Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Mengurai Perdebatan Tradisi Imsak dan Makan Sahur saat Azan Subuh di Indonesia

Ahad, 24 Maret 2024 | 17:00 WIB

Kajian Hadits: Mengurai Perdebatan Tradisi Imsak dan Makan Sahur saat Azan Subuh di Indonesia

Ilustrasi kajian hadits tentang perdebatan tradisi imsak di Indonesia dan makan sahur saat azan subuh. (NU Online).

Tradisi imsak merupakan bagian penting dari budaya dan praktik keagamaan selama bulan Ramadhan di Indonesia. Imsak adalah waktu di mana umat Islam berhenti makan dan minum sebagai persiapan untuk memulai puasa sehari penuh. 

Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat tradisi khusus terkait imsak yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Misalnya, ada yang menggunakan alat tradisional seperti bedug (gendang besar) atau alat lainnya yang berfungsi memberi tahu waktu imsak kepada warga setempat, supaya mereka berhenti dari aktivitas makan dan minum.
 

Perdebatan Tahunan tentang Imsak

Sudah jamak di Indonesia pada setiap momen tertentu, khususnya hari-hari besar agama-agama, muncul perdebatan yang dapat disebut “Perdebatan Tahunan”, karena perdebatan tersebut diulang setiap tahunnya.
 

Pada bulan Ramadhan, selain jumlah rakaat tarawih, imsak pun menjadi bahan perdebatan yang terus diulang-ulang. Klaim sebagian orang bahwa tradisi imsak di Indonesia merupakan tindakan yang salah kaprah dan tidak bersumber kembali mencuat layaknya isu yang krusial.
 

Tradisi Imsak di Indonesia dalam Kajian Hadits

Lantas, apa benar imsak yang dipraktikkan di Indonesia tidak memiliki sumber secara tekstual ataupun kontekstual?
 

Apabila melihat teks hadits Nabi saw dalam Shahih Al-Bukhari:
 

عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا. فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا، قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى. قُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Qatadah, dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Setelah keduanya selesai makan sahur, beliau lalu bangkit melaksanakan shalat."
 

Kami [para sahabat] bertanya kepada Anas, "Berapa rentang waktu antara selesainya makan sahur hingga keduanya melaksanakan shalat?" Anas bin Malik menjawab, "Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.” (HR Al-Bukhari).

Jika kita mencermati teks hadits di atas, niscaya tidak menemukan sama sekali kata ‘imsak’. Hanya saja, ada keterangan implisit yang menggambarkan bahwa Nabi saw menyelesaikan makan sahur dan memberi durasi waktu antara selesainya makan sahur dan azan subuh sekira 50 ayat dibacakan.
 

 “Durasi 50 ayat Al-Quran” merupakan teknik menghitung durasi sebuah aktivitas sebelum munculnya jam.

Perhitungan seperti ini tentunya pilihan yang ada di masa tersebut, meskipun dinilai relatif tidak definitif. Sebab seseorang bisa saja membaca 50 ayat Al-Quran dalam jangka waktu 10 menit, boleh jadi ada pula yang membacanya dalam jangka waktu 15 menit (Musa Syahin Lasin, Fathul Mun’im syarh Shahih Muslim, [Beirut: Darusy Syuruq, 2002], jilid IV, halaman 527).
 

Kegiatan menahan diri sebagai persiapan menuju azan subuh yang dilakukan Nabi saw memang tidak memiliki istilah khusus. Akan tetapi secara substansial aktivitas tersebut sama dengan ‘imsak’. Dari penjelasan ini dapat digarisbawahi, bahwa ‘imsak’ di Indonesia merupakan istilah yang dipinjam dari bahasa Arab, namun berbeda dengan istilah fiqih pada umumnya.
 

‘Imsak’ dalam literatur fiqih merujuk pada pengertian puasa, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan badan, sengaja muntah dan lain sebagainya. (Al-Khathib As-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: 1415], jilid I, halaman 236).
 

Tradisi imsak yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia bahkan secara tekstual sudah mengikuti sunnah Rasulullah, hanya saja kata ‘imsak’ adalah istilah yang digunakan untuk mewakili aktivitas ini. Hadits di atas tidak hanya tentang mengakhirkan sahur tanpa adanya rasa kehati-hatian, sebagaimana penjelasan Imam Al-Ghazali:
 

تَأْخِير السّحُور مَعَ الِاسْتِظْهَار بِالْيَقِينِ وَقد كَانَ بَين تسحر رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَصَلَاة الصُّبْح قدر خمسين آيَة
 

Artinya, “(Kesunahan puasa kedua adalah) menunda sahur disertai mencari kejelasan secara meyakinkan (agar waktu makannya tidak melewati batas terbit fajar shadiq). Rasulullah saw makan sahur dengan memberi jarak sekitar 50 ayat antara selesainya makan sahur dan waktu shalat Subuh." (Imam Al-Ghazali, Al-Wasith fil Madzhab, [Kairo: Darus-Salam, 1418], jilid II, halaman 546).
 

