Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Ketika Gaya Bicara ‘Soft-Spoken’ Jadi Idola

Kamis, 13 Maret 2025 | 20:00 WIB

Kajian Hadits: Ketika Gaya Bicara ‘Soft-Spoken’ Jadi Idola

Ilustrasi seorang perempuan sedang berbicara dengan rekannya. (Foto: NU Online/Freepik)

Soft-spoken, atau berbicara dengan nada lembut, kini menjadi tren di berbagai media sosial sebagai favorite personality, alias kepribadian yang dianggap menarik oleh lawan jenis, baik pria maupun wanita. Kepribadian ini sering terlihat dalam video para content creator saat mereka berbicara dengan intonasi yang tenang dan menenangkan.

 

Merujuk kepada kamus Daring Merriam Webster, kata ‘soft-spoken’ artinya memiliki suara yang lembut atau halus, juga bersikap sopan dan menawan. 

 

Tampaknya, menjadi pribadi yang dapat berbicara dengan nada tenang dan lembut bukan sekadar gaya bicara, melainkan cerminan kepribadian diri yang damai dan penuh kendali. Sifat ini mengundang kagum karena mampu menyampaikan pesan tanpa harus meninggikan suara, namun tetap meninggalkan kesan mendalam bagi pendengarnya.

 

Dalam konteks komunikasi, relevansi soft-spoken terletak pada kemampuannya menjelaskan sesuatu, di mana kata-kata dipilih dengan hati-hati, intonasi dijaga lembut, dan emosi disalurkan secara bijaksana, sehingga mendorong dialog dan komunikasi yang efektif.

 

Dengan munculnya tren ini, penulis teringat pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang sering dikutip sebagai pengingat agar seseorang memberikan nasihat dengan bijak, bukan dengan kata-kata kasar, atau sikap yang sembarangan, melainkan melalui komunikasi yang efektif:

 

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ۝٤٤

 

fa qûlâ lahû qaulal layyinal la‘allahû yatadzakkaru au yakhsyâ

 

Artinya, “Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut,” (QS Thaha ayat 44).

 

Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat di atas memerintahkan kita untuk meninggalkan cara yang kasar dalam menyampaikan peringatan atau menasihati seseorang. “Sampaikanlah kepada Fir’aun dengan tutur kata yang halus, karena hal itu lebih memungkinkan baginya untuk merenungkan pesan yang kalian (Musa dan Harun) sampaikan, dan ia akan merasa takut akan azab Allah yang dijanjikan melalui lisan kalian.” (Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr, t.t.], jilid XVI, hlm. 215).

 

Selain itu, terdapat banyak riwayat yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok dengan karakter yang mampu mengendalikan diri dan emosinya. Beliau senantiasa menjaga ritme dalam berbicara, sehingga dalam istilah sekarang, beliau digambarkan sebagai sosok yang ‘soft-spoken’. Perhatikan penuturan ‘Aisyah berikut:

 

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يحدث حديثا لو عده العاد لأحصاه

 

Artinya, “Sesungguhnya Nabi SAW berbicara dengan perkataan yang jika seseorang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Al-Qasthalani Al-Qasthalani menambahkan bahwa kejelasan dan kefasihan ucapan Nabi memungkinkan pendengar untuk memahami setiap kata dengan mudah, “Karena Nabi sangat memperhatikan keteraturan dan penekanan dalam berbicara, sehingga jika seorang pendengar ingin menghitung kata-kata atau huruf-huruf yang beliau ucapkan, hal itu dapat dilakukan karena kejelasan dan kefasihan ucapannya,” (Irsyadus Sari, [Mesir, al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyah, 1323], jilid VI, hlm. 34).

 

Dengan demikian, karakter soft-spoken atau berbicara dengan lembut dan penuh ketenangan bukan sekadar soal mengatur intonasi suara. Lebih dari itu, pengendalian diri dan ketenangan jiwa lah yang menjadi faktor utamanya.

 

Sikap lembut dalam berbicara tidak hanya mencerminkan kepribadian yang tenang, tetapi juga mencerminkan akhlak yang dianjurkan dalam Islam. Kelembutan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan dalam mengendalikan emosi dan membangun komunikasi yang lebih efektif. Rasulullah sendiri sangat menekankan pentingnya bersikap lembut dalam bertutur kata dan berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh beliau kepada istrinya, ‘Aisyah:

 

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

 

Artinya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan. Dia memberikan (ganjaran) atas kelembutan sesuatu yang tidak diberikan atas kekerasan, serta sesuatu yang tidak diberikan atas selainnya.” (HR Muslim)

 

Abdul Haq ad-Dahlawi dalam Lam‘atut Tanqih fi Syarh Misykatil Mashabih menjelaskan bahwa hadis ini mengisyaratkan kelembutan dan kesantunan dalam berkomunikasi jauh lebih efektif dalam mencapai tujuan dibandingkan kekerasan atau nada tinggi yang memancing konfrontasi (Lam‘atut Tanqih, [Suriah, Darun Nawadir, 2014], jilid VIII, hal. 322).

 

Lebih dari itu, sikap lembut dalam berbicara dapat membantu seseorang menjaga martabat dan wibawanya di hadapan orang lain. Seperti yang tergambar dalam sosok Nabi SAW, beliau tidak hanya dikenal dengan kelembutan gaya bahasa, tetapi juga kemampuan dalam mengelola emosi dan menyampaikan pesan.

 

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa seseorang yang memiliki gaya bicara tegas dengan intonasi suara tinggi tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai pribadi yang kasar atau keras kepala. Hal ini sering kali hanya merupakan perbedaan gaya bahasa dan cara berkomunikasi.

 

Faktor budaya, termasuk suku dan etnis, juga turut memengaruhi intonasi seseorang dalam berbicara. Di beberapa daerah, karakter soft-spoken atau berbicara dengan lembut mungkin jarang ditemukan, karena masyarakat di wilayah tersebut secara umum terbiasa berbicara dengan intonasi yang lebih tinggi.

 

Walhasil, tidak ‘soft-spoken’ bukan berarti tidak memiliki karakter yang sopan dan santun, melainkan bagian dari kebiasaan komunikasi yang telah mengakar dalam budaya. Sehingga, yang terpenting dalam komunikasi lagi-lagi adalah: pesannya tersampaikan tanpa ada kesalahpahaman. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta