Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Beragama dengan Toleran

Sen, 6 Mei 2024 | 14:00 WIB

Kajian Hadits: Beragama dengan Toleran

Ilustrasi toleransi. (Foto: NU Online)

Toleransi adalah prinsip penting dalam kehidupan beragama. Praktiknya adalah dengan menghormati keyakinan dan praktik beribadah agama orang lain tanpa menghakimi atau memaksakan keyakinan sendiri kepada orang lain. 

 

Toleransi agama memungkinkan keragaman dan dialog antar agama, menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis. Biasanya para ahli membagi toleransi ke dalam dua bentuk, pertama toleransi pasif dan kedua toleransi aktif (Otto Gusti Madung, Toleransi dan Diskursus Post-Sekularisme, [Jurnal Ledalero, 2016],  hal. 309).

 

Sederhananya, toleransi pasif artinya membiarkan orang lain hidup dengan eksistensi realitas sosial yang plural, sedangkan toleransi aktif artinya turut melibatkan diri di tengah keragaman, bahkan adanya sikap mengakui eksistensi keragaman tersebut.

 

Bagi penulis sendiri ada hal yang cukup penting selain toleransi antar umat beragama, yaitu toleransi dalam internal kaum muslimin itu sendiri. Secara spesifik toleransi antar umat Islam dapat dipetakan menjadi toleransi internal dan eksternal. 

 

Toleransi internal dapat menjadi nalar fleksibilitas untuk diri sendiri dalam menjalankan syariat Islam, sedangkan toleransi eksternal akan menempa kita menjadi pribadi yang lentur terhadap corak dan cara beribadah kaum muslimin lainnya yang ‘dianggap berbeda’ dari cara kita.

 

Misal saja, persoalan khilafiyah yang meliputi ziarah kubur, tahlilan, membaca sirah nabawiyah dengan lantunan syair, hingga praktik-praktik lokal dengan nuansa agamis yang beragam di setiap wilayah boleh jadi tidak selalu cocok dalam pandangan kita, namun kita tetap harus toleran.

 

Di lain sisi, terhadap diri sendiri pun kita tidak diperkenankan untuk terlalu berlebihan dalam beragama, terlebih apabila membuat diri kita menjadi payah dan kesulitan. 

 

Kemudian yang penting digarisbawahi adalah, toleransi bukan berarti bebas meyakini dan membolehkan semua hal, atau sebaliknya, menganggap semuanya tidak baik dan tidak diperbolehkan. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda melalui riwayat Abu Hurairah:

 

إِنَّ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

 

Artinya, “Sesungguhnya agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, [Kairo: Darul Haramein, 1315], jilid VII, hal. 229).

 

Dalam hadits serupa, Ibnu ‘Abbas pernah berdialog bersama Rasulullah saw dalam sebuah riwayat yang dicantumkan imam al-Bukhari dalam Adabul Mufrad:

 

عَنْ بِنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: "الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ."

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah saw ditanya, 'Agama mana yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla?' Beliau menjawab, 'Agama yang lurus dan toleran.'" (HR Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, [Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989], jilid I, hal. 108).

 

Agama yang lurus dan toleran dalam konteks hadits di atas merupakan pola hidup agamis yang tidak terlalu berlebihan hingga menafikan aspek-aspek manusiawi secara umum. Abu ‘Umamah pernah menceritakan jikalau istri salah seorang sahabat yang bernama ‘Utsman bin Mazh’un melapor kepada ‘Aisyah saat berkunjung ke rumahnya.

 

“Ada kabar apa?” Tanya ‘Aisyah kepadanya.

 

“Sebagian sahabat Rasul, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Rawahah, dan ‘Utsman bin Mazh’un telah mengasingkan diri untuk beribadah. Mereka menahan diri dari [bersenang-senang dengan] istri mereka, dari memakan daging hingga memperbanyak puasa di siang hari dan shalat di malam hari. [Bahkan] aku tidak suka menampakkan diri pada suamiku sebab kuanggap diriku sebagai pemicu urusan duniawi baginya.” Ungkap istri ‘Utsman bin Mazh’un.

