Ilmu Hadits MUSTHALAH HADITS

Ini Kategori Referensi Otentik dalam Verifikasi Hadits atau Takhrij

Sab, 14 April 2018 | 10:30 WIB

Takhrij hadits merupakan salah satu cabang ilmu dalam keilmuan hadits yang digunakan sebagai salah satu metode untuk menemukan sebuah hadits dari sumber asalnya. Lalu kategori apa yang digunakan untuk melihat sumber asli hadits terkait takhrij atau verifikasi hadits?

Mahmud Thahhan dalam kitabnya yang berjudul Ushulut Takhrij wa Dirasatul Asanid menjelaskan definisi takhrij sebagai berikut:

الدلالة علي موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة

Artinya, “Petunjuk untuk mengetahui ke tempat hadits dalam sumber aslinya yang ditunjukkan dengan sanadnya, kemudian menjelaskan tingkatannya ketika dibutuhkan,” (Lihat Mahmud Thahhan, Ushulut Takhrij wa Dirasatul Asanid, [Riyadh: Maktabah Maarif, 1996], halaman 10).

Yang dimaksud petunjuk untuk mengetahui tempat hadits adalah menyebutkan kitab-kitab yang mencantumkan hadits tersebut. Contoh: Akhrajahul Bukhari fi saḥiḥihi. Ahkrajahu At-thabrani fi Mu’jamihi, dan lain sebagainya.

Lalu apa yang disebut dengan sumber asli?

Sumber asli adalah kitab-kitab hadits yang bisa dijadikan pedoman saat kita menakhrij hadits. Misalnya, kita menakhrij hadits dan berhasil menemukan hadits tersebut dalam puluhan kitab. Tidak semua kitab tersebut bisa dijadikan rujukan. Hanya kitab-kitab yang termasuk dalam kriteria sebagai sumber asli yang bisa dijadikan rujukan. Bisa jadi, dari puluhan kitab yang kita temukan, hanya tiga atau empat kitab yang memenuhi kategori sebagai sumber asli.

Apa saja kitab yang termasuk dalam sumber asli?

Mahmud Thahhan juga menjelaskan dalam kitabnya Ushulut Takhrij bahwa hanya ada tiga kategori sumber asli yang bisa dijadikan rujukan dalam menakhrij hadits. Tiga kategori tersebut adalah:

Pertama, kitab hadits yang ditulis oleh muallifnya, berdasarkan hasil talaqqi (pertemuan secara langsung/face to face) mualif tersebut dengan guru-gurunya yang sampai sanadnya ke Rasulullah SAW.

Adapun kitab-kitab yang termasuk kategori ini adalah: Kutubus Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abi Dawud, dan Sunan At-Tirmidzi), Al-Muwattha Imam Malik, Mustadrak Al-Hakim, Mushannaf Abdur Razak, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab lain yang sejenis.

Kedua, kitab-kitab hadits yang mengikuti kitab-kitab hadits sebelumnya (dalam poin pertama), seperti kitab-kitab yang mengumpulkan beberapa hadits dari kitab-kitab hadits dalam kategori pertama, seperti Kitab Al-Jam’u bainas Shahihain karya Al-Humaidi; atau kitab-kitab yang mengumpulkan hadits berdasarkan ujung sanad hadits (athraf) sebagian kitab hadits di poin pertama, yaitu Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf karya Al-Mizi; atau kitab-kitab yang ditulis dengan cara meringkas dari kitab pada kategori pertama, yaitu Kitab Tahdzib Sunan Abi Dawud karya Al-Mundziri.

Jika secara sekilas, kita melihat bahwa Al-Mundziri membuang sanad hadits-hadits dalam kitabnya, sebenarnya secara hukum, sanad tersebut masih ada. Bagi yang ingin melihat sanad dari hadits tersebut, bisa langsung merujuk ke Kitab Sunan Abi Dawud.

Ketiga, kitab-kitab yang bergenre selain hadits, yaitu kitab fiqih, tafsir, sejarah, yang menyebutkan atau menyisipkan hadits, baik untuk penguat maupun motif lain. Namun dengan syarat, bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh penulisnya sendiri, dengan sanad miliknya sendiri yang tersambung hingga Rasulullah SAW, bukan mengutip hadits melalui sanad orang lain.

Contoh kitab-kitab yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsir At-Thabari dan Tarikh At-Thabari yang merupakan kitab tafsir dan sejarah karya Imam At-Thabari, begitu juga dengan kitab fiqih karya Imam As-Syafi’i yang berjudul Al-Umm. (Lihat Mahmud Thahhan, Ushulut Takhrij wa Dirasatul Asanid, [Riyadh: Maktabah Maarif, 1996], halaman 10-11).

Tiga kategori tersebut adalah kitab-kitab yang termasuk sumber asli dalam melakukan takhrij hadits. Jadi, ketika kita melakukan takhrij kemudian menemukan hadits dalam kitab yang tidak termasuk dalam kategori di atas, maka hasil takhrij tersebut sulit untuk dipertanggungjawaban. Wallahu a‘lam. (M Alvin Nur Choironi)