Ilmu Hadits

Minimnya Ahli Hadits: Realitas dan Akibatnya

Sel, 26 September 2023 | 16:00 WIB

Minimnya Ahli Hadits: Realitas dan Akibatnya

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Seiring pernyataan KH Miftachul Akhyar yang mendorong generasi muda untuk belajar Ilmu Hadits disebabkan minimnya ahli hadits, tampak realita menjelaskan kepada kita bahwa peminat Ilmu Hadits kian sedikit, dibanding peminat cabang keilmuan lainnya.


Hal ini tentunya dipicu oleh faktor yang kompleks. Bukan hanya dari faktor internal ilmu hadits itu sendiri, akan tetapi faktor-faktor lainnya seperti kurangnya perhatian pada studi teks, studi riwayat, fasilitas berupa bidang-bidang pekerjaan yang dibutuhkan negara maupun swasta, sumber daya manusia dan upaya untuk merelevansikan dengan studi-studi terkini. Kendati pada hakikatnya hadits dan ilmu hadits akan selalu relevan hingga akhir zaman.


Padahal, mempelajari hadits dan ilmu hadits memiliki banyak keutamaan dari banyak sudut pandang. Misalnya adalah pernyataan Ibnu Shalah dalam Muqaddimah-nya:


وإن علم الحديث من أفضل العلوم الفاضلة، وأنفع الفنون النافعة، يحبه ذكور الرجال وفحولتهم، ويُعنى به محققو العلماء وكملتهم، ولا يكرهه من الناس إلا رُذالتهم وسفلتهم. وهو من أكثر العلوم تولجاً في فنونها، لا سيما الفقه الذي هو إنسان عيونها. ولذلك كثر غلط العاطلين منه من مصنفي الفقهاء، وظهر الخلل في كلام المخلين به من العلماء .

Artinya: “Sesungguhnya ilmu hadits di antara keilmuan lainnya merupakan ilmu yang paling utama dan paling bermanfaat. Ia disukai banyak orang dan diminati para ulama yang pakar dan istimewa. Tidak ada yang tidak menyukai ilmu hadits kecuali orang-orang yang rendahan dan bodoh. Ilmu hadits adalah ilmu yang paling dominan [pengaruhnya] dalam setiap bidang keilmuan, terlebih lagi fiqih, yang mana manusia merupakan fokusnya. Oleh sebab itu banyak di antara fuqaha penulis yang keliru sebab meremehkan ilmu ini, dan kecacatan tampak pada ulama yang mengingkarinya.” (Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah, [Maktabah al-Farabi, cet. pertama, 1984], hal. 3).


Penjelasan Ibnu Shalah di atas selaras dengan realita yang ada bahwa hadits dan ilmu hadits masuk ke dalam banyak cabang keilmuan, sehingga apabila kita menganggapnya remeh, maka boleh jadi sewaktu-waktu ada pemahaman kita akan salah terhadap suatu kasus dalam cabang keilmuan karena kita tidak memahami hadits dan ilmu hadits.


Terkait dengan ahli hadits yang kian hari kian sedikit bukanlah sebuah fakta baru, akan tetapi hal tersebut bahkan sudah pernah dinyatakan oleh Ibnu Shalah ketika menjelaskan keutamaan hadits:


ولقد كان شأن الحديث فيما مضى عظيماً، عظيمة جموع طلبته، رفيعة مقادير حفاظه وحملته. وكانت علومه بحياتهم حية، وأفنان فنونه ببقائهم غضة، ومغانيه بأهله آهلة فلم يزالوا في انقراض. ولم يزل في اندراس، حتى آضت به الحال إلى أن صار أهله إنما هم شرذمة قليلة العدد، ضعيفة العُدد.


Artinya: “Urgensi hadits di masa lalu sangat besar, demikian pula banyaknya pelajar yang mencarinya dan tingginya standar pelestarian dan dukungan terhadap hadits. Ilmu-ilmu hadits dan cabang-cabangnya hidup pada kehidupan orang yang mempelajari dan melestarikannya, lantunan-lantunan hadits menetap pada ahlinya sementara mereka kian punah dan mengalami kemunduran, hingga situasi tersebut mengarah pada fakta bahwa ahli hadits merupakan golongan minoritas nan lemah pengaderannya.” (Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah, hal. 3).


Makin minimnya para ahli hadits memang nyata apabila kita melihatnya dengan menggunakan standar seorang ‘ahli dalam hadits’ dengan standar para ahli hadits, maka niscaya di dunia ini dapat dihitung jari jumlahnya. 


Kendati demikian, para pembelajar hadits hingga hari ini masih eksis, baik di tingkat pesantren hingga tingkat kampus baik nasional maupun internasional. Kiranya, dengan masih adanya eksistensi pembelajaran hadits di berbagai instansi pendidikan, akan menciptakan orang-orang yang ahli dalam bidang hadits dan ilmu hadits.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences