Amien Nurhakim
Kolomnis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sosok teladan dan rahmat bagi umat manusia. Segala perilaku, sabda, pernyataan, dan sifatnya diikuti oleh umat Islam. Hal tersebut yang dinamakan hadits atau sunnah. Para ushȗliyyȋn dan muhadditsȋn berbeda paham soal sunnah. Menurut muhadditsȋn atau ahli hadits, sunnah adalah hadits, tepatnya semua yang bersumber dari Nabi berupa perilaku, sabda, pernyataan, dan sifat. Sedangkan ushȗliyyȋn atau ahli usul fikih berpandangan, sunnah adalah sebagaimana yang didefinisikan ahli hadits, namun sifat Nabi tidak masuk kepada sunnah. Maka menurut ahli hadits, hadits adalah sunnah, sedang menurut ahli usul, hadits belum tentu sunnah.
Titik perbedaan di ataslah yang memunculkan pengklasifikasian sunnah menjadi dua, yaitu sunnah tasyrȋ’iyyah (sunnah yang disyariatkan) dan sunnah ghair tasyrȋ’iyyah (sunnah yang tidak disyariatkan). Sunnah yang disyariatkan sifatnya mengikat, sedang sunnah yang tidak masuk syariat maka tidak mengikat, dalam artian tidak masuk kepada hukum taklif yang lima: wajib, mandub, ibahah, haram dan makruh.
Berkaitan dengan perilaku Nabi, betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segala tindak tanduknya diikuti oleh umatnya, bahkan menjadi hal yang disyariatkan dalam Islam. Oleh karena itu, Nabi sangat berhati-hati dalam bertindak. Beliau tidak mau umatnya menanggung beban yang begitu berat. Misalnya saja, Nabi tidak melaksanakan salat tarawih selama satu bulan penuh di masjid, karena ketika mengerjakan di masjid kaum Muslimin pun mengikuti beliau, sehingga beliau khawatir salat tarawih menjadi wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anhȃ, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam salat di masjid, lalu banyak orang salat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, 'Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila salat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, 'Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi sangat memahami bagaimana umatnya nanti apabila banyak dibebani kewajiban, yang mana apabila tidak dikerjakan maka mendapat hukuman. Hal tersebut merupakan sifat manusiawi, di mana manusia merasa berat apabila dibebankan banyak kewajiban.
Sisi lain kemanusiaan Nabi adalah ketika hijrah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy. Sebagaimana yang kita tahu bahwa hijrah ke Madinah melalui beberapa proses. Pertama orang-orang Muslim terlebih dahulu, barulah setelahnya Nabi dengan Abu Bakar menyusul secara sembunyi-sembunyi.
Hijrah Nabi secara sembunyi-sembunyi sangat bertolak belakang kala itu dengan hijrahnya Umar bin al-Khatthab yang secara terang-terangan bahkan menantang kaum Quraisy di hadapan Kabah. Dituturkan oleh Ali bin Abi Thalib, ketika Umar hendak hijrah, ia membawa pedang, busur panah dan tongkat di tangannya menuju Kabah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar melakukan Tawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah itu ia ke maqam Ibrahim untuk melaksanakan salat. Kemudian berdiri sambil berkata, ‘Celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah yang akan dikalahkan Allah! Siapa pun seorang ibu yang ingin kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.’ Tidak ada seorang pun berani mengikuti Umar kecuali kaum lemah yang telah diberitahu oleh Umar. Perjalanan hijrah Umar lancar dan aman, bahkan setelah menentang kaum Quraisy. (Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh Sirah, Jakarta: Robbani Press, 1999, hal. 151)
Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam karyanya Fiqh Sirah menyebutkan hikmah mengapa Nabi hijrahnya tidak terang-terangan sebagaimana Umar. Apakah Nabi tidak lebih berani daripada Umar?
Beliau menjelaskan bahwa tindakan Umar dan orang Muslim lainnya itu berimplikasi kepada dirinya sendiri dan tidak menjadi hukum yang ditetapkan dalam syariat, sedangkan perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan syariat yang ditetapkan di kemudian hari. Oleh karena itu beliau lebih memilih jalan yang sesuai dengan rasio manusia umum lainnya.
Andai saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan seperti yang dilakukan oleh Umar, niscaya orang-orang yang mengira bahwa cara dan tindakan seperti itu adalah wajib; yakni tidak boleh mengambil sikap hati-hati dan bersembunyi ketika keadaan bahaya. Padahal, Allah menegakkan syariat-Nya di dunia ini berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Bahkan segala sesuatu ini pada hakikatnya terjadi dengan sebab dan kehendak dari Allah. Wallahu a’lam
Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Terpopuler
1
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
2
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
3
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
4
LD PBNU Ingatkan Etika dan Guyon dalam Berdakwah, Tak Perlu Terjebak Reaksi Spontan
5
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
6
Respons Pergunu soal Wacana Guru ASN Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Terkini
Lihat Semua