 

Kemudian ‘Aisyah pun mengabari Rasulullah mengenai sikap tasyaddud atau berlebihan dalam beragama yang dilakukan oleh sebagian sahabatnya. Tatkala mengetahui kabar yang disampaikan ‘Aisyah, Rasulullah langsung menuju ke rumah-rumah mereka dan berdialog mempertanyakan apa motif yang mendorong mereka mempersulit diri.

 

“Kami ingin menjadi pribadi yang baik!” Jawab mereka.

 

“Sungguh! Aku diutus dengan dibekali ajaran yang lurus dan toleran [al-hanifiyyah as-samhah], bukan dengan pola hidup kebiri..” Tegas Rasulullah memerintahkan mereka untuk hidup layaknya manusia biasa, yaitu dengan melakukan hubungan suami-istri, memakan daging, tidur dan puasa serta shalat dengan sewajarnya saja (Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, [Mosul: Maktabah al-‘Ulum wal Hikam, 1983], jilid VIII, hal. 170).

 

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا، بَشِّرُوا وَلاَ تُُنَفِّرُواوَيَسِّرُوا وَلاَتُعَسِّرُوا

Artinya, “Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari. Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari. Mudahkanlah dan janganlah kalian persulit.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

 

Tujuan dari perintah dimudahkannya urusan agama adalah supaya umat muslim merasa nyaman dalam menjalankan syariat Islam. Sedangkan kabar gembira yang dianjurkan untuk disebarkan terus menerus adalah agar mereka yang sedang berada pada titik terendah akan kembali menjadi pribadi yang semangat menjalankan perintah agama. (Al-Wallawi, Al-Bahrul Muhith, [Saudi: Dar Ibn Jauzi, 1436], jilid XXX, hal. 341).

 

Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya ketika melampirkan hadits mengenai kemudahan dalam beragama, beliau memberi nama babnya dengan judul ‘Bab ad-dīn yusr wa qawlun-nabī shallállāhu ‘alayhi wasallam aḥabbud-dīn ilállāh al-ḥanīfiyyah as-samhah’, atau dapat diartikan ‘Bab tentang agama yang mudah dan ucapan Nabi saw bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah yang lurus dan toleran’.

 

Dalam bab tersebut, Imam al-Bukhari melampirkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah terkait prinsip agama yang mudah dan saran untuk tetap teguh dan lurus dalam agama, tetapi dengan cara yang mudah dan ringan. Hadits tersebut adalah:

 

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ 

 

Artinya, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan payah [semakin berat dan sulit].” (HR Al-Bukhari).

 

Al-Munawi dalam Faydhul Qadir menegaskan, berdasarkan hadits di atas, tentu kita harus bersikap luwes dalam menjalankan agama. Siapapun yang mempersulit dirinya dengan menjalankan perintah agama, ia akan berujung pada kepayahan dan kesulitan. Maka sikap sederhana dalam beragama cukup penting dalam kehidupan seorang muslim. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah, 1356], jilid I, hal. 169).

 

Kesimpulannya, penjelasan di atas menyoroti urgensi toleransi dalam beragama, baik dalam konteks hubungan antar-umat beragama maupun dalam lingkungan internal umat Islam. Toleransi tidak hanya mencakup penghormatan terhadap kepercayaan dan praktik agama orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. 

 

Hadits yang disebutkan menegaskan bahwa agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang lurus dan toleran. Artinya, dalam menjalankan agama, kita harus memperhatikan prinsip kemudahan dan kesederhanaan, serta menghindari sikap berlebihan yang bisa mengakibatkan kesulitan dan kepayahan.

 

Kelenturan dan kemudahan agama merupakan solusi bagi kaum muslimin yang sulit dalam menjalankan agamanya. Tentunya pengalaman beragama setiap individu berbeda-beda, sehingga kelenturan dalam beragama pun tidak seragam antara satu dengan yang lainnya. Wallahu a’lam

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.