Ilmu Tauhid

Menjaga Kalimat Tauhid namun Abaikan Intinya, Ini Pesan Imam Al-Ghazali

Sen, 12 Desember 2022 | 08:00 WIB

Menjaga Kalimat Tauhid namun Abaikan Intinya, Ini Pesan Imam Al-Ghazali

Menjaga Kalimat Tauhid namun Abaikan Intinya, Ini Pesan Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali mengingatkan kita untuk menjaga kalimat tauhid yang sangat mulia, lā ilāha illallāh, tiada tuhan selain Allah. Imam Al-Ghazali juga mengingatkan kita untuk memperhatikan substansi pesan dari kalimat tauhid tersebut.


Menurutnya, tauhid merupakan substansi yang sangat penting dan berharga. Oleh karena itu, substansi tauhid mesti diperhatikan betul oleh mereka yang mengucapkan tahlil, lā ilāha illallāh, sebagai kalimat tauhid.


Imam Al-Ghazali menyayangkan banyak orang lebih memperhatikan kulitnya sebagai permukaan tauhid daripada inti atau substansi tauhid itu sendiri.


والتوحيد جوهر نفيس وله قشران أحدهما أبعد عن اللب من الآخر فخصص الناس الاسم بالقشر وبصنعة الحراسة للقشر وأهملوا اللب بالكلية


Artinya: “Tauhid merupakan mutiara berharga. Ia memiliki dua kulit permukaan, salah satunya dibanding yang lain lebih jauh dari inti mutiara tersebut. Banyak orang mengistimewakan sebutan kulit permukaan tersebut dan aktivitas menjaga kulit permukaan itu serta mengabaikan mutiara tauhid sebagai intinya secara keseluruhan,” (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 49).


Imam Al-Ghazali kemudian menjelaskan rinci dua kulit permukaan dan inti tauhid. Kulit pertama, ucapan secara lisan kalimat tauhid, lā ilāha illallāh. Ucapan tauhid ini mengandung tauhid penolakan tatslits yang diungkapkan kaum nashara.


Kulit pertama ini memiliki potensi masalah. Kulit permukaan ini paling jauh dari substansi tauhid. Kenapa? Kalimat tauhid juga diucapkan oleh kaum munafik, yaitu jenis orang kafir yang ucapannya bertolak belakang dengan keyakinan hatinya.


Kulit kedua, sebuah keyakinan yang tidak mengandung keraguan, penentangan, dan pengingkaran terhadap substansi pesan pada kalimat tauhid, lā ilāha illallāh. Keyakinan dan pembenaran atas keesaan Allah sebagai pesan kalimat tauhid ini akidah masyarakat awam dan kaum teolog yang menjaga kemurnian tauhid dari potensi heterodoks.


والثالث وهو اللباب أن يرى الأمور كلها من الله تعالى رؤية تقطع التفاته عن الوسائط وأن يعبده عبادة يفرده بها فلا يعبد غيره


Artinya: “Ketiga adalah inti atau substansi tauhid, yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sebuah keyakinan yang mengalihkan pandangan dari sebab; dan penyembahan kepada Allah dengan keesaan ibadah tanpa menyembah yang lain,” (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 50).


Menurut Imam Al-Ghazali, semua bentuk dan jenis apapun yang dipertuhankan tidak termasuk ke dalam inti tauhid yang ketiga. Imam Al-Ghazali mengutip Surat Al-Jatsiyah ayat 23 dan hadits riwayat At-Thabarani.


أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ


Artinya: “Apakah kau tidak memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya?” (Surat Al-Jatsiyah ayat 23).


وقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَمَّ أَبْغَضُ إِلهٍ عُبِدَ فِي الأَرْضِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى هُوَ الهَوَى


Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Tuhan sesembahan di bumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu,’” (HR At-Thabarani).


Demikian keterangan Imam Al-Ghazali seputar tauhid baik kulit lapisan permukaan maupun inti atau substansi tauhid. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)