapat mencegah seseorang terpapar dari hoaks.


Kaidah Hadits Shahih

Hadits merupakan perkataan, tindakan, pernyataan, sifat yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Sebagai umat Islam, kita mengimani bahwa hadits merupakan sumber penting dalam hukum Islam setelah Al-Qur'an. Sepanjang sejarahnya, hadits diwarisi dari satu generasi ke generasi melalui periwayatan lisan, kemudian setelahnya muncul kegiatan kodifikasi dan pembukuan hadits.


Selain itu, karena hadits disampaikan melalui sistem periwayatan yang didasarkan pada kualitas si penyampai riwayat, maka dalam perjalanannya ada beberapa oknum yang memalsukan hadits, atau meriwayatkan hadits yang dha’if. 


Dha’if secara bahasa adalah lemah. Akan tetapi dalam ilmu hadits maksudnya adalah hadits yang tidak melengkapi persyaratan hadits shahih yang lima, yaitu 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya 'adl, 3) perawinya dhabt, 4) matan hadits tidak syadz, 5) substansi hadits tidak terdapat ‘illat. Shahih sendiri artinya sehat, dengan demikian, hadits shahih adalah hadits yang terbebas dari ‘penyakit’ yang membuatnya dha’if (lemah) karena di dalamnya terkumpul lima syarat tadi.


Terkait lima syarat hadits shahih, Imam al-Nawawi menyebutkan dalam al-Taqrib:


ما اتصل إسناده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة 


Artinya, “[hadits shahih] adalah yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para perawi yang ‘adl dan dhabith, yang matannya tidak terdapat syadz dan ‘illat. (al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, [Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsiyah], hal. 63).


Sebelum menjelaskan satu persatu kaidah shahih hadits, maka perlu diketahui bahwa hadits yang diriwayatkan dari lisan ke lisan atau tertulis dalam kitab atau buku hadits terdiri dari dua bagian. Pertama adalah sanad yaitu rantai yang diisi oleh nama-nama periwayat hadits. Kedua adalah matan yang merupakan isi dari hadits yang diriwayatkan.


Misalnya adalah hadits riwayat Imam al-Bukhari:


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ


Maka bagian yang ditebalkan dan digaris bawah adalah matan hadits, sedang sanad adalah bagian sebelumnya.


Syarat hadits shahih

Selanjutnya secara rinci persyaratan hadits shahih meliputi: pertama yaitu sanadnya bersambung dari satu perawi ke perawi lainnya tanpa terputus. Dalam kasus hadits dha’if, terputusnya sanad bisa karena satu perawi hadits langsung menyebut matan hadits, atau menyebut matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi langsung, padahal ada beberapa perawi yang turut serta dalam periwayatan hadits tersebut. Atau boleh jadi seorang perawi tidak menyebut perawi yang menyampaikan informasi itu kepadanya karena dianggap tidak kredibel dalam menyampaikan informasi.


Kedua, hadits shahih diriwayatkan oleh seorang yang ‘adl. ‘Adl sendiri maknanya menurut para ahli hadits adalah perawi hadits yang Muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak suka berbuat sesuatu yang menjatuhkan wibawanya. Secara teknis, mengetahui ‘adl pada perawi adalah dengan pengakuan ulama lain terhadap perawi tersebut, atau dengan kemasyhurannya sebagai orang yang ‘adl.


Ketiga, hadits diriwayatkan oleh perawi yang dhabth, yaitu memiliki kekuatan hafalan yang kuat, dengan ukuran sekiranya ditanya mengenai hafalannya, ia dapat langsung menjawabnya tanpa perlu pikir panjang. Selain itu, periwayatan yang disimpan olehnya pun harus akurat dengan ukuran tidak menyalahi riwayat perawi-perawi lainnya yang kredibel. 


Lebih spesifik lagi, keakuratan tersebut menjadi syarat mutlak, baik itu keakuratan secara lisan (dhabth al-shadr), maupun tulisan (dhabth al-kitabah). Cara untuk mengetahui perawi tersebut memiliki sifat dhabth adalah dengan keakuratan hasil periwayatannya dengan riwayat perawi lainnya yang dinilai kredibel.


Keempat, matan hadits yang diriwayatkan tidak berbeda dengan redaksi yang diriwayatkan para perawi lainnya yang dinilai lebih kredibel. Untuk mengetahuinya, maka perlu pengecekan terhadap satu matan hadits dengan matan hadits lainnya.


Kelima, matan hadits tidak mengandung ‘illat yakni penyakit, aib atau cacat. Akan tetapi dalam ‘illat yang terjadi pada sanad atau matan hadits maksudnya adalah suatu faktor samar yang yang bisa merusak keshahihan suatu hadits. ‘Illat hadits dapat diketahui dengan riwayat yang tidak bertentangan dengan riwayat lainnya, atau dengan kondisi si perawi yang jarang muncul pada rantai sanad hadits-hadits lainnya.


Menangkal Hoaks dengan Kaidah Hadits Shahih

Cara untuk mencegah hoaks atau informasi yang tidak valid yang beredar di media sosial atau media pada umumnya dengan menggunakan kaidah ke-shahih-an memerlukan langkah pengecekan yang adakalanya sederhana, atau adakalanya juga rumit.


Pertama, memvalidasi bahwa informasi yang didapat berasal dari sumber yang primer. Misalnya, apabila mendapatkan informasi terkait harga BBM naik, maka perlu mengecek informasi tersebut kepada situs pemerintah yang berwenang mengeluarkan informasi tersebut.


Kedua, melakukan pengecekan apakah si pemberi kabar berita merupakan orang yang jujur, atau biasanya terkenal menyebar berita hoaks pada akunnya. Karena di media sosial orang bebas berpendapat, maka tidak terlepas dari tuduhan yang sebenarnya tidak benar, maka memvalidasi ‘siapa’ yang menyebarkan informasi tersebut merupakan salah satu tindakan yang tepat.


Ketiga, memvalidasi keakuratan dan kredibilitas penyebar berita atau informasi. Media-media besar mungkin sudah selesai dengan persoalan ini, sehingga apabila ada suatu informasi yang diberitakan kepada khalayak, ia dapat dipercaya kecuali yang sifatnya belum final namun sudah diberitakan dengan diberi catatan dalam isi kontennya. Memvalidasi berita hoaks pada situs Kementerian Komunikasi dan Informatika juga merupakan tindakan yang tepat.


Keempat, informasi yang didapatkan tidak kontradiktif dengan informasi atau berita yang disampaikan media-media lain yang memiliki kredibilitas tinggi. 


Kelima, tidak adanya kerancuan dalam berita tersebut, rancu dalam artian tidak logis dalam kontennya. Misalnya, di saat rupiah menurun dan melemah nilainya, tiba-tiba ada berita produk impor menjadi murah meriah di Indonesia. 


Langkah validasi di atas kiranya sesuai dengan bagaimana cara memvalidasi keotentikan hadits, hanya saja caranya lebih sederhana. Menuju tahun-tahun politik, tentu saja berita dan informasi hoaks niscaya muncul. Barangkali, cara-cara di atas dapat ditempuh oleh para pembaca sekalian. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences