Tematik Hadits, Metode Efektif untuk Memahami Hadits Nabi
NU Online ยท Senin, 25 September 2023 | 16:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Hadits tematik merupakan istilah yang sering kita temukan dalam kajian hadits, terutama dalam kajian-kajian hadits yang digelar di masjid-masjid di Indonesia. Penggunaan metode tematik untuk menjelaskan hadits di tengah masyarakat merupakan suatu cara yang efektif untuk mencapai pemahaman makna hadits yang holistik dan komprehensif. Sehingga masyarakat tidak memahami hadits tidak secara parsial saja.
Dalam bahasa Arab, hadits tematik disebut dengan al-hadศts al-maudhศโศ (ุงูุญุฏูุซ ุงูู
ูุถูุนู). Kata maudhuโi sendiri berasal dari kata wadhaโa (ูุถุน) yang bermakna kata antonim dari mengangkat, dan juga dapat dimaknai โmeletakkan ke bawahโ, hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Muโjam al-Wasศth. (Ibrahim Mushtafa, dkk, al-Muโjam al-Wasศth, [Kairo: Dar al-Daโwah], juz 2, h. 1039).
Kemudian, al-maudhศโ sendiri adalah bentuk isim mafโul dari kata wadhaโa yang artinya adalah sesuatu bahan di mana pembicara atau penulis membangun pidatonya dari bahan tersebut, hal ini dalam bahasa Indonesia sering disebut topik atau ruang lingkup pembahasan. (Ibrahim Mushtafa, dkk., al-Muโjam al-Wasศth, juz 2, h. 1040)
Sedangkan secara istilah, menurut al-Farmawi yang dikutip oleh Maijudin dalam bukunya โHow to Understanding the Haditsโ, metode tematik hadits adalah mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan topik tertentu, kemudian asbศb al-wurud dan haditsnya disebutkan dan disusun sesuai topik tersebut. Metode ini memahami makna dan menangkap maksud di dalam hadits dengan mempelajari hadits-hadits lain yang masih satu tema dengan hadits tersebut. (Maulana Ira, Studi Hadits Tematik, Al-Bukhari: Jurnal Ilmu Hadits, h. 191).
Baca Juga
Kitab-Kitab Populer dalam Ilmu Hadits
Dari pemahaman al-Farmawi di atas, jelas sekali bahwa metode tematik hadits adalah suatu proses untuk memahami hadits secara komprehensif dari matan hadits hingga sabab wurud yang melatarbelakangi adanya sabda Nabi. Dari kajian hadits semacam ini maka akan menciptakan kesatuan pemahaman yang non-parsial.
Terkait metode hadits maudhuโi, Kiai Ali Mustafa Yaqub menyebutkan dalam bukunya, al-Thuruq al-Shahihah fศ Fahm al-Sunnah al-Nabawiyah, bahwa hadits Nabi dengan lafaznya yang berbeda-beda merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena Nabi terkadang menyebutkan suatu hadits kepada satu sahabat, yang mana sabda tersebut tidak disebutkan kepada sahabat yang lain.
ย
Letak persoalan utama mengapa Nabi tidak mengatakan hal yang sama kepada setiap sahabat, karena Nabi menyabdakan satu hal yang mengandung maslahat terhadap kebutuhan sebagian sahabat, yang mana hal tersebut tidak dialami oleh sahabat lainnya. Sebab, tiap-tiap sahabat memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda-beda. (Kiai Ali Mustafa Yaqub, al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyah, [Ciputat: Maktabah darus-Sunnah], h. 117).
Selanjutnya, terkait urgensi memahami hadits melalui metode tematik, Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan, โHadits apabila tidak dihimpun dari seluruh jalurnya, maka tidak dapat dipahamiโ. Senada dengan hal tersebut, Imam al-Qศdhi โIyศdh menyebutkan, โHadits menghukumi satu sama lain, dan satu hadits menjelaskan musykilah yang ada dalam hadits lainnya.โย
Begitu pun Imam Ibn Hajar al-โAsqallศnศ, โSebagian perawi hadits ada yang meringkas hadits. Oleh karenanya, setiap orang yang berbicara tentang hadits maka hendaklah baginya untuk mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya (sanad) kemudian mengumpulkan lafaz-lafaz matannya, jika sanad-sanad hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, maka ia kemudian menjelaskannya bahwa itu sebenarnya adalah satu hadits yang sama. Karena pada dasarnya yang lebih berhak untuk menjelaskan maksud sebuah hadits adalah hadits itu sendiriโ. (Kiai Ali Mustafa Yaqub, al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyah, h. 118).
Beberapa pernyataan dari ulama di atas merupakan latar belakang dari landasan teori dan metode pengkajian hadits secara tematik. Beberapa manfaat dapat kita telusuri dari penggunaan metode tematik dalam kajian hadits, yaitu pertama perolehan pemahaman yang komprehensif dari suatu hadits, kedua mengetahui status hukum makna hadits yang dikaji secara keseluruhan.
Langkah-langkah Studi Hadits Tematik
Langkah-langkah pengkajian hadits dengan metode tematik ini antara lain dapat dilakukan dengan menentukan tema atau masalah yang akan dibahas, menghimpun atau mengumpulkan hadits-hadits yang terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara makna melalui kegiatan takhrij al-hadits, mengkategorisasi kandungan hadits, melakukan penelitian sanad, melakukan penelitian matan, membandingkan berbagai syarah hadits, melengkapi pembahasan dengan hadits atau ayat pendukung, memaparkan dan menarik kesimpulan.ย
Contoh Hadits Tematik
Berikut adalah bagaimana langkah-langkah di atas dipergunakan untuk memahami hadits secara tematik. Tema yang menjadi contoh adalah hadits tentang isbal, atau memakai pakaian melebihi batas mata kaki. Pemahaman tentang isbal tentu akan menjadi parsial dan tidak utuh apabila hanya berpatokan pada hadits yang melarang saja, tanpa memerhatikan keseluruhan hadits yang setema dengannya.
Adapun hadits-hadits tentang isbal, yang pertama adalah riwayat Abu Hurairah ra:
ู
ุง ุฃุณูููู ู
ูู ุงูููุนุจููู ู
ูู ุงูุฅุฒุงุฑูุ ููู ุงููููุงุฑู
Artinya, โKain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka.โ (HR. Bukhari).
Hadits yang kedua adalah riwayat Abu Dzar al-Ghifari ra:
ุซูุงุซุฉู ูุง ูููููููู
ููู
ุงูููู ููู
ู ุงูููุงู
ุฉู ููุง ูููุธูุฑู ุฅูููู
ููุง ููุฒููููููู
ูููู
ุนุฐุงุจู ุฃููู
ูุ ูุงู: ููุฑุฃูุง ุฑุณููู ุงููู ุตูููู ุงูููู ุนููู ูุณูููู
ุซูุงุซู ู
ูุฑููุงุชู. ูุงู ุฃุจู ุฐูุฑูู: ุฎุงุจูุง ูุฎูุณูุฑูุงุ ู
ู ูู
ูุง ุฑุณููู ุงููููุ ูุงู: ุงูู
ูุณุจูููุ ูุงูู
ููููุงููุ ูุงูู
ูููููููู ุณููุนูุชูู ุจุงูุญููููู ุงููุงุฐูุจู
Artinya, โAda tiga macam manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu.โ (HR. Muslim).
Kemudian hadits ketiga adalah riwayat โAbdullah bin โUmar
ุนููู ุงุจููู ุนูู
ูุฑู ุฑูุถููู ุงูููููู ุนูููููู
ูุง ุฃูููู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ููุงูู: ููุง ููููุธูุฑู ุงูููููู ุฅูููู ู
ููู ุฌูุฑูู ุซูููุจููู ุฎูููููุงุกู.
Artinya, โDari โAbdullah bin โUmar ra bahwa Rasulullah shallallahu โalaihi wasallam bersabda, โAllah tidak memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.โ (Muttafaq โalaih)
Latar belakang Rasulullah sawย mengucapkan hadits di atas salah satunya adalah suatu hari Rasulullah bersama Abu Umamah dihampiri oleh โAmru bin Zararah al-Anshari. โAmru bin Zararah ketika itu memakan sarung dan mantel yang menjulur ke bawah melewati mata kakinya. Kemudian Rasulullah pun memegang ujung pakaian โAmruย danย โAmru pun menjelaskan bahwa dirinya memiliki betis yang kurus. Nabi menjelaskan kepada bahwa sungguh Allah telah memperindah ciptaannya dan Allah tidak menyukai orang yang isbal.
Selanjutnya, apabila kita melihat hadits terakhir, ada โillat atau sebab yang menjadikan praktik isbal itu dilarang dan menyebabkan seseorang masuk neraka, yaitu adalah sifat sombong atau khuyala. Hal ini sebagaimana pengalaman Abu Bakar ra sendiri yang mengonfirmasi kondisinya yang pakaiannya menjulur, kemudian Nabi menyangkal bahwa dirinya bukan termasuk orang yang sombong.ย
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya:
ุนูู ุงููููุจูููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู
ู ููุงูู ู
ููู ุฌูุฑูู ุซูููุจููู ุฎูููููุงุกู ููู
ู ููููุธูุฑู ุงูููููู ุฅููููููู ููููู
ู ุงููููููุงู
ูุฉู ููุงูู ุฃูุจูู ุจูููุฑู ููุง ุฑูุณูููู ุงูููููู ุฅูููู ุฃูุญูุฏู ุดูููููู ุฅูุฒูุงุฑูู ููุณูุชูุฑูุฎูู ุฅููููุง ุฃููู ุฃูุชูุนูุงููุฏู ุฐููููู ู
ููููู ููููุงูู ุงููููุจูููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู
ู ููุณูุชู ู
ูู
ูููู ููุตูููุนููู ุฎูููููุงุกู
Artinya, โDari Nabi Saw., beliau bersabda: โSiapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat kelak.โ Lalu Abu Bakar berkata, โWahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?โ Kemudian Nabi Saw. bersabda, โEngkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombongโ.โ (HR al-Bukhari).
Dengan menyimpulkan pemahaman terkait kasus isbal dengan merujuk kepada seluruh hadits-hadits tentang isbal, kita mengetahui bahwasanya isbal dilarang jika disertai kesombongan. Kesombongan merupakan โillat utama dilarangnya isbal pada hadits-hadits tersebut. Tentunya, dengan mengetahui bahwa โillat ketidakbolehan dalam berpakaian adalah kesombongan, maka apa pun pakaiannya, apabila dipakai dengan kesombongan maka tidak dibolehkan. Wallahu aโlam
Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
6
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
Terkini
Lihat Semua