Ramadhan

Kultum Ramadhan: Puasa dan Pendidikan Saleh Sosial

Ahad, 9 April 2023 | 16:00 WIB

Kultum Ramadhan: Puasa dan Pendidikan Saleh Sosial

Ilustrasi: banser rembang bakti sosial (NU Online).

Boleh jadi orang rajin shalat, puasa, dan ritual ibadah lainnya, tapi selama ia belum saleh secara sosial, ibadahnya hanya menjadi penggugur kewajiban, belum maksimal memberi didikan moral. 

 

Kita semua sepakat bahwa tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Sebab itu, ibadah dalam Islam dirumuskan sedemikian rupa agar bisa selalu diamalkan oleh seorang muslim. Dalam kasus shalat misalnya, jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri maka boleh dengan duduk, jika masih tidak mampu bisa dengan posisi tidur menyamping menghadap kiblat, dan seterusnya. Tanggung jawab dasar ini sudah Allah tegaskan dalam firman-Nya, 

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ 

 

Artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56).

 

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Namun perlu digarisbawahi, sebagaimana dikemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kewajiban ibadah ini bukan karena Allah butuh pada ibadah tersebut, tapi justru jin dan manusianyalah yang memerlukannya. (Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur’ānil ‘Azhīm, [2018], juz IV, halaman 261). 

 

Namun penting dicatat, bukan berarti karena kebutuhan ibadah ini menjadikan seorang Muslim hanya sibuk mementingkan kepuasan spiritual pribadi, tapi di sisi lain mengabaikan kepekaan sosial terhadap sesama manusia. Tidak sedikit dijumpai orang berlomba berburu pahala dengan melaksanakan ritual keagamaan sebanyak dan sebaik mungkin, tapi ia masih ‘buta’ secara sosial. 

 

Sebab itu, Allah swt menegaskan bahwa ibadah yang baik adalah yang mampu memberikan dampak positif secara sosial bagi pelakunya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, 

 

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ 

 

Artinya, “Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ankabut: 45). 

 

Jika kita amati, ayat di atas memiliki pesan untuk menciptakan keseimbangan antara saleh ritual (shalat) dan saleh sosial (mengendalikan diri dari perilaku buruk). Shalat yang merupakan praktik ritual keagamaan paling pokok dalam Islam belum sempurna jika belum bisa memberikan dampak sosial positif bagi pelakunya. Maka, Nabi saw pernah menegaskan bahwa shalat yang tidak memiliki dampak moral justru akan menjadikan pelakunya semakin jauh dari Allah. Beliau bersabda, 

 

مَنْ لَمْ تَنْهَهِ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا 

 

Artinya, “Orang yang shalatnya tidak dapat mencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah.” (HR At-Thabrani). 

 

Puasa dan Saleh Sosial 

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah setiap ritual ibadah yang diajarkan dalam Islam pasti memiliki korelasi dengan kebaikan-kebaikan sosial. Selain shalat sebagaimana telah penulis kemukakan, puasa di bulan Ramadhan merupakan contoh konkrit yang bisa kita amati. Momen Ramadhan yang menjadi gudang amal ibadah untuk meraih limpahan pahala dan mendekatkan diri kepada Allah ini ternyata sarat dengan nilai-nilai sosial. 

 

Dalam konteks sedekah misalnya. Pahala bersedekah saat bulan Ramadhan dinilai sebagai sedekah terbaik. Artinya, bukan saja ibadah-ibadah ritual seperti shalat sunnah dan bertadarus Al-Qur’an yang mendapat apresiasi pelipatgandaan pahala, tetapi juga kebaikan-kebaikan yang memiliki dampak sosial. Dalam satu riwayat disebutkan, 

 

عَنْ اَنَسٍ قِيْلَ يَارَسُولَ اللهِ اَيُّ الصَّدَقَةِ اَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِى رَمَضَانَ

 

Artinya, “Dari Anas ra, sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Sedekah di bulan Ramadhan,’” (HR At-Tirmidzi). 

 

Pada kesempatan lain Rasul bersabda, 

 

مَنْ اَفْطَرَ صَائِمًا فَلَهُ اَجْرُ صَائِمٍ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

 

Artinya, “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR At-Tirmidzi).

 

Secara emosional, sebagaimana disampaikan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, puasa sendiri mampu menumbuhkan rasa empati pada diri setiap Muslim. Menahan lapar seharian penuh saat selama bulan Ramadhan akan membuat seseorang ikut merasakan rasa lapar dan dahaga sehingga ia sadar betul beginilah selama ini yang dirasakan orang-orang berkekurangan. Dari pengalaman spiritual ini harapannya dia lebih terdorong lagi untuk berbagi kepada sesama. 

 

Lebih jauh, berkaitan dengan sedekah di bulan Ramadhan, Syekh ‘Izzuddin membuat kalkulasi cermat. Dia menjelaskan dalam kitabnya Maqāshidush Shaum

 

فَمَنْ فَطَّرَ سِتَّةً وَ ثَلَاثِيْنَ صَائِمًا فِي كُلِّ سَنَةٍ فَكَاَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ وَ مَنْ كَثُرَ بِفِطْرِ الصَّائِمِيْنَ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صَوْمَ عُصُوْرٍ وَ دُهُوْرٍ 

 

Artinya, “Barang siapa memberi makanan pada 36 orang yang berpuasa setiap tahun, maka seakan-akan ia puasa satu tahun (karena kebaikan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali). Dan barang siapa memperbanyak memberi takjil atau makan dan minum untuk orang-orang yang berpuasa atas dasar niat ini, Allah mencatat baginya puasa berabad-abad dan bertahun-tahun.” (Izzuddin bin Abdissalam, Maqāshidush Shaum, [Damaskus: Darul Fikr, 1992], halaman 18). 

 

Kalkulasi pahala ini berdasarkan rumus setiap satu amal kebaikan akan dibalas 10 kali lipat. Sehingga, memberi makan berbuka untuk 36 orang akan mendapat balasan pahala 360. Setara dengan jumlah hari dalam satu tahun. Meski dalam satu tahun ada 365 hari. 

 

Sebab itu, sangat disayangkan jika ada sebagian Muslim yang terlalu semangat beribadah di bulan Ramadhan, namun ia mengabaikan kepekaan sosial. Contoh paling real yang sering dijumpai saat Ramadhan adalah penggunaan pengeras suara untuk tadarus Al-Qur’an. Terkadang volumenya terlalu keras, kadang pula sudah larut malam tapi volumenya tidak disesuaikan sehingga mengganggu kenyamanan publik. 

 

Sayyid Abdurrahman Al-Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidīn menjelaskan, membaca Al-Qur’an atau bacaan lain seperti dzikir dan shalawat dengan volume suara terlalu tinggi, jika sampai mengganggu kenyamanan publik maka hukumnya makruh. Bahkan jika gangguannya lebih besar bisa sampai haram. (Abdurrahman Al-Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidīn, [1952], halaman 66). 

 

Mari jadikan ibadah-ibadah yang kita lakukan memiliki dampak positif sosial bagi publik. Jangan sampai kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang saleh secara ritual, tapi buruk secara sosial. Wallahu a’lam. 

 

Ustadz Muhamad Abror, penulis buku 'Ramadhan Terakhir', alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.