Sirah Nabawiyah

Kisah Al-Muktafi, Khalifah Abbasiyah yang Meninggal Muda pada Dzulqa'dah

Ahad, 19 Juni 2022 | 06:30 WIB

Kisah Al-Muktafi, Khalifah Abbasiyah yang Meninggal Muda pada Dzulqa'dah

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Usia manusia memang tidak ada yang tahu. Kapan pun di mana pun, kematian bisa datang jika sudah waktunya. Yang tidak diinginkan adalah seseorang meninggal tapi masih banyak memiliki tanggung jawab yang belum terselesaikan, apalagi berkaitan dengan urusan kenegaraan yang berpotensi terjadi instabilitas pemerintahan jika tiba-tiba pemimpinnya meninggal.


Adalah Al-Muktafi, Khalifah ketujuh belas dari dari Dinasti Abbasiyah itu dipanggil oleh Allah Swt saat masa pemerintahannya baru seusia jagung, yaitu enam tahun. Juga dalam umur yang masih relatif muda, yaitu 30 tahun. Ketidaklayakan generasi penerusnya kemudian membuat Dinasti Abbasiyah kembali mengalami kemunduran.


Memang, berkuasa selama enam tahun untuk ukuran sistem pemerintahan Dinasti seperti yang dianut Abbasiyah terlalu singkat, mengingat sistem ini berlaku kekuasaan absolut. Artinya, khalifah tidak bisa digantikan dari kursi jabatannya sampai ia wafat.


Bisa dibayangkan, jika seorang khalifah diangkat menjadi pemimpin di usia 25 tahun, lalu baru meninggal di usia 70 tahun, berarti ia menjabat selama 45 tahun. Lebih lama dari masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun yang menganut sistem pemerintahan Presidensial dengan bentuk pemerintahan Republik pada masa Orde Baru.


Dilantik menjadi khalifah

Begitu sang ayah, Al-Muhtadid Billah, sakit menjelang wafat, Khalifah yang memiliki nama asli Ali bin Al-Muhtadid ini dilantik sebagai pemimpin Dinasti Abbasiyah pada hari Jumat setelah shalat Ashar, 9 Rabiul Awwal 289 H. 


Kebetulan di hari pelantikannya Al-Muktafi sedang tidak berada di istana, ia sedang berada di daerah Riqqah. Akhirnya, menterinya yang berama Abul Husein al-Qasim bin Ubaidillah mengambil alih untuk sementara agar pelantikan tetap berlangsung sesuai rencana. Abul Husein hanya menulis surat kepada Al-Muktafi terkait suksesi itu.


Sekembalinya di Baghdad, Irak pada bulan pada tanggal 7 Jumadal Ula dan telah resmi sebagai khalifah, Al-Muktafi mulai melakukan rekonstruksi pemerintahan di titik-titik yang dirasa perlu.


Dia menghancurkan gedung penjara yang dulu sempat dibangun ayahnya untuk kemudian di atas lahannya didirikan masjid. Selain itu, dia juga memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mengembalikan taman-taman dan  toko-toko kepada pemiliknya yang sebelumnya dirampas oleh sang ayah. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, 1987: juz VI, h. 412)


Sifat bijaksana sang khalifah ini tampaknya disukai oleh rakyatnya. Testimoni Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tarikhul Khualafa berikut bisa menjadi bukti,


وسار سيرة جميلة، فأحبه الناس ودعوا له.


Artinya, “Dia (Al-Muktafi) telah menampilkan hidup yang demikian indah, sehingga rakyat sangat mencintai serta banyak mendoakannya.”


Karakter Al-Muktafi sangat kontras dengan khalifah sebelumnya, Al-Muhtadi yang dikenal sebagai pemimpin “tangan besi”. Sebab, Al-Muhtadi berpendirian keras dan sangat tegas. Sampai-sampai karena kewibawaannya tidak ada satu pun orang yang berani melakukan pelanggaran. Dengan ketegasannya inilah ia berhasil mengembalikan kejayaan Dinasti Abbasiyah setelah sebelumnya mengalami kemunduran.


Pemberontakan

Pada masa pemerintahan Al-Muktafi muncul pemberontak yang bernama Yahya bin Zakrawaih al-Qimrithi, sampai-sampai terjadi konflik militer dengan pihak khalifah dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya ia berhasil dilumpuhkan dan dibunuh pada 290 H.


Rupanya ideologi Yahya diteruskan oleh saudaranya yang bernama Al-Husein. Ternyata Al-Husein pun tidak sendiri, ia bergerak bersama keponakannya yang bernama Isa bin Mahrawaih dan anaknya yang bergelar Al-Muthawwaq bin an-Nur. Ketiganya bersatu melakukan pemberontakan hingga akhirnya mereka berhasil dibunuh pada 291 H.


Wafat dan regenerasi

Masa kepemimpinan Al-Muktafi ternyata tidak berlangsung lama. Tepat pada malam Ahad, 12  Dzulqa’dah 295 H ia wafat di usianya yang ketiga puluh tahun. Artinya, ia hanya menjabat sebagai khalifah selama enam tahun, yaitu dari tahun 289 H sampai 295 H. Ia meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan.


Dalam masa pemerintahan yang sangat singkat untuk ukuran sistem Dinasti ini tentu Al-Muktafi masih banyak memiliki PR negara yang belum dirampungkan. Otomatis, semua ini akan menjadi “beban” khalifah berikutnya, dan bisa saja terjadi instabilitas politik.


Benar saja, pewaris tahta kekhalifahan selanjutnya adalah Al-Muqtadir, adik sang khalifah yang saat itu baru berusia 13 tahun. Saking dininya usia Al-Muqtadir, sampai-sampai ia ditanyai apakah sudah baligh atau belum. Hal ini wajar karena usia baligh menjadi syarat kelayakan sebagai khalifah.


Usianya yang masih kanak-kanak membuat Al-Muqtadir terlalu polos untuk memahami peta politik di pemerintahan. Sampai-sampai ia sendiri dijadikan khalifah boneka oleh sejumlah pihak yang memanfaatkan ketidakcakapannya memimpin roda Dinasti. Di tangan khalifah kedelapan belas inilah Abbasiyah kembali mengalami kemunduran.


Penting dicatat, selama masa pemerintahan Al-Muktafi ada sejumlah tokoh yang wafat, yaitu; Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Tsa'lab (pakar bahasa Arab), Qunbul (pakar qira’at), Abu Abdullah al-Busyanji (seorang yang sangat faqih), Al-Bazzar (penulis Musnad), Abu Muslim Al-Kaji, Al-Qadhi Abu Hazim.


Kemudian Shalih Jazarah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (seorang imam yang terpandang), Abul Husein an-Nuri (tokoh sufi garda depan), dan Abu Ja'far at-Tirmidzi (imam dalam madzhab Syafii yang ada di Irak). (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, 2016: h. 295-296)


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad