Sirah Nabawiyah

Belajar dari Sifat Rahmah Nabi Muhammad

Jum, 20 Agustus 2021 | 08:45 WIB

Belajar dari Sifat Rahmah Nabi Muhammad

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Dalam fase dakwah Islam di Makkah, Rasulullah SAW dan umatnya tidak luput dari ancaman pembunuhan oleh kafir Quraisy. Bahkan tidak sedikit yang mendapat siksa dan meregang nyawa demi mempertahankan akidah Islam dengan menjadi umat Nabi Muhammad.


Melihat kondisi tersebut, Rasulullah bersama para sahabat kepercayaannya diikuti umat Islam Makkah melakukan eksodus besar-besaran (hijrah) ke Kota Yatsrib (Madinah). Berbagai properti, harta benda warisan istri beliau, Khadijah radhiyallahu'anha seperti rumah dan tanah ditinggalkan begitu saja di Makkah demi menyelamatkan umat Islam dan misi ajaran besar yang diembannya.


Selama di Madinah, Nabi membangun kekuatan umat di samping melakukan gerakan syiar Islam ke kabilah-kabilah atau suku bangsa secara luas hingga ke negeri-negeri lainnya. Langkah strategis ini dilakukan Nabi sambil mengatur cara untuk mengambil kembali Kota Makkah. Akhirnya, terjadilah sejarah Fathu Makkah atau pembebasan Kota Makkah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin.


Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah.

 


Revolusi besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.


Dijelaskan Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah Imam-imam Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).


Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama bin Zaid ibn Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya.


Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.

 


Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.


Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.


Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon