Sirah Nabawiyah

Kisah Tragis Akhir Hayat Khalifah Al-Muqtadir di Bulan Syawal

Sen, 30 Mei 2022 | 09:01 WIB

Kisah Tragis Akhir Hayat Khalifah Al-Muqtadir di Bulan Syawal

Ilustrasi. (Foto: IlmFeed)

Tidak adanya peraturan yang disepakati bersama membuat pengangkatan khalifah sistem oligarki di Dinasti Abbasiyah sering kali membuat instabilitas politik. Seperti yang dialami Al-Muqtadir, Khalifah yang diangkat menjadi pemimpin dalam usianya yang baru 13 tahun ini harus mengalami masa pemerintahan yang kacau, hingga akhirnya ia dibunuh secara tragis oleh lawan politiknya pada 27 Syawal 320 H.


Setelah Al-Muktafi Billah, khalifah sebelumnya sekaligus kakaknya sakit parah hingga menemui ajalnya, adiknya, Ja’far bin Al-Mu’tadhid ditunjuk sebagai pemimpin selanjutnya. Hanya saja, sosok Ja’far saat itu masih remaja berusia 13 tahun. Orang-orang pun lantas bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah baligh?” Ja’far kemudian menjawab bahwa dia pernah mimpi basah, sehingga dengan demikian dirinya sudah mencapai usia baligh. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarîkhul Khulafâ, 1996: 585)


Sejak saat itulah Ja’far diangkat menjadi khalifah Dinasti Abbasiyyah dan dikategorikan sebagai khalifah paling muda yang pernah ada. Ia kemudian digelari “Al-Muqtadir Billah”. Mendengar acuan usia baligh, tanpa mempertimbangkan sisi lainnya, sebagai syarat sah menjadi khalifah memang terdengar agak konyol. Tapi begitulah, sistem oligarki yang tanpa kejelasan aturan pengangkatan khalifah ini terjadi, dan itu yang akan menimbulkan instabilitas di pemerintahan.


Karena usia Al-Muqtadir masih terlalu dini untuk menduduki kursi kekhalifahan, banyak pihak yang berusaha melengserkan dari jabatannya. Seperti yang dilakukan oleh menterinya sendiri, Al-Abbas bin Al-Hasan. Al-Abbas berencana untuk menggunglingkan Al-Muqtadir, dan rencana ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak.


Mendengar rencana ini, Al-Muqtadir segera mengambil langkah politik dengan membujuk Al-Abbas agar membatalkan rencananya. Setelah dilobi dan diberi sejumlah uang akhirnya Al-Abbas mau menuruti permintaan sang khalifah. Hanya saja, rencana penggulingan ini masih diteruskan oleh sejumlah pihak yang sebelumnya mendukung rencana Al-Abbas.


Tabiat Al-Muqtadir sebagai anak-anak masih belum hilang dari dirinya meski sudah diangkat sebagai pemimpin di negerinya. Tepat saat ia sedang asyik bermain bola, orang-orang yang sebelumnya berencana menurunkan Al-Muqtadir dari jabatannya tiba-tiba datang memberontak. Al-Muqtadir yang ketakutan langsung memasuki istana. Dalam peristiwa itu banyak penduduk yang terbunuh.


Orang-orang itu kemudian mencopot Al-Muqtadir dan mengangkat Abdullah bin Mu’taz sebagai penggantinya, ia kemudian digelari “Al-Ghalib Billah”. Abdullah lalu menunjuk Muhammad bin Daud sebagai menterinya dan Abul Mutsanna Ahmad bin Ya’qub sebagai hakim agung. Peristiwa ini terjadi pada 296 H. Sejak saat ini Al-Muqtadir diusir dari istana.


Al-Muqtadir pergi meninggalkan istana dengan sejumlah pendamping. Tiba-tiba, mereka terbesit untuk melakukan serangan balik. Setelah siap dan bersenjata lengkap mereka pun melancarkan serangan dadakan di tempat Abdullah bin Mu’taz berada. Rombongan Abdullah yang menerima kejutan ini ketakutan dan lari tunggang langgang. Al-Muqtadir kemudian menghabisi para pemimpin dan fuqaha yang dulu mencopotnya dan memenjarakan Abdullah hingga meninggal.


Sejak saat itu Al-Muqtadir berhasil kembali menduduki jabatan khalifahnya dan mengangkat Abul Hasan Ali bin Muhammad sebagai menterinya. Al-Muqtadir kemudian memberantas kezaliman-kezaliman yang terjadi di pemerintahannya dan menegakkan keadilan. Hanya saja, usianya yang terlalu dini ini membuatnya dimanfaatkan oleh sejumlah pihak, termasuk oleh ibunya sendiri dalam urusan pemerintahan.


Al-Muqtadir sendiri sebenarnya sosok yang sangat cerdas, hanya saja karena usianya masih terlalu muda membuatnya belum memiliki jiwa kepemimpinan dan mudah dikendalikan oleh orang lain. Sehingga tidak berlebihan jika kita sebut ia sebagai “khalifah boneka”. (Ibnul ‘Imrani, Al-Imbâ fî Tarîkhil Khulafâ, t.t: 153-154)


Rupanya usaha pencopotan khalifah terulang lagi pada 317 H. Kali ini otak pelengserannya adalah Mu’nis al-Mudzaffar. Mulanya Al-Muqtadir berencana mencopot Mu’nis dari pemerintahan dan menggantikannya dengan Harun bin Ghalib. Mu’nis yang tidak terima dengan perlakukan sang khalifah ini melancarkan pemberontakan ke istana dengan membawa pasukan yang cukup banyak.


Melihat banyaknya jumlah pemberontak yang datang membuat para pengawal istana takut dan melarikan diri. Sementara Al-Muqtadir yang berada di dalam istana dipaksa keluar setelah shalat Isya. Tidak hanya sang khalifah yang diusir keluar, tetapi juga ibu, bibi, dan istri-istrinya. Kursi kekhalifahan kemudian diduduki oleh Muhammad bin Al-Muhtadhid dengan gelar “Al-Qahir Billah”, sementara menteri yang diangkat adalah Abu Ali bin Muqlat.


Rupanya Muhammad bin Al-Muhtadhid belum memahami peta pemerintahan di kekhalifahan yang sudah berlangsung selama ini. Khalifah baru itu tidak memenuhi bayaran para tentara istana, sementara mereka pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir mendapat gaji. Hal ini menimbulkan pemberontakan yang menuntut agar Al-Muqtadir kembali diangkat sebagai khalifah. Singkat kisah, Al-Muqtadir kembali menduduki jabatannya dan menggaji tentaranya dengan lebih tinggi.


Rupanya Mu’nis masih menyimpan dendam kesumat pada Al-Muqtadir. Pada Rabu, 27 Syawal 319 H ia kembali datang untuk melakukan pemberontakan. Kali ini ia membawa pasukan dari orang Barbar. Terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Di tengah-tengah pertempuran, Al-Muqtadir terkena tombak dan membuatnya tumbang. Sang khalifah kemudian dipenggal kepalanya, kepalanya ditusuk di atas tombak, dan dilucuti pakaiannya. Jenazahnya kemudian dikuburkan di tempat itu. 


Al-Muqtadir wafat meninggalkan dua belas putra, dan tiga di antaranya kelak menjadi khalifah. Mereka adalah Ar-Radhi, Al-Muttaqi, dan Al-Muthi’. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarîkhul Khulafâ, 1996: 591-594) (Muhamad Abror)