Berlandaskan hadits di atas, tradisi imsak dengan menahan diri sebagai persiapan sekira 5, 10, atau 15 menit sebelum azan subuh berkumandang juga bagian dari sunnah Nabi saw.
 

Ibnu Hajar Al-‘Asqallani dalam Fathul Bari mempertegas hadits di atas menyatakan adanya jeda yang dilakukan Nabi saw antara selesainya makan sahur dengan azan subuh.

“Teks hadits tersebut merupakan sebuah kutipan yang membahas jeda waktu yang terjadi antara waktu sahur dan waktu shalat Subuh. Di sini, masalah yang dibahas adalah durasi antara akhir sahur dan awal salat Subuh.” (Ibnu Hajar Al-Asqallani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid IV, 138).
 

Jadi sangat jelas, ‘imsak’ memiliki landasan tekstual dalam hadits Nabi saw, hanya saja istilah yang digunakan warga Indonesia berbeda dengan istilah dalam fiqih. Selain itu hadits di atas juga menegaskan bahwa terbit fajar atau waktu subuh menandakan keharaman makan dan minum. Ibnu Hajar menjelaskan:
 

وَاسْتَدَلَّ الْمُصَنِّفُ بِهِ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الصُّبْحِ طُلُوعُ الْفَجْرِ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي يَحْرُمُ فِيهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالْمُدَّةُ الَّتِي بَيْنَ الْفَرَاغِ مِنَ السُّحُورِ وَالدُّخُولِ فِي الصَّلَاةِ وَهِيَ قِرَاءَةُ الْخَمْسِينَ آيَةً أَوْ نَحْوِهَا قَدْرُ ثُلُثِ خُمُسِ سَاعَةٍ وَلَعَلَّهَا مِقْدَارُ مَا يَتَوَضَّأُ 
 

Artinya, “Penulis menunjukkan bahwa waktu pertama fajar adalah saat fajar terbit karena itu adalah waktu di mana makan dan minum diharamkan. Sedangkan jeda antara selesainya sahur dan masuknya waktu shalat, yaitu durasi membaca lima puluh ayat atau sejenisnya sekitar sepertiga dari seperlima jam (4 menit), mungkin setara dengan waktu berwudhu.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], jilid II, halaman 55).
 

Tiba-tiba Azan saat Makan Sahur, Berhenti atau Lanjut?

Terdapat kesepakatan di antara ulama, bahwa wajib bagi orang yang berpuasa untuk menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Para ulama juga sepakat keharaman makan minum bagi orang yang mendengar azan Subuh pada waktu setempat, atau mengetahui waktu fajar telah masuk melalui jam jika tidak mendengar suara azan sama sekali.

Jika terdengar azan dan masih ada makanan atau minuman di mulut orang yang sedang sahur, mayoritas ulama menyatakan tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menelan makanan atau minuman tersebut, melainkan harus membuangnya. 

Jika dia menelan sesuatu setelah mendengar azan, maka puasanya batal tanpa perbedaan pendapat, dan dia harus menahan diri dari makanan dan minuman selama sisa hari itu. Dia juga wajib mengqadha puasanya. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' berkata:
 

فَرْعٌ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ فَلْيَلْفِظْهُ وَيُتِمَّ صَوْمُهُ فَإِنْ ابْتَلَعَهُ بَعْدَ عِلْمِهِ بِالْفَجْرِ بَطَلَ صَوْمُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ وَدَلِيلُهُ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
 

Artinya, “Cabang Masalah: Kami telah menyebutkan bahwa orang yang melihat fajar dan masih ada makanan di mulutnya, dia harus membuangnya keluar dari mulut dan melanjutkan puasanya. Jika dia menelannya setelah mengetahui fajar telah terbit, maka puasanya batal, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai ini. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah.​ (An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhaddzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad], juz VI, halaman 333).
 

​​​​​​Adapun hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah yang dimaksud oleh An-Nawawi, yaitu:
 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ 
 

Artinya, “Dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw mempunyai dua orang muadzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra. Maka Rasulullah saw pun bersabda: "Sesungguhnya Bilal itu azan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Lantas, bagaimana dengan hadits yang menyatakan jika azan berkumandang sementara seseorang masih dalam keadaaan sahur, maka dipersilakan melanjutkan makan dan minumnya. Apakah hadits tersebut bertentangan dengan hadits di atas? Atau saling melengkapi? Berikut teks haditsnya:
 

عَنْ أَبي هُريْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّداءَ والإِناءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضيَ حاجَتَهُ مِنْهُ
 

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, ‘Jika salahseorang kalian mendengar adzan sedang gelas berada ditangannya, maka janganlah meletakkan gelas tersebut sampai dia memenuhi hajatnya (meminumnya lebih dahulu)’.” (HR Abu Dawud).
 

Beberapa ulama memahami hadits di atas secara tekstual dan tidak membandingkannya dengan hadits ‘Aisyah dan ‘Umar, sehingga jika makan dan minum belum selesai walaupun azan berkumandang dipersilakan untuk menghabiskan terlebih dahulu. Apakah benar, pemahamannya demikian?

Ibnu Ruslan membahas perdebatan ulama perihal hadits ini secara terperinci dalam Syarhu Sunan Abi Dawud yang ditulisnya.Penjelasan serta diskusinya seperti ini:

  1. “Nida” atau panggilan shalat dalam konteks hadits di atas adalah azan Bilal, yang mana azan yang dikumandangkan olehnya merupakan azan pertama untuk membangunkan orang-orang, baik untuk shalat malam atau sahur. Azan subuh kala itu dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum, bukan oleh Bilal.
  2. Hadits di atas berlaku bagi orang-orang yang sedang berada dalam kondisi ragu-ragu, apakah muazin mengumandangkan azan pada waktunya atau tidak, sebab di masa Nabi ada dua azan yang boleh jadi sahabat yang sedang makan sahur ragu, apakah azan tersebut dikumandangkan oleh Bilal atau Ibnu Ummi Maktum.
  3. Dalam kondisi ragu apakah muazin sudah azan pada waktunya atau belum, sebagian ulama termasuk kawan-kawan dari Ibnu Ruslan berpendapat boleh melanjutkan makan sahur. Sementara Imam Al-Ghazali tidak membolehkan dalam artian ‘lebih baik meninggalkannya’, atau memakruhkannya. Tidak ada seorang pun ulama yang mengharamkannya kecuali Imam Malik, sebagaimana pendapat yang dituturkan oleh Ibnu Ruslan.
  4. Al-Adzra’i menegaskan, hadits di atas relevan bagi orang yang ragu, bukan orang yang sudah mengetahui kapan waktu azan subuh atau terbitnya fajar.

    Beliau Al-Adzra'i menjelaskan:

قال الأذرعي من أصحابنا: لو غلب على ظنه طلوع الفجر بأمارة صحيحة فالوجه الجزم بتحريم الأكل حينئذٍ، والآية والحديث يحمل على غير هذِه الحالة وإلا لزم أن يجوز له أن يصلي الفجر وأن يأكل ما دام شاكًّا! قال: ولا أحسب أحدًا يقول هذا، ويدل على الإباحة للشاك
 

Artinya, “Al-Azra'i dari kalangan kita berkata: Jika keyakinannya bahwa fajar telah terbit didukung oleh tanda-tanda yang valid, maka sudah pasti pada saat itu makan [sahur saat azan] adalah haram. [Sementara] ayat dan hadits yang menunjukkan keterangan sebagaiamana hadits ini relevan dalam kondisi tertentu.
 

Jika saja hadits ini berlaku umum, maka tentu seseorang diizinkan untuk shalat Subuh kemudian makan selama dia masih ragu! Al-Adzra’i berkata: ‘Saya pikir tidak seorangpun ulama yang berpendapat seperti ini, dan hadits ini menunjukkan kebolehan yang berlaku bagi yang ragu.” (Ibnu Ruslan, Syarhu Sunan Abi Dawud, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid X, halaman 343).
 

Apabila kita menyinkronkan kembali penjelasan konteks hadits di atas di masa sekarang, yang mana orang-orang memiliki perangkat elektronik seperti handphone yang kemungkinan sudah terpasang aplikasi yang memberikan informasi waktu shalat, lalu televisi atau radio yang memberikan keterangan waktu imsak atau shubuh, ditambah tidak adanya praktik azan pertama serta azan kedua pada waktu subuh sebagaimana di masa Nabi hidup, maka tidak sewajarnya kita bingung dan mewanti-wanti kapan datangnya waktu azan sementara sumber yang memberikan informasi azan subuh tiba sudah banyak di sekitar kita.
 

Demikianlah penjelasan mengenai tradisi ‘imsak’ dan hadits soal meneruskan makan minum walaupun sudah azan. Dari penjelasan di atas, penting sekali kita memahami bahwa dalam memahami hadits perlu keutuhan dan kejelian dalam membandingkan riwayat, sehingga pemahaman kita terhadap ajaran Islam tidak parsial. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta