Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 35: Dalil Bolehnya Penunjukan Hak Kuasa Kepada Orang Lain
Rabu, 15 Januari 2025 | 21:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj menjelaskan bahwa wakalah atau pemberian kuasa, secara bahasa, bermakna penyerahan (at-tafwidh), perhatian, dan penjagaan (al-hifzh). Sementara itu, secara istilah, wakalah berarti pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu atas nama pihak pertama, selama hal tersebut sesuai dengan ketentuan syariat.
Dengan demikian, wakalah adalah bentuk pendelegasian tanggung jawab yang sah dalam Islam, selama memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam praktiknya, pihak yang memberikan kuasa (muwakkil) menyerahkan tanggung jawab kepada pihak yang diberi kuasa (wakil) untuk melaksanakan hal-hal tertentu dalam batasan yang telah ditentukan.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pasal 452 mengatur mengenai akad pemberian kuasa yang sah. Menurut pasal ini, akad pemberian kuasa dapat terjadi apabila terdapat ijab dan kabul antara pihak pemberi dan penerima kuasa.
Ijab merupakan pernyataan pihak pemberi kuasa, sedangkan kabul adalah penerimaan dari pihak penerima kuasa. Hal ini menjadi landasan yang jelas dalam transaksi pemberian kuasa di dalam ekonomi syariah, untuk memastikan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak dilaksanakan secara sah.
Pasal 452 juga menekankan bahwa penerimaan terhadap pemberian kuasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara lisan, tertulis, melalui isyarat, maupun perbuatan yang mencerminkan kesepakatan.
Namun, apabila pihak penerima kuasa menolak untuk menerima kuasa yang diberikan, maka akad pemberian kuasa tersebut menjadi batal. Hal ini memberikan perlindungan hukum bagi pemberi kuasa, memastikan bahwa hanya penerima kuasa yang bersedia menerima tanggung jawab yang diberikan yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
Imam Ramli juga menegaskan pentingnya batasan dalam pelaksanaan wakalah. Pihak kedua atau wakil hanya boleh bertindak dalam lingkup kuasa yang diberikan oleh pihak pertama.
Jika terjadi pelanggaran terhadap batasan ini, maka tindakan tersebut tidak sah dan tanggung jawab tetap berada pada wakil. Prinsip ini menunjukkan bahwa wakalah tidak hanya soal pelimpahan tanggung jawab, tetapi juga tentang pengaturan wewenang secara transparan dan bertanggung jawab.
Simak penjelasan Imam Ramli berikut;
كتاب الوكالة هي بفتح الواو وكسرها لغة : التفويض والمراعاة والحفظ واصطلاحا : تفويض شخص لغيره ما يفعله عنه حال حياته مما يقبل النيابة أي شرعا فلا دور
Artinya; Kitab Al-Wakalah (pemberian kuasa) adalah dengan membuka huruf wawu (wakalah) atau dengan memecahnya (wikalah). Secara bahasa, bermakna penyerahan, perhatian, dan penjagaan. Secara istilah, berarti penyerahan seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu atas namanya selama ia masih hidup, dalam hal yang dapat diwakilkan menurut syariat. Dengan demikian, tidak ada peran ganda (yang tidak sah). (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Fikr, 1984 M] Jilid V, hlm, 15).
Lebih jauh, Dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhil Minhaj, Syekh Zakariya al-Anshari menjelaskan bahwa dalil konsep wakalah (perwakilan) terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 35:
فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا
Artinya: "Utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan."
Sejatinya, ayat ini menunjukkan bahwa konsep wakalah diterapkan dalam konteks perwakilan oleh pihak ketiga untuk mendamaikan pasangan suami istri yang sedang berselisih. Dalam hal ini, para seseorang atau hakim bertindak sebagai wakil untuk mengupayakan perdamaian, yang menjadi bagian dari prinsip wakalah di mana seseorang diberi kewenangan untuk bertindak atas nama pihak lain.
Dalam konteks ayat ini, kata Ibnu Hajar Al-Haitami, dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, pihak yang diutus adalah wakil, yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa bukan hanya bertindak atas dasar keputusan pribadi, tetapi mewakili kepentingan dan hak masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik.
بناء على الأصح الآتي أنه وكيل
Artinya; "Berdasarkan yang paling absah, berikut ini bahwa dia adalah wakil." (Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, [Lebanon: Dar Ihya at-Turats al-Araby, tt], Jilid V, hlm, 295).
Dalam kitab Tafsir Ma'alim Tanzil, Imam Al-Baghawi memberikan penjelasan terkait konsep wakalah atau perwakilan, khususnya dalam konteks penyelesaian masalah rumah tangga. Peran mediator dalam konflik antara suami istri dengan menekankan pentingnya peran seorang wakil atau juru damai yang diutus dari keluarga kedua belah pihak.
Imam Al-Baghawi menyebutkan bahwa jika terjadi perselisihan antara suami dan istri, salah satu cara untuk mencari solusi adalah dengan mengutus dua orang yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, yaitu seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri. Dalam konteks ini, mereka bertindak sebagai wakil yang mewakili pihak masing-masing dalam upaya untuk mendamaikan dan memperbaiki hubungan.
Sejatinya, wakalah dalam tafsir ini dapat dipahami sebagai kewajiban untuk mengutus perwakilan yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menilai situasi dengan adil serta mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, tidak hanya sekadar melibatkan orang lain, tetapi memastikan bahwa mereka yang dilibatkan benar-benar memiliki kapasitas untuk menjalankan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab.
فذلك قوله عز وجل: (فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا) يعني: الحكمين، ( يوفق الله بينهما ) يعني: بين الزوجين
Artinya; "Dan itulah maksud firman-Nya yang Maha Mulia: '(Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.)'. Maksudnya: hakim, (niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya), yaitu antara suami istri." (Tafsir Ma'alim Tanzil, [Riyadh; Dar Thaibah, tt], Jilid II, hlm, 209).
Penjelasan Imam Al-Baghawi ini mencerminkan pentingnya peran wakalah dalam mengatasi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan langsung oleh pihak yang bersangkutan.
Dengan mengutamakan objektivitas dan pertimbangan yang adil, wakalah dalam konteks ini bertujuan untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih harmonis, terutama dalam lingkup keluarga. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman Tinggal di Parung
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua