Ilmu Tauhid

Dalil-dalil bahwa Kalam Tak Selalu Berupa Suara

Rab, 7 Agustus 2019 | 08:00 WIB

Di antara aqidah Ahlussunnah wal  Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) adalah meyakini bahwa sifat kalamullah atau firman Allah tidaklah berupa suara dan huruf, meskipun kemudian ditransmisikan antarmakhluk dengan perantara suara dan huruf. Aqidah ini dikritik oleh sebagian kalangan yang menganggap bahwa yang namanya kalam atau perkataan pastilah dengan suara dan huruf. Kalau tak berupa suara dan huruf, maka menurut mereka berarti bukan kalam. Kritik ini telah dibahas dan dijawab dengan dalil rasional dalam bahasan sebelumnya.

Pada artikel ini penulis akan menukil dalil-dalil naqlî yang dipakai oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang membuktikan bahwa kalam tak selalu harus berupa suara dan huruf. Dan, ini sebenarnya terjadi sehari-hari dan disinggung dalam Al-Qur’an sehingga keberadaan kalam tanpa suara ini tak perlu diherankan. 

Berikut ini adalah dalil-dalilnya yang disarikan dari kitab al-Inshâf karya Imam al-Baqillani. Allah berfirman:

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ 

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. al-Munafiqun: 1)

Orang-orang munafik dianggap berdusta di ayat tersebut sebab perkataan di mulut mereka tak sama dengan perkataan di dalam hati mereka yang tanpa menggunakan suara dan huruf. Ini menjadi bukti bahwa perkataan manusia pun ada yang tidak memakai suara dan huruf, yakni suara hati mereka. Adanya perkataan dalam hati yang tanpa suara dan huruf ini ditegaskan dalam berbagai ayat lain di Al-Qur’an, misalnya:

وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ 

“Dan mereka mengatakan dalam diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?” (QS. al-Mujadilah: 8).

وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى 

“Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi” (QS. Thaha: 7).

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ  

“Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 235).

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ 

“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan” (QS. an-Nahl: 106).

Seluruh ayat di atas mengisyaratkan adanya perkataan dalam hati atau dalam benak manusia yang diketahui dan dinilai oleh Allah sebagaimana perkataan di mulut. Bahkan perkataan dalam hati itulah yang menjadi patokan utama sehingga orang yang berkata baik di mulut saja dianggap munafik bila hatinya berkata lain. Sebaliknya, orang yang dipaksa mengatakan kekufuran tetap dianggap beriman bila hatinya tidak ikut mengatakan hal yang sama tetapi tetap pada keimanan. Ini menjadi bukti bahwa secara syariat, perkataan dalam hati adalah perkataan yang hakikat sedangkan suara di mulut hanyalah sekedar sarana agar orang lain paham terhadap apa yang di dalam hati itu. Para teolog Aswaja menyebut perkataan dalam hati ini dengan istilah kâlâm nafsî, hadîts nafsî, kâlâm nafsâni, dan yang semakna dengan itu.

Dalam hadits juga bisa ditemui dalil serupa, misalnya Sabda Rasulullah ﷺ:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قَلْبِهِ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya tetapi iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslim dan jangan menyelidiki aib mereka.” (HR. Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman)

Hadits tersebut menegaskan bahwa perkataan berupa suara dan perkataan dalam hati adalah dua hal yang berbeda dan sama-sama nyata meski pun yang satu tanpa suara. Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalan adalah taubat” (HR. Ahmad)

Penyesalan yang tak lain berupa pernyataan-pernyataan kekecewaan dalam diri terhadap maksiat yang telah dilakukan dianggap sebagai taubat oleh Nabi Muhammad ﷺ meskipun pernyataan penyesalan tidak berupa suara dan huruf.

Demikian juga dari atsar sahabat didapati pernyataan Sayyidina Umar yang berkata: هيأت في نفسي كلاما (aku mempersiapkan kalam/perkataan dalam hatiku) (Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, vol. XIII, hal. 458). Sayyidina Umar menyebut ucapan dalam hatinya sebagai kalam, meskipun tanpa suara dan huruf. 

Adanya ucapan hati (kâlâm nafsî ) yang tak berupa suara dan huruf ini tidak hanya berlaku bagi manusia sebagaimana ayat dan hadits di atas, bahkan pada Allah pun dinyatakan ada yang semacam ini meskipun tentu berbeda secara hakikatnya sebab manusia adalah jisim sedangkan Allah bukan. Dalam sebuah hadits di sebutkan:

فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي

“Bila hambaku menyebutku dalam hatinya maka aku akan menyebutnya dalam diriku” (HR Bukhari).

Dari kesemua dalil di atas dapat disimpulkan bahwa bila kalam manusia saja tak selalu berupa suara dan huruf, maka tak ada satu pun alasan untuk mengatakan bahwa kalamullah pasti berupa suara dan huruf. Anggapan bahwa kalamullah pasti berupa suara dan huruf hanya timbul dari pikiran yang menyamakan mekanisme kalam Allah dengan kalam manusia sehari-hari tatkala mengobrol satu sama lain. Ini pemikiran yang menyimpang.

Perbedaannya dalam kasus manusia dan Allah adalah pembicaraan manusia dalam hatinya tak bisa ditangkap dan dipahami oleh manusia lain sehingga orangnya dianggap diam membisu bila hanya berbicara dalam hati. Sedangkan kalam Allah yang tanpa suara itu bisa ditangkap dan dipahami dengan baik oleh siapa pun yang Allah kehendaki sehingga tak bisa dikatakan bahwa Allah membisu tak berkalam. Dari sisi lain, ucapan orang bahkan yang hanya terucap di dalam hatinya sekali pun diketahui dengan jelas oleh Allah seperti dinyatakan dalam banyak ayat. Dengan demikian bisa terjadi komunikasi antara Allah dan para utusan yang dikehendaki-Nya. Wallahu a'lam.
 
 
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.