Ilmu Tauhid

Dukungan Ibnu Taimiyah terhadap Aqidah Asy'ariyah

Rab, 26 September 2018 | 12:30 WIB

Dukungan Ibnu Taimiyah terhadap Aqidah Asy'ariyah

Ilustrasi (wikiwand.com)

Syekh Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang kontroversial. Sebagian orang ada yang menganggapnya sebagai imam terbesar—yang meski secara teori bisa salah sebagaimana manusia biasa tapi secara praktik dianggap hampir tak pernah salah sehingga pendapatnya selalu menjadi patokan kebenaran untuk menilai pendapat ulama lainnya. Sebagian lagi menganggapnya fasiq dan bodoh dan bahkan sebagian lagi ada yang tak segan mengafirkannya karena berbagai alasan. Tampaknya benar orang yang berkata bahwa tak ada satu tokoh Islam yang polarisasi pendapat tentangnya setajam Ibnu Taimiyah.
 
Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia bermazhab Syafi'iyah, namun berbagai pendapat Ibnu Taimiyah tersebar luas di Indonesia berkat kegigihan orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Salafi. Dalam tulisan-tulisan pendaku Salafi, biasanya ditulis banyak sekali kritik Ibnu Taimiyah terhadap Asy'ariyah. Dalam artikel ini, penulis ingin menyajikan beberapa pernyataan Ibnu Taimiyah tentang Asy’ariyah yang barangkali asing dan aneh bagi banyak orang sebab malah berisi dukungan terhadap mereka. Pernyataan-pernyataan berikut ini menampakkan sisi lain dari tokoh ini.
 
1. Mengatakan bahwa Imam Asy'ari dan Ibnu Kullab adalah Ahlul Itsbat (orang-orang yang meyakini adanya sifat Allah) yang menentang Jahmiyah dan Muktazilah. 
 
Kebanyakan pendaku Salafi mengatakan bahwa Asy'ariyah adalah ahlut ta'thil (orang-orang yang meniadakan sifat Allah) sehingga mereka selalu menyamakan  Asy'ariyah dengan Jahmiyah. Banyak juga dari mereka yang mempropagandakan bahwa Asy'ariyah mengikuti mazhab Imam Ibnu Kullab yang mereka sebut sebagai fase kedua dari Imam al-Asy'ari yang masih sesat. Mereka juga tak segan mencela para tokoh ahli kalam senior lainnya.  Namun, pernyataan Ibnu Taimiyah berikut ini akan mematahkan semua itu:
 
لَا رَيْبَ أَنَّ قَوْلَ ابْنِ كُلَّابٍ وَالْأَشْعَرِيِّ وَنَحْوِهِمَا مِنْ الْمُثْبِتَةِ لِلصِّفَاتِ لَيْسَ هُوَ قَوْلَ الْجَهْمِيَّة بَلْ وَلَا الْمُعْتَزِلَةِ بَلْ هَؤُلَاءِ لَهُمْ مُصَنَّفَاتٌ فِي الرَّدِّ عَلَى الْجَهْمِيَّة وَالْمُعْتَزِلَةِ وَبَيَانِ تَضْلِيلِ مَنْ نَفَاهَا بَلْ هُمْ تَارَةً يُكَفِّرُونَ الْجَهْمِيَّة وَالْمُعْتَزِلَةَ وَتَارَةً يُضَلِّلُونَهُمْ. لَا سِيَّمَا وَالْجَهْمُ هُوَ أَعْظَمُ النَّاسِ نَفْيًا لِلصِّفَاتِ بَلْ وَلِلْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى
 
"Tak diragukan bahwa pendapat Ibnu kullab dan Al-Asy'ari dan orang yang seperti keduanya dari golongan mutsbit (orang yang menetapkan sifat bagi Allah) bukanlah pendapat Jahmiyah dan bukan juga Muktazilah, bahkan mereka ini mengarang berbagai kitab untuk menolak Jahmiyah dan Muktazilah dan menerangkan kesesatan orang yang menafikan adanya sifat Allah (mu'atthilah). Bahkan mereka kadang mengafirkan Jahmiyah dan Muktazilah dan kadang hanya menyesatkan mereka saja, apalagi Jahm adalah orang  yang paling besar pengingkarannya terhadap sifat bahkan terhadap Asmaul Husna.” (Ibnu Taimiyah, Majmû' al-Fatawa, juz XII, halaman 202)
 
Di tempat lain, ia menyebut para tokoh Asy'ariyah senior sebagai penetap sifat dan menyatakan mereka cocok dengan ahlul hadits.
 
