Ramadhan

Kultum Ramadhan: Puasa Ramadhan, Hijrah Kesehatan, dan Ketaatan

Sab, 6 April 2024 | 19:00 WIB

Kultum Ramadhan: Puasa Ramadhan, Hijrah Kesehatan, dan Ketaatan

Puasa dan kesehatan. (Foto: NU Online/Freepik)

Penyesalan akibat kelalaian pada kesehatan dan waktu luang seringkali datang terlambat. Nikmat sehat dan kesempatan yang terlupakan biasanya baru disadari ketika keduanya hilang. Saat itulah seorang hamba yang insyaf akan mengakui bahwa ibadahnya bisa menjadi lebih baik apabila tubuhnya sehat dan waktu hidupnya terisi dengan baik. Sakit yang diperoleh bisa saja karena kelalaian dirinya untuk menjaga badan sebagai amanah yang berharga, bisa juga karena dosa-dosa pribadi yang menumpuk seiring waktu.


Puasa Ramadhan adalah wahana perbaikan bagi seorang hamba yang beriman untuk memiliki kesehatan dan ketaatan yang lebih prima. Proses hijrah menuju kebiasaan baru yang lebih tertata dapat dimulai pada bulan yang mulia ini. Sebagai titik tolak, Nabi Muhammad saw memberikan motivasi tentang hal ini dalam haditsnya:


إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ وَسَنَنْتُ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ


Artinya: “Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan shalat malam harinya. Barangsiapa puasa Ramadhan dan shalat malam dengan mengharap ridha Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad).


Bayi yang baru lahir ibarat gerak awal kehidupan seorang Muslim. Apabila ampunan diperoleh sebagai buah ibadah Ramadhan, seorang Muslim ibarat baru hijrah ke kehidupan baru yang lebih baik. Motivasi ini sangat diperlukan bagi penguatan jiwa dan kesiapan agar lebih bersemangat untuk menapaki masa depan.


Ritual puasa Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi orang yang beriman untuk memperbaiki dirinya secara keseluruhan. Pada bulan yang penuh berkah tersebut, seorang Muslim diberi kesempatan untuk melatih diri, mengoptimalkan, sekaligus mengembangkan potensi fisik dan ruhiahnya. Peran puasa Ramadhan dalam meningkatkan kualitas manusia dapat dilihat dari efeknya terhadap kesehatan dan ketaatan.


Melalui puasa, tidak hanya sistem pencernaan yang terlatih menahan lapar. Sistem pengambilan keputusan manusia juga akan menjadi terlatih karena seluruh sistem tubuh terintegrasi, saling memengaruhi, dan saling bekerja sama. Maka tidak mengherankan bila dampak positif puasa dapat diukur dari performa fisik yang bersangkutan seperti berkurangnya penyakit saluran cerna, stabilnya kadar kolesterol dalam darah, kondisi jantung menjadi lebih sehat, yang semua itu merupakan bekal penting untuk melaksanakan ketaatan.


Puasa juga mengoptimalkan jam biologis manusia. Allah swt merancang manusia dengan sangat sempurna. Salah satu kemahasempurnaan Allah adalah diberinya manusia sebuah jam yang sangat canggih, yaitu jam biologis. Jam biologis ini mengatur semua kegiatan tubuh manusia mulai dari bereproduksi, melakukan proses metabolisme, hingga istirahat.


Pengaturan jam biologis dilakukan oleh kelenjar hormon di otak. Ibadah yang dilakukan saat Ramadhan merupakan pelatihan yang tepat untuk mengoptimalkan jam biologis manusia. Tidur setelah tarawih dan bangun pada sepertiga malam terakhir sangat sesuai dengan fluktuasi hormon otak. Semua aktivitas ibadah itu disertai dengan istirahat secukupnya akan berdampak pada kesehatan dan peningkatan produktivitas pada hari berikutnya (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, 2015, Tasdiqiya Publisher, Bandung: halaman 135-136).


Selain bermanfaat untuk kesehatan, Syekh Mustafa Muhammad Imarah menjelaskan bahwa hikmah puasa adalah mengajak manusia untuk teratur dalam bekerja dan memperbaiki aturan. Puasa juga membiasakan diri untuk berhias dengan akhlak yang mulia seperti penyantun, sabar, dan berani. Selain itu, puasa Ramadhan merupakan momentum untuk memperoleh keuntungan yang sempurna melalui memperbanyak zikir, memohon ampunan-Nya, memperbanyak shalawat untuk nabi, dan perbuatan baik yang lain (Imarah, 1994, Jawahirul Bukhari, Darul Ihya: halaman 257).


Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam Kitab At-Thibbun Nabawi menyitir sebuah hadits tentang karakter pola makan seorang mukmin yang dikaitkan dengan pemanfaatan waktu hidupnya. Hadits itu adalah tentang seorang mukmin makan dengan satu perut, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh perut (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 37).


Kebijaksanaan tidak akan masuk ke dalam perut yang penuh dengan makanan. Makin sedikit orang makan, makin sedikit dia minum. Makin sedikit dia minum, makin sedikit dia tidur. Hasilnya, semakin sedikit dia tidur, makin berkah hari tuanya. Gaya hidup yang seperti ini sesuai dengan orang yang berpuasa Ramadhan sehingga dapat diharapkan usianya bertambah seiring dengan kebaikannya. 


Makin banyak orang makan, makin banyak dia minum. Makin banyak dia minum, makin banyak dia tidur. Barangsiapa banyak tidur, dia akan kehilangan berkah di hari tuanya. Jika seseorang merasa puas sebelum dia kenyang maka makin baik gizi yang diperoleh bagi tubuhnya dan makin baik pula keadaan jiwa serta hatinya. 


Sebaliknya, orang yang perutnya penuh makanan, tubuhnya dapat teracuni, keadaan jiwanya jelek, dan hatinya akan keras. Karena itu, hindarilah makan terlalu banyak karena hal itu meracuni hati, menyebabkan penyakit, membuat lamban anggota badan dalam menaati Allah, serta menutup telinga dari berbagai perintahnya.


Puasa Ramadhan identik dengan mengurangi makan dan minum serta latihan disiplin beribadah wajib maupun sunnah agar terhindar dari penyakit dan tetap sehat. Tidak ada kata terlambat bagi seorang Muslim untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih taat. Selayaknya setiap Muslim memanfaatkan momentum Ramadhan untuk menyehatkan diri agar dapat mencapai status ketaatan hamba yang lebih tinggi. Wallahu a'lam bisshawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti di Bidang Farmasi