Sirah Nabawiyah

Hajar Aswad dan Cara Rasulullah Atasi Perselisihan Masyarakat Quraisy

Sel, 7 April 2020 | 06:00 WIB

Hajar Aswad dan Cara Rasulullah Atasi Perselisihan Masyarakat Quraisy

Soal hak meletakkan Hajar Aswad, antarkabilah berselisih. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menawarkan solusi perang dan angkat senjata.

Di usia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke-35 tahun, masyarakat Quraisy berkumpul untuk merencanakan pembangunan Ka‘bah. Disampaikan oleh Musa ibn ‘Uqbah, adapun yang mendorong mereka membangun Ka‘bah adalah banjir besar yang merusak dindingnya. Mereka khawatir jika air masuk ke dalamnya. Terlebih saat itu, ada seorang laki-laki bernama Mulaih mencuri beberapa barang berharga yang ada di dalam Ka‘bah. Karena itu, mereka kian terdorong untuk membangunnya, meninggikan pintunya, agar tidak ada orang yang sembarangan masuk ke dalamnya. Mereka kemudian menghimpun biaya dan para pekerja. Setelah persiapan matang, mereka mulai merobohkannya dengan hati-hati. Sebab, mereka khawatir jika Allah menghalangi tujuan mereka.

 

Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, selanjutnya kabilah-kabilah dari masyarakat Quraisy sibuk mengumpulkan batu. Semua kabilah bersatu dan bahu-membahu dalam pembangunan Ka‘bah. Sampai akhirnya sampailah saatnya meletakkan Hajar Aswad. Namun, mereka berselisih siapa dan kabilah mana yang berhak meletakkannya. Masing-masing mengklaim berhak melakukannya. Diskusi alot dan perselisihan antarkabilah pun tak terelakkan. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menawarkan solusi perang dan angkat senjata.

 

 

Kala itu, datang warga Bani Abdid Dar membawa mangkuk yang penuh darah. Mereka dan warga Bani Adi sepakat mengambil jalan perang hingga titik darah penghabisan. Sejak itu, warga Quraisy pun sempat menarik diri sampai empat atau lima malam. Kemudian, mereka kembali berkumpul di masjid guna bermusyawarah dan mencari jalan tengah.

 

Seorang yang paling sepuh di antara mereka yang bernama Abu Umayyah ibn al-Mughirah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Makhzum memberi pandangan, “Jadikanlah orang yang pertama kali masuk pintu masjid ini sebagai orang yang memutus masalah yang kalian perselisihkan.”

 

Rupanya, orang yang pertama masuk masjid adalah seorang pemuda yang bernama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu mengetahui orang yang akan menyelesaikan masalah mereka adalah Rasulullah, mereka langsung setuju. “Ini Muhammad seorang pemuda yang jujur. Kami rida kepadanya.”

 

Ketika hal itu disampaikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berilah aku sebuah kain.” Kemudian, beliau mengambil batu Hajar Aswad langsung dengan tangannya dan meletakkan batu tersebut di atasnya. Tak lama beliau kembali bersabda, “Silakan masing-masing kabilah memegangi pinggir kain ini dan mengangkatnya secara sama-sama.” Mereka lantas bergotong-royong menjalankan saran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesampainya di tempat semula, Hajar Aswad pun ditempatkan langsung oleh Rasulullah. Sejak itu, pembangunan pun kembali dilanjutkan. Sebab, masing-masing merasa puas akan keputusan tersebut.

 

 

Perlu diketahui bahwa pada zaman Nabi Ismail ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan oleh as-Suhaili, tinggi bangunan Ka‘bah hanya 9 hasta. Kemudian, oleh orang-orang Quraisy sebelum Islam, tingginya ditambah 9 hasta lagi. Jadi tingginya 18 hasta. Selain itu, pintunya ditinggikan dari permukaan tanah, sehingga tidak bisa dimasuki kecuali menggunakan tangga atau tahapan. Kemudian, pada zaman Ibnu az-Zubair, ditambah lagi tingginya sebanyak 9 siku, sehingga tinggi keseluruhannya menjadi 27 hasta. Setinggi itu pula Ka‘bah hingga sekarang. (Lihat: Muhammad ibn Muhammad al-Ya‘mari, ‘Uyun al-Atsar, Jilid 1, hal. 67).

 

 

Penulis: M. Tatam

Editor: Mahbib