ثُمَّ الْمُثْبِتُونَ لِلصِّفَاتِ مِنْهُمْ مَنْ يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْمَعْلُومَةَ بِالسَّمْعِ، كَمَا يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْمَعْلُومَةَ بِالْعَقْلِ، وَهَذَا قَوْلُ أَهْلِ السُّنَّةِ الْخَاصَّةِ - أَهْلِ الْحَدِيثِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ - وَهُوَ قَوْلُ أَئِمَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَوْلُ أَئِمَّةِ الْكَلَامِ مِنْ أَهْلِ الْإِثْبَاتِ، كَأَبِي مُحَمَّدِ بْنِ كُلَّابٍ وَأَبِي الْعَبَّاسِ الْقَلَانِسِيِّ وَأَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَأَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُجَاهِدٍ  وَأَبِي الْحَسَنِ الطَّبَرِيِّ وَالْقَاضِي أَبِي بَكْرِ بْنِ الْبَاقِلَّانِيِّ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ فِي ذَلِكَ قَوْلُ الْأَشْعَرِيِّ وَقُدَمَاءِ أَئِمَّةِ أَصْحَابِهِ.
 
"Kemudian para mutsbitun (orang yang menetapkan sifat bagi Allah), di antara mereka ada yang menetapkan sifat yang diketahui dengan nukilan dari Nabi seperti halnya menetapkan sifat yang diketahui dari rasio. Inilah pendapat Ahlussunnah yang khusus; Ahlul Hadis dan mereka yang sepakat dengannya. Itu juga pendapat para Imam ahli fikih dan para imam ahli kalam dari kalangan penetap sifat Allah, seperti Ibnu Kullab, Abul Abbas al-Qalanisi, Abu Hasan al-Asy'ari, Abu Abdillah ibnu Mujahid, Abul Hasan at-Thabary dan Abu Bakar al-Baqillani. Pendapat al-Asy'ari dan para Imam Asy'ariyah yang awal-awal tak berbeda soal itu.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz II, halaman 222)
 
2. Tak mampu menjawab tantangan ulama Asy'ariyah untuk berdiskusi, malah memuji-muji beliau. 
 
Bila Ibnu Taimiyah dikenalkan sebagai jago berdebat dengan siapa pun sebab kecerdasannya, maka silakan baca kisahnya ketika berhadapan dengan Imam Alauddin al-Baji, salah satu tokoh besar Asy'ariyah-Syafi'iyah, berikut ini:
 
وَكَانَ إِلَيْهِ مرجع المشكلات ومجالس المناظرات وَلما رَآهُ ابْن تَيْمِية عظمه وَلم يجر بَين يَدَيْهِ بِلَفْظَة فَأخذ الشَّيْخ عَلَاء الدّين يَقُول تكلم نبحث مَعَك وَابْن تَيْمِية يَقُول مثلي لا يتكلم بَين يَديك أَنا وظيفتي الاستفادة مِنْك
 
"Alauddin al-Baji adalah rujukan berbagai permasalahan dan ahli berdebat. Ketika Ibnu Taimiyah melihatnya, maka ia mengagungkannya dan tak berkata sepatah kata pun di hadapannya. Lalu Syekh Alauddin berkata: ‘Bicaralah! biarkan kami membahas bersamamu.” Ibnu Taimiyah menjawab: ‘Orang sepertiku tak layak berbicara di hadapanmu. Urusanku adalah mengambil faidah darimu’.” (Tajuddin as-Subki, Thabaqât al-Syâfi'iyah al-Kubrâ, juz X, halaman 342)
 
Di sumber lain, disebutkan bahwa Imam Alauddin bercerita tentang kejadian itu sebagai berikut:
 
أَن ابْن تَيْمِية لما دخل الْقَاهِرَة حضرت فِي الْمجْلس الَّذِي عقدوه لَهُ فَلَمَّا رَآنِي قَالَ هَذَا شيخ الْبِلَاد فَقلت لَا تطرئنى مَا هُنَا إِلَّا الْحق وحاققته على أَرْبَعَة عشر موضعا فَغير مَا كَانَ كتب بِهِ خطه
 
"Ketika Ibnu Taimiyah memasuki kota Kairo, aku hadir di majelis yang dipersiapkan untuknya. Ketika ia melihatku, ia berkata: "Inilah Syekh negeri ini.” Aku berkata: "Jangan berlebihan memujiku, di sini tak ada apapun kecuali kebenaran.” Kemudian aku mengoreksinya dalam 14 tempat lalu ia mengubah apa yang sudah ia tulis sendiri.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kâminah, juz IV, halaman 121).
  
3. Ibnu Taimiyah mengaku dirinya adalah Asy'ariyah. 
 
Mungkin ini mengagetkan, tapi silakan dibaca pengakuan Ibnu Taimiyah dalam pernyataan tobatnya yang dibacakan di depan para ulama saat itu dan dikutip dalam beberapa kitab sejarah yang di antaranya adalah berikut:
 
وَوَقع الْبَحْث مَعَ بعض الْفُقَهَاء فَكتب عَلَيْهِ محْضر بِأَنَّهُ قَالَ أَنا أشعري ثمَّ وجد خطه بِمَا نَصه الَّذِي اعْتقد أَن الْقُرْآن معنى قَائِم بِذَات الله وَهُوَ صفة من صِفَات ذَاته الْقَدِيمَة وَهُوَ غير مَخْلُوق وَلَيْسَ بِحرف وَلَا صَوت وَأَن قَوْله {الرَّحْمَن على الْعَرْش اسْتَوَى} لَيْسَ على ظَاهره وَلَا أعلم كنه المُرَاد بِهِ بل لَا يُعلمهُ إِلَّا الله وَالْقَوْل فِي النُّزُول كالقول فِي الاسْتوَاء وَكتبه أَحْمد بن تَيْمِية ثمَّ أشهدوا عَلَيْهِ أَنه تَابَ مِمَّا يُنَافِي ذَلِك مُخْتَارًا
 
"Terjadi pembahasan beserta sebagian ahli fikih, maka seorang petugas menulis padanya [yang isinya] bahwa Ibnu Taimiyah berkata: ‘Aku adalah seorang Asy'ariy’, kemudian ditemukan tulisan tangannya yang berisi: ‘Saya meyakini bahwa al-Qur'an adalah makna yang menetap dalam dzat Allah. Kalamullah itu adalah salah satu dari sifat-sifat dzat yang tak berawal. Kalamullah bukanlah makhluk dan tidak berupa huruf atau suara. Dan, firman Allah ar-Rahman Istawa atas Arasy bukanlah atas makna lahiriyahnya dan saya tak mengetahui hakikat yang dikehendaki darinya bahkan tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Pendapat tentang nuzul (turunnya Allah) sama seperti pendapat soal istiwa'. Ahmad Ibnu Taimiyah menulis pengakuan ini secara sukarela, lalu saksikanlah bahwa dia bertaubat dari apa yang menafikan pengakuan ini’.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kâminah, juz I, halaman 172)
 
4. Menyatakan bahwa Mazhab Asy'ariyah dan Mazhab Imam Ahmad adalah sama. 
 
Kalau biasanya mereka yang anti Asy'ariyah membenturkan pernyataan Imam Ahmad dengan para tokoh Asy'ariyah, maka silakan dibaca pernyataan Ibnu Taimiyah berikut:
 
فَإِنَّ الْأَشْعَرِيَّ مَا كَانَ يَنْتَسِبُ إلَّا إلَى مَذْهَبِ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَإِمَامُهُمْ عَنْهُ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ... وَ الْأَشْعَرِيَّةُ فِيمَا يُثْبِتُونَهُ مِنْ السُّنَّةِ فَرْعٌ عَلَى الْحَنْبَلِيَّةِ كَمَا أَنَّ مُتَكَلِّمَةَ الْحَنْبَلِيَّةِ - فِيمَا يَحْتَجُّونَ بِهِ مِنْ الْقِيَاسِ الْعَقْلِيِّ - فَرْعٌ عَلَيْهِمْ
 
"Maka sesungguhnya Al Asy'ari tidaklah berafiliasi kecuali pada mazhab Ahlul Hadis dan Imam mereka adalah Ahmad bin Hanbal.... Asy'ariyah dalam hal sunnah yang mereka tetapkan adalah cabang dari Hanbaliyah seperti halnya para ahli kalam Hanbaliyah dalam hal argumen rasional adalah cabang dari Asy'ariyah." (Majmu' al-Fatawa)
 
Itulah sisi lain dari Ibnu Taimiyah yang jarang diekspos sehingga khalayak hanya mengetahui pendapat-pendapatnya yang tajam mengkritik Asy’ariyah. Semua kutipan di atas terdapat dalam kitab induk yang dikarang oleh ulama bereputasi tinggi dan juga telah tercetak luas sehingga bisa dicek validitasnya. Segala usaha untuk mematahkan semua poin dalam tulisan ini hanyalah akan menampakkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak konsisten dalam berbagai statemennya. Di sisi lain, Asy’ariyah adalah manhaj mayoritas ulama dari masa ke masa yang tak akan bertambah atau berkurang kemuliaannya dengan atau tanpa dukungan Ibnu Taimiyah. Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember