Ilmu Hadits

Klasifikasi Perbuatan Nabi Muhammad SAW, Antara Sunnah dan Bukan Sunnah

Sen, 29 Juni 2020 | 09:00 WIB

Klasifikasi Perbuatan Nabi Muhammad SAW, Antara Sunnah dan Bukan Sunnah

(Ilustrasi: muis.org. my)

Banyak orang beranggapan bahwa semua sunnah Nabi SAW harus diikuti dan diamalkan. Tidak mengikuti sunnah dipandang bagian dari pengabaian sunnah, antisunnah, atau inkârus sunnah (mengingkari sunnah). Contohnya memanjangkan jenggot, memakai gamis dan makan atau minum dengan tangan kanan. Betulkah demikian? Ilmu ushul fiqih memberikan jawaban, sunnah adalah semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau (taqrîr).


Adapun hadits adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW, mencakup pula sifat-sifat beliau. Sunnah atau hadits versi ahli ushul fiqih, ditinjau dari segi penunjukannya terhadap hukum, terbagi dalam dua bagian besar, yaitu sunnah tasyrî‘iyyah dan sunnah ghayru tasyrî‘iyyah.


Sunnah tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berdaya hukum yang mengikat (legal binding) untuk diikuti. Sementara sunnah ghairu tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang tidak berdaya hukum, yakni sunnah yang tidak harus diikuti dan karenanya tidak mengikat.


Penjabarannya menjadi urgen (penting) dipahami. Sunnah tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berasal dari Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan beliau sebagai wujud penyampaian titah Tuhan/risalah (wajhut tablîgh, tablîghur risâlah), dengan sifat atau kedudukannya:

 

(1) sebagai  seorang rasul yang wajib diikuti dan harus diamalkan ketentuan-ketentuan hukumnya (imtitsâlan), misalnya menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya; perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukannya; dan penjelasan perintah ibadah (seperti shalat, zakat dan haji); pengaturan transaksi (muamalat);

 

(2) sebagai imam atau pemimpin umat Islam, seperti menggunakan baitul māl (kas negara), mengikat perjanjian dan perbuatan lainnya; dan

 

(3) sebagai hakim yang memutuskan hukum di antara manusia.


Tipe pertama merupakan ketentuan yang bersifat permanen dan berlaku umum untuk semua orang mukallaf (baligh dan berakal sehat), yang dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan terhadap sunnah itu.


Tipe kedua tidak berlaku umum untuk semua orang, dan dalam pelaksanaannya tergantung pada persetujuan atau izin imam/pemimpin.


Tipe ketiga tidak bersifat umum dan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan oleh perseorangan dengan ada mandat (penunjukan) dari imam/pemimpin. Sunnah tasyrî‘iyyah ini dapat juga disebut sunnah wahyu.


Adapun sunnah ghayru tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berasal dari Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuannya, bukan sebagai wujud penyampaian titah Tuhan (ghayru wahjut tablîgh). Sunnah dalam tipe ini terdiri atas dua macam. Pertama, sunnah yang bersumber pada tabiat/tradisi dan kebutuhan kemanusiaan, seperti tata cara makan dan minum, makan menggunakan jari-jari dan tangan kanan, tata cara berpakaian (seperti memakai gamis dan serban), dan cara berjalan.


Kedua, sunnah yang bersumber dari pengalaman dan eksperimen dalam kehidupan dan pertimbangan individual terhadap konteks tertentu (tanpa terkait intervensi wahyu atau kenabian dan risalah), seperti urusan dagang, pertanian, dan cara memelihara ternak.


Ketiga, sunnah menurut estimasi (perkiraan) atau kebijaksanaan individual nabi terhadap konteks situasi dan kondisi tertentu, seperti strategi perang dan penempatan pasukan.


Sunnah ghayru tasyri‘iyyah dapat juga disebut sunnah nonwahyu, tidak mempunyai kekuatan atau daya hukum mengikat yang memuat tuntutan atau larangan, sehingga kita dapat mengikutinya tetapi sifatnya tidak mengikat (tidak wajib/tidak harus). (Ad-Dahlâwî, Hujjatullâhil Bâlighah, halaman 223-224), dan (Abdul Wahhâb Khallâf, ‘Ilmu Ushûlil Fiqh, halaman 43-44).


Mengenai perbuatan Nabi SAW, Syekh Abû Syaibah atau Syihâbuddîn Abî Muhammad ‘Abdurrahmân bin Ismâ‘îl Al-Muqaddasî Asy-Syâfi‘î (wafat 665 H), dalam Kitab Al-Muhaqqaq min ‘Ilmil Ushûl fi Mâ Yata‘allaqu bi Af‘âlir Rasûl Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, (Aman, Mu’assasah Qurthûbah: 1990 M), halaman 41, dan Al-Âmidi (wafat 631 H) dalam Al-Ihkâm fî Ushûlil Ahkâm (Beirut, Dârul Fikr: 1996 M), juz I, halaman 121-130.


Abû Syaibah menjelaskan klasifikasi (pembagian) perbuatan Nabi Muhammad SAW, secara terperinci menjadi tujuh macam. Pertama, perbuatan Nabi SAW yang sampai kepada kita, sejak pertama kalinya, merupakan bentuk melaksanakan perintah Allah SWT atas beliau dan kita (imtitsâl), yaitu perbuatan yang ada dalilnya mengenai persamaan hukum di antara kita dan beliau, seperti bersyahadat dan menunaikan rukun-rukun Islam, seperti shalat dan zakat. 


Kedua, perbuatan beliau yang terjadi secara alami, sesuai hukum kebiasaan kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, tidur, naik kendaraan, dan bepergian. Terkait jenis perbuatan ini, beliau dan umatnya memiliki kedudukan yang sama. Contohnya, Nabi SAW senang makanan yang manis, dingin, minuman manis dan madu, termasuk cara berpakaian, cara makan dan minum, dan cara berjalan, serta mengenai kepribadiannya, yang tidak tampak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (qurbah).


Ketiga, perbuatan yang berasal dari Nabi SAW, dan merupakan kekhususan baginya, seperti boleh nikah lebih dari empat istri, kewajiban qiyamul lail, dan boleh menyambung puasa.


Keempat, perbuatan yang dilakukan sebagai penjelas hukum (bayân) terhadap ketentuan hukum yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an, seperti tentang tata cara ibadah.


Kelima, perbuatan Nabi SAW yang sejak awal bukan untuk bayân, bukan pula melaksanakan perintah, tidak pula kekhususan baginya, bukan pula kebiasaan kemanusiaannya, tetapi diketahui sifat perbuatan itu wajib atasnya seperti qiyamul lail dan shalat dhuha, atau sunah seperti shalat Id, atau qadhâ’ seperti dua rakaat ba’da shalat ashar, dan sebagainya, yang merupakan sifat-sifat perbuatan yang diperintahkan karena Syâri‘ (Allah SWT).


Keenam, perbuatan yang tidak diketahui sifatnya, tetapi mutlak dihubungkan kepada kita yang tampak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (qurbah), hukumnya sunnah muakkad (lebih baik) diikuti, seperti mengangkat tangan dalam shalat ketika takbiratul ihram, rukuk, bangun dari rukuk dan dari rakaat kedua.


Ketujuh, perbuatan yang tidak tampak dimaksudkan untuk qurbah, tetapi sebaiknya diikuti (sunnah), seperti meletakkan jari-jari tangan kanan saat tasyahhud.


Implikasi klasifikasi sunnah tasyrî‘yyah dan sunnah ghayru tasyrî‘iyyah tersebut menunjukkan bahwa tidak semua sunnah atau perbuatan Nabi SAW bermakna tasyrî‘ (ketentuan berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti).


Jadi, memelihara atau memanjangkan jenggot, memakai gamis, memakai serban, makan menggunakan jari-jari tangan, serta makan dan minum dengan tangan kanan, merupakan sunnah ghayru tasyrî‘iyyah sehingga tidak wajib diikuti, yakni boleh diikuti juga boleh tidak diikuti. Orang yang tidak mengikuti sunnah dalam kategori ini tidak berarti mengingkari atau mengabaikan sunnah.

 


Ustadz Ahmad Ali MD, anggota Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.