Ilmu Tauhid

Sifat Baqa, Kajian Perenialitas dan Keabadian Tuhan

Sel, 15 Agustus 2023 | 15:30 WIB

Sifat Baqa, Kajian Perenialitas dan Keabadian Tuhan

Lafadh Allah. (Foto: Pinterest).

Pada sifat baqa, para ulama tauhid mendiskusikan perenialitas atau keabadian tuhan. Para ulama mendefinisikan baqa sebagai ketiadaan akhir pada eksistensi tuhan. Sebagian ulama Melayu memilih kata “kekal” untuk menerjemahkan kata “baqa”. Lawan kata dari baqa adalah fana. Allah swt mustahil bersifat fana, potensi mengalami kehancuran, kebinasaan, atau kematian.

 

Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Syarah Nurudh Dhalam menyebut definisi baqa. Pada kitab tauhid dasar ini, Syekh Nawawi Banten tidak membahas lebih jauh argumentasi perenialitas tuhan. Syekh Nawawi hanya mengutip Surat Ar-Rahman ayat 27.

 

وَالْبَقَاءُ عَدَمُ الْاِنْقَضَاءِ لِوُجُوْدِهِ تَعَالى قَال تَعَالى وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

 

Artinya, “Baqa (kekal) merujuk pada ketiadaan akhir atas eksistensi Allah swt. Allah berfirman, ‘Dan tetap kekal zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan,’” (Syekh Nawawi Banten, Syarah Nurudh Dhalam, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 7).

 

Syekh An-Nahrawi membahas pengertian yang dimaksud dengan “ketiadaan akhir atas eksistensi Allah”. Menurutnya, Allah swt bersifat kekal. Artinya, wujud Allah tidak memiliki ujung akhir. Allah swt senantiasa kekal tanpa disusul oleh kefanaan.

 

ومعناه عدم الآخرية للوجود فمعنى كون الله تعالى باقيا أنه لا آخر لوجوده أى لا يطرأ عليه العدم 

 

Artinya, “Arti ‘baqa’ merujuk pada ketiadaan akhir atas eksistensi sesuatu. Arti ‘Allah bersifat baqa/kekal’ merujuk pada ketiadaan akhir atas eksistensi Allah, yaitu Allah swt tidak didatangi oleh kenihilan/kefanaan,” (Syekh Ahmad An-Nahrawi, Ad-Durrul Farid pada hamisy Fathul Majid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 12).

 

Argumentasi perenialitas atau kekekalan Allah swt dibangun oleh Syekh An-Nahrawi melalui pengandaian sebagai berikut yang mengaitkan kajian sifat baqa dan sifat wajib sebelumnya yaitu sifat qidam.

 

“Jika Allah swt itu boleh suatu saat mengalami kefanaan, niscaya Allah swt tidak bersifat qidam yang wujud awal-Nya tanpa kenihilan (al-‘adam). Pasalnya, postulat dasar sifat sebuah benda menyebutkan, setiap benda yang boleh atau potensi mengalami kefanaan, niscaya eksistensinya bersifat jaizul wujud atau mumkinul wujud. Setiap benda yang jaiz atau mumkin, niscaya ia adalah hadits atau baru. Setiap benda baru, tentu tidak bersifat qidam. Sedangkan, kita sudah menyepakati argumentasi ketetapan sifat qidam bagi Allah swt.” (An-Nahrawi: 12).

 

Simpulannya, jika Allah swt tidak bersifat kekal –artinya potensi mengalami kefanaan–, niscaya eksistensi-Nya tidak qidam. Tetapi pengandaian ini tidak valid karena bertentangan dengan bangunan argumentasi pada sifat qidam sehingga mustahil sifat qidam tidak terdapat pada Allah swt. Jadi, tetaplah sifat baqa pada Allah swt. Jika sifat baqa tetap pada Allah swt, maka mustahil Allah mengalami kefanaan yang menjadi antipode baqa/kekekalan. (An-Nahrawi: 12-13).

 

ودليل البقاء له تعالى أنه لو جاز عليه العدم لاستحال عليه القدم لما تقدم في كلام المصنف من قوله وكل ما جاز عليه العدم عليه قطعا يستحيل القدم

 

Artinya, “Argumentasi sifat baqa bagi Allah swt ialah, andai kefanaan itu potensi pada Allah, niscaya dan mustahil Allah bersifat qidam sebagaimana pendapat mushannif pada perkataannya, ‘Setiap benda yang boleh atau potensi fana, niscaya ia mustahil bersifat qidam,’” (Syekh Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 33).

 

Adapun benda baru atau hadits bersifat jaizul wujud atau mumkinul wujud yang menjadi khas sifat makhluk (boleh ada dan boleh tidak karena eksistensinya diawali oleh kenihilan atau al-‘adam). Eksistensi benda baru atau hadits inilah yang kemudian ditentukan oleh atau berhajat kepada zat pencipta yang kita kenal sebagai Allah swt.

 

Kajian sifat baqa dalam kitab-kitab tauhid tidak dapat dipisahkan dari kajian qidam. Argumentasi sifat baqa yang dibangun oleh para ulama berkaitan dengan argumentasi sifat qidam. Bahkan, ada ulama yang berpendapat bahwa dalil atau argumentasi sifat baqa adalah dalil sifat qidam itu sendiri. 

 

فدليل البقاء له تعالى هو دليل القدم

 

Artinya, “Argumentasi perenialitas atau kekekalan Allah swt tidak lain adalah argumentasi pada sifat qidam,” (Syekh Muhammad Fudhali, Kifayatul Awam, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh], halaman 35).

 

Sebagian ulama membahas sifat baqa dan sifat qidam dalam satu pembahasan karena keterkaitan keduanya sebagaimana pada Kitab Syarah Al-Hud-hudi.

 

والبقاء عبارة عن نفي العدم اللاحق للوجود او عن نفي الانتهاء

 

Artinya, "Baqa/kekal merupakan ungkapan yang merujuk pada penafian kenihilan mendatang (kefanaan) atas sebuah eksistensi atau merujuk pada penafian titik akhir sebuah eksistensi." (Syekh Muhammad bin Manshur Al-Hud-hudi, Syarah Al-Hud-hudi, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 51).

 

Sifat qidam dan sifat baqa menurut pandangan yang masyhur termasuk ke dalam kategori sifat salbiyah, yaitu sifat yang mencabut segala sesuatu yang tidak layak bagi kebesaran Allah swt. Tetapi ada juga ulama yang mengategorikan keduanya ke dalam sifat nafsiyyah karena keduanya sifat atas wujud perenial baik di masa lalu dan masa depan. (Syekh Abdullah As-Syarqawi, Syarah Al-Hud-hudi, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 51).

 

Ulama lainnya menyebut sifat qidam dan sifat baqa sebagai sifat yang berdiri pada zat seperti sifat ma’ani, yaitu sifat ilmu, sifat qudrah, dan sifat ma‘ani lainnya. Ada juga ulama berpendapat bahwa qidam adalah sifat salbiyyah. Sedangkan sifat baqa adalah sifat wujud sebagaimana sifat ma’ani. (As-Syarqawi: 51).

 

Adapun pendapat yang shahih menyebutkan bahwa sifat qidam dan sifat baqa masuk ke dalam kategori sifat salbiyyah, yaitu menegasikan makna yang tidak layak bagi Allah dan tidak ada makna lain yang maujud di luar alam pikiran kita. (Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi, Syarah Ummul Barahin, [Semarang, Maktabah Thaha utra: tanpa tahun], halaman 81). Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU.