Ramadhan

Kultum Ramadhan: Mempererat Hubungan dengan Allah melalui I'tikaf

Sab, 30 Maret 2024 | 16:00 WIB

Kultum Ramadhan: Mempererat Hubungan dengan Allah melalui I'tikaf

Ilustrasi Itikaf di masjid. (Foto: NU Online/Suwitno)

I'tikaf adalah amalan yang dianjurkan selama bulan Ramadan, terlebih di sepuluh malam terakhir. Secara harfiah, I'tikaf berarti "berdiam diri" di masjid dengan niat khusus untuk beribadah. Secara etimologi, ibadah ini mengandung makna berdiam diri atau mengabdikan diri terhadap sesuatu, yang dalam bahasa Arab disebut al-lubtsu atau 'akafa ala syai'. Praktik I'tikaf adalah menetap di dalam masjid dengan tujuan mengabdikan diri kepada Allah Swt. Imam Syafi'i berkata:

 

والاعتكاف لزومُ المَرْءِ شيئاً ، وحَبْسُ نفسه عليه ، براً كان أوإثماً

 

Artinya: "I'tikaf adalah seseorang yang berdiam diri di suatu tempat, dan mengurung dirinya di sana, baik untuk kebaikan maupun keburukan." (Abi Husain al-'Imrani asy-Syafi'i, al-Bayan fi Mazhab al-Imam Asy-Syafi'i, [Kairo; Darul Minhaj, tt], Jilid III, halaman 571)

 

Mengapa i'tikaf banyak dilaksanakan di 10 malam terakhir Ramadhan? karena pada periode ini terdapat malam Lailatul Qadar, sebuah malam yang lebih mulia daripada seribu bulan, dan merupakan kesempatan istimewa untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendapatkan pahala yang berlimpah.

 

Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA. Beliau beri'tikaf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berharap dapat meraih malam Lailatul Qadar. 

 

- أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِن رَمَضَانَ، حتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِن بَعْدِهِ

 

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan sampai beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut setelah wafatnya beliau.”

 

Ibadah i'tikaf disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187. Allah berfirman;

 

 وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

 

Artinya: "Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beri'tikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa."

 

Lebih dari sekadar mengasingkan diri, i'tikaf merupakan bentuk pengabdian yang mendalam kepada Allah SWT. Melalui i'tikaf, umat Islam berdiam diri di masjid dengan tujuan untuk memperdalam hubungan spiritual mereka dengan Allah SWT. Masjid menjadi tempat yang hening dan kondusif untuk beribadah, terhindar dari gangguan dunia luar. 

 

Selama i'tikaf, umat Muslim diberikan kesempatan untuk fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Suasana masjid yang tenang dan suci menjadi lingkungan yang kondusif untuk memperbanyak doa, membaca Al-Quran, dan berdzikir.  Selain itu, umat Islam yang sedang i'tikaf juga bisa mengikuti kajian keagamaan atau berdiskusi tentang ilmu agama bersama jamaah masjid lainnya.

 

Dengan fokus beribadah dan menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa di bulan Ramadan, diharapkan umat Islam dapat meraih pahala yang berlimpah dan meningkatkan keimanan mereka. I'tikaf juga menjadi sarana untuk introspeksi diri dan merenungkan kehidupan. Setelah selesai menjalankan i'tikaf, diharapkan umat Islam dapat membawa semangat dan pengalaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sejatinya, i'tikaf memberikan kesempatan pada seseorang untuk merenungkan makna puasa secara lebih mendalam. Dengan keheningan dan fokus pada ibadah, mereka diajak untuk introspeksi diri dan mensyukuri nikmat yang Allah berikan. I'tikaf juga menjadi sarana untuk memperkuat ikatan batin dengan Allah, Sang Pencipta. Para Muslim yang menjalankan i'tikaf diharapkan bisa meraih ketenangan hati dan kejernihan pikiran.

 

Terakhir, i'tikaf adalah upaya seorang hamba untuk menahan diri dari godaan dunia, mendorong diri untuk patuh kepada Allah, mengabdikan waktu secara eksklusif untuk ibadah kepada-Nya, serta menjauhkan diri dari perilaku yang diharamkan. Ini melibatkan pengendalian diri terhadap dorongan hawa nafsu, sehingga menghindari perbuatan dosa, membersihkan hati, dan menciptakan sikap zuhud terhadap kenikmatan duniawi.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.