Ramadhan

Tiga Tahapan Kewajiban Puasa Ramadhan

Sen, 18 Maret 2024 | 10:00 WIB

Tiga Tahapan Kewajiban Puasa Ramadhan

Ilustrasi tiga tahapan kewajiban puasa Ramadhan. (NU Online).

Puasa Ramadhan merupakan ibadah khusus umat Nabi Muhammad saw dan menjadi salah satu rukun Islam yang lima. Namun sebenarnya puasa Ramadhan baru diwajibkan pada tahun kedua dari hijrahnya Nabi saw ke Madinah. 
 

Syariat puasa Ramadhan telah melewati beberapa tahapan, hingga kemudian menjadi wajib seperti sekarang. 

 

Ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Mu'adz bin Jabal. Ia berkata: 

 

أُحِيلَتِ الصَّلاَةُ ثَلاَثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلاَثَةَ أَحْوَالٍ

 

Artinya, "Shalat difardukan melalui tiga tahapan, dan puasa pun difardukan melalui tiga tahapan". (HR Ahmad).

 

Adapun tahapan-tahapan puasa Ramadhan adalah sebagai berikut dijelaskan oleh Syekh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya, Ghayatul Ihsan

 

Saat Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya selain puasa Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan melalui firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 183-184:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ (١٨٣) اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (١٨٤)

 

Artinya, "(183) Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
 

(184) (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."  (QS Al-Baqarah: 183-184).
 

Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan orang miskin sebagai ganti dari puasanya. Ini sudah mencukupi untuk orang tersebut.  
 

Kemudian Allah swt menurunkan ayat lain, yaitu ayat berikutnya, surat al-Baqarah ayat 185:
 

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
 

Artinya, "Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah." (QS Al-Baqarah: 185).

 

Berdasarkan ayat di atas, Allah menetapkan kewajiban puasa kepada orang mukim (yang tidak bepergian dan) yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang sakit dan orang yang sedang bepergian. Sedangkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak mampu lagi melakukan puasa masih ditetapkan.
 

Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan berkumpul (jima') dengan istri- istrinya selagi belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. 
 

Lalu, ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Shirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan shalat Isya. Lalu ketiduran dan belum sempat makan dan minum hingga keesokan harinya dalam keadaan puasa. 
 

Kemudian Rasulullah saw melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau bertanya: "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." 

 

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung tidur hingga pagi hari dan aku dalam keadaan puasa", jawab Shirmah.
 

Diriwayatkan juga bahwa sahabat Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu beliau mendatangi Nabi saw dan menceritakan apa yang telah ia alami.
 

Kemudian Allah Swt menurunkan Al-Baqarah ayat 187
 

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
 

Artinya, "Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam." (Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadhli Zakatil Fitri wa Fadli Ramadhan, [Beirut, Alimul Kutub: 1985], halaman 11-13).

 

Walhasi, dari paparan di atas diketahui bahwa syariat puasa dalam Islam mengalami tiga tahapan: 

  1. Puasa Asyura dan puasa tiga hari dalam setiap bulannya. Kemudian diwajibkan puasa secara opsional. Artinya boleh puasa Ramadhan bila menghendaki, dan membayar fidyah bila tidak menghendaki puasa Ramadhan. 
  2. Penghapusan opsi puasa dengan diwajibkannya puasa Ramadhan bagi orang yang mukim dan sehat serta menetapkan membayar fidyah atau memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak mampu untuk mengerjakan puasa Ramadhan.
  3. Kebolehan makan dan minum sepanjang malam, sebelum atau sesudah tidur yang mana sebelumnya orang yang tidur malam sebelum makan maka wajib baginya melanjutkan puasa sampai hari berikutnya. Adapun sebab kebolehan dan diringankannya adalah peristiwa yang dialami sahabat Anshar yang bernama Shirmah dan sahabat Umar bin Khatab, sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu a'lam bisshawab.
 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo